Kamis, 28 Januari 2016

CINTA DUA MINGGU



Siapa yang tak tahu tentang sosok lelaki yang begitu menawan. Wajahnya bersih, bibirnya selalu menebar senyum, membuat cewek-cewek disekelilingnya terkagum-kagum padanya. Apalagi dia pandai. Bahasa Inggris dan Bahasa Arab ia kuasai dengan baik.  Dia selalu berpenampilan rapi dan berpeci. Itulah yang menjadi ciri khasnya.
Muhammad Habibi Fidaroin. Itulah nama lengkapnya. Tapi dia dikenal dengan panggilan Habibi. Namanya sering disebut-sebut oleh para mahasiswi yang ada di fakultas Tarbiyah. Bahkan mahasiswi-mahasiswi yang ada di fakultas lain juga sering membicarakan dirinya. Ketampanan dan kepintarannya menjadi bahan perbincangan yang menarik bagi mereka. Apapun yang dilakukan habibi selalu menarik bagi mereka untuk diikuti. Apalagi Habibi aktif di salah satu kegiatan Mahasiswa dan bahkan menjadi Ketua PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indoneisa). Saat dia memberikan sambutan pada suatu acara kegiatannya, pasti semua mata mahasiswi akan tertuju kepadanya. Walaupun dia aktif di kegiatannya di luar kuliah, dia tetap menomersatukan kuliahnya, maka dari itu tidak heran jika ia selalu mendapatkan IP (Indeks Prestasi) bagus.
Sudah banyak gadis kampus yang berani mengutarakan cinta pada Habibi, tapi dia selalu menolak mereka dengan sopan dan senyuman. Oh Habibi... Oh Habibi....! Si lelaki yang gemar berpeci yang menjadi pujaan setiap mahasiswi di kampusnya.
Habibi yang kini menjadi idola kampus tidak pernah marasa dirinya sebagai idola. Dia masih saja merasa bukan siapa-siapa. Dia masih merasa orang biasa, yang datang dari kota kecil, yaitu Pasuruan, yang sedang berkuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya. Dan untuk meringankan beban orangtuanya, dia dan teman-temannya membuka rental komputer dekat kampus. Atas usulan teman-temannya, keahliannya dalam berbahasa Arab dan Inggris, dia gunakan untuk menerima biro jasa translite Arab-Indonesia, Indonesia -Arab, Inggris- Indonesia dan Indonesia-Inggris. Nah, bisa ditebak, pelanggannya rata-rata adalah cewek.
Habibi memang sangat memanfaatkan waktu yang ada. Baginya tidak ada waktu yang berlalu dengan sia-sia. Dia membagi waktunya dengan baik untuk kuliah, organisasi, mengerjakan tugas dan bekerja. Dia sering terlihat ke makam Sunan Ampel. Ketika ditanya temannya “untuk apa kesana?”. “untuk bertawassul, berdoa dan merefresh otak.” Jawabnya. Yah, untuk mengatasi rasa jenuh, penat, maka dia pergi ke kampung wisata religi Surabaya itu.
Sekian banyak cewek yang terang-terangan menyukai Habibi, tapi mengapa dia selalu dengan halus menolaknya? Ternyata diam-diam dia jatuh cinta  pada seorang gadis yang secara tidak sengaja bertemu dengannya di perpustakaan. Saat itu si gadis hendak mengambil buku yang ada di bagian tengah rak buku. Ketika buku itu sudah di tangan, dengan segera gadis itu membalikkan badan dan ..
“Aww.... !” Habibi merintih pelan, saat buku yang lumayan tebal itu mengenai dadanya.
“Oh, maaf ya kak, saya gak ssengaja. Sungguh... “ Gadis itu meminta maaf, lalu menundukkan kepala.
“Ya gak apa-apa. Tentu saja saya maafkan. Takut banget? Emang buku apa itu?” tanya Habibi.
Gadis itu menunjukkan judul buku yang dipegangnya. Buku itu berjudul La Tahzan  karangan Dr. ’Aidh Al-Qarni.
“Mengapa kamu suka buku itu?” Tanya Habibi lagi.
“Buku ini menawarkan terapi lebih dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah, ketimbang renungan reklektif semata. Gadis itu menjawab singkat lantas permisi pergi, dan menuju ruang baca.
Gadis manis itu telah memikat hati Habibi. Percakapan singkat tak sengaja itu membuatnya tidak dapat tidur. Dia selalu mengingat pertemuan itu. “Ya Allah, Engkaulah yang telah mengatur pertemuan ini.” Desahnya.
Habibi tentu saja mencaritahu tentang gadis itu. Ia pun mencari informasi tentang nama, asal kota, fakultas, jurusan dan semua tentang si gadis dari teman-temannya. Gadis itu berasal dari Nganjuk. Tapi ia tinggal bersama nenek dan pamannya di Sidoarjo. Semakin dia mengetahui identitas dan aktifitas gadis itu, entah mengapa dia semakin menyukainya. Dan itu membuatnya semangat ke kampus, karena berharap bisa melihat si gadis itu walau dari jauh.
Dua minggu kemudian, Habibi sudah berhasil mendekati Aisyah. Suatu ketika ia memberanikan dirinya untuk mengungkapkan perasaannya dan berkata:
”Aisyah, aku telah mengenalmu hanya dua minggu, tapi mengapa rasanya aku sudah begitu dekat denganmu hingga seakan aku telah mengenalmu selama bertahun-tahun. Empat jam di setiap  tidur malamku selalu dihiasi wajahmu. Kebaikan dan kesantunanmu begitu memikat hatiku. Demi Allah yang telah memberiku rasa indah ini, aku benar-benar menyukaimu. Aku yakin, aku telah jatuh cinta padamu. Maukah engkau menerima cintaku?”
Aisyah benar-benar terkejut. Tiba-tiba air matanya menggenang dan menetes di pipinya yang lembut. Ia menjawab lirih: ”Subhanallah, apa yang kau rasakan sama dengan yang aku rasa kak. Sebenarnya aku juga telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku melihatmu. Bedanya, engkau mencintaiku sejak dua minggu yang lalu, sedangkan aku telah mencintaimu sejak dua tahun yang lalu. Tapi aku berada di antara gadis-gadis yang mencintaimu pula. Aku memilih menyimpan cintaku dalam hatiku. Alhamdulillah, kini cintaku telah terungkap.”



Habibi begitu bahagia mendengar jawaban Aisyah. Cintanya berbalas cinta Aisyah.  Ingin rasanya dia menggenggam erat tangan Aisyah ketika itu, lalu memeluk dan membelainya. Namun, dia sadar bahwa itu tidak boleh dilakukan. Habibi dan Aisyah saling tersenyum. Meski hati mereka berdetak kencang dan merasakan sangat bahagia, keduanya tidak ingin memulai cinta mereka dengan perbuatan yang dimurkai Allah.
Bismillah... Ya Allah, restui cinta kami...” Doa Habibi. Aisyah mengamininya.
“Aisyah, terimakasih ya.. kau telah membuatku bahagia.” Kata Habibi dengan tersenyum.
Alhamdulillah ya Allah, Kau telah memberiku kesempatan untuk membahagiakan orang yang kucintai..” Kata Aisyah dengan senyum bahagia.
Keesokan harinya, Habibi menunggu Aisyah di taman kampus seperti janji mereka kemarin sebelum berpisah. Satu jam, dua jam hingga 4 jam Habibi menunggu Aisyah datang, tapi kekasihnya itu tak kunjung datang, bahkan hinga sore hari. Habibi sangat kecewa. Maka dia mencari tahu dengan datang ke rumah Aisyah. Tapi rumah Aisyah sangat sepi, hanya ada seorang perempuan tua yang sedang menangis.
”Assalamu’alaikum.. maaf nek, bisakah saya bertemu Aisyah?” Habibi bertanya pada perempuan tua itu.
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah... Jika dia ada di sini, maka engkau bisa bertemu dengannya. Tapi sekarang dia di Rumah Sakit Islam nak. Jam 9 tadi ia pamit. Katanya hendak ke taman kampus. Dia begitu bersamangat dan bahagia. Tapi di tengah perjalanan, ia mengalami kecelakaan.” Perempuan tua yang ternyata nenek Aisyah itu menjelaskan.
Habibi menangis dan langung pamit kepada nenek itu untuk pergi ke RSI. Dalam perjalanan ke rumah sakit, dia beristighfar, karena dia sempat kecewa kepada Aisyah. Sesampai di Rumah Sakit, Habibi langsung mencari kamar Aisyah. Dia ingin berada di samping Aisyah segera. Habibi semakin tak kuasa menahan tangis ketika mendapati Aisyah telah terbujur kaku. Di sampingnya ada buku La Tahzan. Habibi mengerti mengapa Aisyah begitu menyukai buku itu. La Tahzan artinya jangan bersedih. Seolah Aisyah ingin megatakan ”Jangan bersedih wahai kekasihku, atas kepergianku. Karena aku pergi dengan membawa cintaku yang sudah terungkap.”
Habibi memeluk buku itu, terbayang senyum bahagia Aisyah saat pertemuan terakhir kemarin. “Ya Allah... Engkau benar-benar telah mengatur pertemuan kami.” Lirihnya. Dia lalu membungkuk dan berbisik di telinga kekasihnya : ”Pergilah sayang... menuju cinta yang lebih sejati, yaitu cinta Allah. Aku yakin bahwa cintaku yang hanya dua minggu ini adalah anugerah dari Allah, kita bertemu karena-Nya, dan berpisah karena-Nya pula. Namun, tak mungkin aku melupakan cinta suci kita.  Aku mencintaimu selamanya. Dua minggu untuk selamanya” *)Guru Bahasa Arab MTs.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto