Siapa yang tak tahu tentang sosok lelaki yang begitu menawan. Wajahnya bersih, bibirnya selalu menebar senyum, membuat cewek-cewek
disekelilingnya terkagum-kagum padanya. Apalagi dia pandai. Bahasa Inggris dan Bahasa Arab ia kuasai dengan baik. Dia selalu
berpenampilan rapi dan berpeci. Itulah yang menjadi ciri khasnya.
Muhammad Habibi Fidaroin. Itulah nama lengkapnya. Tapi dia dikenal
dengan panggilan Habibi. Namanya sering disebut-sebut oleh para mahasiswi yang
ada di fakultas Tarbiyah. Bahkan mahasiswi-mahasiswi yang ada di fakultas lain
juga sering membicarakan dirinya. Ketampanan dan
kepintarannya menjadi bahan perbincangan yang menarik bagi mereka. Apapun yang
dilakukan habibi selalu menarik bagi mereka untuk diikuti. Apalagi Habibi aktif
di salah satu kegiatan Mahasiswa dan bahkan menjadi Ketua PMII (Pergerakan Mahasiswa
Islam Indoneisa). Saat dia memberikan sambutan pada suatu acara kegiatannya,
pasti semua mata mahasiswi akan tertuju kepadanya. Walaupun dia aktif di
kegiatannya di luar kuliah, dia tetap menomersatukan kuliahnya, maka dari itu
tidak heran jika ia selalu mendapatkan IP (Indeks Prestasi) bagus.
Sudah
banyak gadis kampus yang berani mengutarakan cinta pada Habibi, tapi dia selalu
menolak mereka dengan sopan dan senyuman. Oh Habibi... Oh Habibi....! Si lelaki
yang
gemar berpeci yang menjadi pujaan setiap mahasiswi di
kampusnya.
Habibi
yang kini menjadi idola kampus tidak pernah marasa dirinya sebagai idola. Dia
masih saja merasa bukan siapa-siapa. Dia masih merasa orang biasa, yang datang
dari kota kecil, yaitu Pasuruan, yang sedang berkuliah di UIN Sunan Ampel
Surabaya. Dan
untuk meringankan beban orangtuanya, dia dan teman-temannya membuka rental
komputer dekat kampus. Atas usulan teman-temannya, keahliannya dalam berbahasa
Arab dan Inggris, dia gunakan untuk menerima biro jasa translite
Arab-Indonesia, Indonesia -Arab, Inggris- Indonesia dan Indonesia-Inggris. Nah,
bisa ditebak, pelanggannya rata-rata adalah cewek.
Habibi memang sangat memanfaatkan
waktu yang ada. Baginya tidak ada waktu yang berlalu dengan sia-sia. Dia
membagi waktunya dengan baik untuk kuliah, organisasi, mengerjakan tugas dan
bekerja. Dia sering terlihat ke makam Sunan Ampel. Ketika ditanya temannya
“untuk apa kesana?”. “untuk bertawassul, berdoa dan merefresh otak.” Jawabnya.
Yah, untuk mengatasi rasa jenuh, penat, maka dia pergi ke kampung wisata religi
Surabaya itu.
Sekian banyak cewek yang
terang-terangan menyukai Habibi, tapi mengapa dia selalu dengan halus
menolaknya? Ternyata diam-diam dia jatuh cinta pada seorang gadis yang secara tidak sengaja bertemu dengannya di
perpustakaan. Saat itu si
gadis hendak mengambil buku yang ada di bagian tengah rak
buku. Ketika buku itu sudah di tangan, dengan segera gadis itu membalikkan
badan dan ..
“Aww.... !” Habibi merintih pelan,
saat buku yang lumayan tebal itu mengenai dadanya.
“Oh, maaf ya kak, saya gak ssengaja.
Sungguh... “ Gadis itu meminta maaf, lalu menundukkan kepala.
“Ya gak apa-apa. Tentu saja saya
maafkan. Takut banget? Emang buku apa itu?” tanya Habibi.
Gadis itu menunjukkan judul buku yang
dipegangnya. Buku itu berjudul La Tahzan karangan Dr. ’Aidh Al-Qarni.
“Mengapa kamu suka buku itu?” Tanya
Habibi lagi.
“Buku ini
menawarkan terapi lebih dekat dengan al-Qur’an dan
Sunnah, ketimbang renungan reklektif semata.” Gadis itu
menjawab singkat lantas permisi pergi, dan menuju ruang baca.
Gadis
manis itu telah memikat hati Habibi. Percakapan singkat tak sengaja itu
membuatnya tidak dapat tidur. Dia selalu mengingat pertemuan itu. “Ya Allah,
Engkaulah yang telah mengatur pertemuan ini.” Desahnya.
Habibi tentu saja mencaritahu tentang
gadis itu. Ia pun mencari informasi tentang nama, asal kota, fakultas, jurusan
dan semua tentang si gadis dari teman-temannya. Gadis itu berasal dari Nganjuk.
Tapi ia tinggal bersama nenek dan pamannya di Sidoarjo. Semakin dia mengetahui
identitas dan aktifitas gadis itu, entah mengapa dia semakin menyukainya. Dan
itu membuatnya semangat ke kampus, karena berharap bisa melihat si gadis itu
walau dari jauh.
Dua minggu
kemudian, Habibi sudah berhasil mendekati Aisyah. Suatu ketika ia memberanikan
dirinya untuk mengungkapkan perasaannya dan berkata:
”Aisyah,
aku telah mengenalmu hanya dua minggu, tapi mengapa rasanya aku sudah begitu
dekat denganmu hingga seakan aku telah mengenalmu selama bertahun-tahun. Empat
jam di setiap tidur malamku selalu
dihiasi wajahmu. Kebaikan dan kesantunanmu begitu memikat hatiku. Demi Allah
yang telah memberiku rasa indah ini, aku benar-benar menyukaimu. Aku yakin, aku telah jatuh cinta padamu. Maukah engkau menerima cintaku?”
Aisyah benar-benar
terkejut. Tiba-tiba air matanya menggenang dan menetes di pipinya yang lembut.
Ia menjawab lirih: ”Subhanallah,
apa yang kau rasakan sama dengan yang aku rasa kak. Sebenarnya aku juga telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku
melihatmu. Bedanya, engkau mencintaiku sejak dua minggu yang lalu, sedangkan
aku telah mencintaimu sejak dua tahun yang lalu. Tapi aku berada di antara
gadis-gadis yang mencintaimu pula. Aku memilih menyimpan cintaku dalam hatiku.
Alhamdulillah, kini cintaku telah terungkap.”
|
”Bismillah... Ya Allah, restui cinta kami...” Doa Habibi.
Aisyah mengamininya.
“Aisyah, terimakasih ya.. kau telah
membuatku bahagia.” Kata Habibi dengan tersenyum.
“Alhamdulillah ya Allah, Kau
telah memberiku kesempatan untuk membahagiakan orang yang kucintai..” Kata
Aisyah dengan senyum bahagia.
Keesokan
harinya, Habibi menunggu Aisyah di taman kampus seperti janji mereka kemarin sebelum
berpisah. Satu jam, dua jam hingga 4 jam Habibi menunggu Aisyah datang, tapi
kekasihnya itu tak kunjung datang, bahkan hinga sore hari. Habibi sangat
kecewa. Maka dia mencari tahu dengan datang ke rumah Aisyah. Tapi rumah Aisyah sangat sepi, hanya ada seorang
perempuan tua yang sedang menangis.
”Assalamu’alaikum.. maaf nek, bisakah saya bertemu Aisyah?” Habibi
bertanya pada perempuan tua itu.
“Wa’alaikumussalam
wa rahmatullah... Jika dia ada di sini, maka
engkau bisa bertemu dengannya. Tapi sekarang dia di Rumah Sakit Islam nak. Jam
9 tadi ia pamit.
Katanya hendak ke taman kampus. Dia begitu bersamangat dan
bahagia. Tapi di tengah perjalanan, ia mengalami kecelakaan.” Perempuan tua yang ternyata nenek Aisyah itu
menjelaskan.
Habibi
menangis dan langung pamit kepada nenek itu untuk pergi ke RSI. Dalam
perjalanan ke rumah sakit, dia beristighfar, karena dia sempat kecewa kepada
Aisyah. Sesampai di Rumah Sakit, Habibi langsung mencari kamar
Aisyah. Dia ingin berada di samping Aisyah segera. Habibi semakin tak kuasa menahan tangis ketika mendapati Aisyah telah
terbujur kaku. Di sampingnya ada buku La Tahzan. Habibi mengerti mengapa
Aisyah begitu menyukai buku itu. La Tahzan artinya jangan bersedih.
Seolah Aisyah ingin megatakan ”Jangan bersedih wahai kekasihku, atas
kepergianku. Karena aku pergi dengan membawa cintaku yang sudah terungkap.”
Habibi memeluk
buku itu, terbayang senyum bahagia Aisyah saat pertemuan terakhir kemarin. “Ya
Allah... Engkau benar-benar telah mengatur pertemuan kami.” Lirihnya. Dia lalu
membungkuk dan berbisik di telinga kekasihnya :
”Pergilah sayang... menuju cinta yang lebih sejati, yaitu cinta Allah. Aku
yakin bahwa cintaku yang hanya dua minggu ini adalah anugerah dari Allah, kita
bertemu karena-Nya, dan berpisah karena-Nya pula. Namun, tak
mungkin aku melupakan cinta suci kita. Aku mencintaimu selamanya. Dua
minggu untuk selamanya” *)Guru Bahasa Arab MTs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar