Oleh:
Desy Lusiana (XII-IPA)
Story of my life searching for the right but it
keeps avoiding me...
Alunan musik rock-pop yang dinyanyikan oleh Rihanna,
masih terngiang di telingaku. Aku dibangunkan oleh sinar sang fajar yang
menyapaku dengan senyum teriknya. Aku mulai beranjak dari tempat ternyamanku
untuk melanjutkan hari yang telah menantiku. Aku mencintai musik, bisa dibilang
tiada hari tanpa musik.Cita-citaku pun ingin menjadi seorang penyanyi atau
musisi, tidak untuk mendapatkan kekayaan atau ketenaran karena aku hanya mau
menunjukkan kepada mereka kalau aku bisa menjadi yang terbaik.
Aku Melia kini aku menginjak kelas XI di suatu MA
Elite di kotaku, hidupku sama dengan musik, tak semudah membuat alunan nada
yang indah, perlu banyak perjuangan merangkai kata-kata yang indah untuk
dijadikan sebuah maha karya yang tak puas-puasnya untuk didengarkan, dan kadang
setelah semua pengorbanan itu, musik juga kadang dibenci. Itulah musik, yang
selaras dengan kehidupanku.
Aku memang perempuan namun aku sangat cuek akan
penampilan, aku selalu bertata alakadarnya. Karena aku sangat sibuk dengan
banyak kegiatan di sekolah. Tubuhku lebih gemuk dibanding anak seusiaku mungkin
karena aku tidak begitu mempedulikan pola makan, kulitku hitam karena biasa
berada di tempat yang panas dan mungkin karena kebanyakan ikut ekskul diluar
jam pelajaran dan diluar ruangan kali ye? Dan selalu terlihat santai dalam
keadaan apapun. Tak satupun yang mendekatiku selain lima temanku yang memang
sudah berteman sedari kecil denganku.
Tak ada laki-laki mendekatiku, dan itu ku anggap
wajar karena memang tak mungkin ada yang mau dengan ku yang seperti ini, aku tak
pernah dipuji dalam hal penampilan. Dan aku menyadari akan hal itu, banyak yang
mencelaku, mencemooh setiap penampilanku yang seperti gembel atau apalah. Namun
dengan membusungkan dada dan menegakkan kepala aku hanya melempar senyum pada
mereka yang membenciku.
Sampai suatu hari karena kecerobohanku yang lari
menuju ke sekolah karena jam menunjukkan pukul 06.45 WIB, yang berarti 15 menit
lagi gerbang sekolah akan ditutup. Aku ditabrak oleh sesosok laki-laki yang
tampan dan cool dengan pakaian layaknya seorang guru, namun dia sama sekali tak
terlihat seperti guru, dia lebih mirip artis terkenal Mario Maurer asal
Thailand, aku terjerembab tepat dibawah laki-laki tersebut.
“Maaf, mari saya bantu,” ucapnya menggoyahkan
lamunanku.
“Iya, maaf kak saya buru-buru,” jawabku sambil
menundukkan kepala.
“Jangan buru-buru mangkanya, hati-hati,” diapun
kutinggalkan, aku hanya menjawab dengan senyuman. Dan melanjutkan berlari
menuju sekolah. Untung saja setelah aku menginjakkan kaki di dalam sekolah bel
baru berbunyi. Aku langsung menuju kedalam kelas dan mengikuti pelajaran
disana.
“Untung aja lo gak telat Mel,” ucap Tiara yang duduk
dibangku ku dan sesegera pindah dari sana. Beberapa saat kemudian datanglah
bapak kepala sekolah bersama sosok laki-laki yang tak asing lagi.
“Itu kan?...” kataku pelan.
“Kece banget tuh cowok? Tapi kok mau ya jadi guru?
Tampang-tampang kayak dia mah lebih pantes jadi artis,” cerocos Netta.
“Huss, tuh mulut yee,” timpal Lisa.
Pak Kepsekpun mulai membuka pembicaraan,
“Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarrakatuh”
“Wa’alaikum salam Warohmatullohi Wabarrakatuh,” jawab
Para siswa termasuk aku dengan serempak.
”Maaf mengganggu waktunya sebentar. Tolong
didengarkan, saya akan memperkenalkan guru baru disini beliau adalah guru
Olahraga pengganti pak Surya dia juga akan membimbing kalian dibidang konseling alias beliau juga akan menjadi guru
BK kalian. Silakan pak perkenalan dulu,”
lanjut pak Kepsek
“Iya, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
perkenalkan nama saya Edwin Pudja Ramadhan, bisa dipanggil Pak Edwin. Untuk
perkenalan selanjutnya saat saya mulai mengajar saja,
terimakasih.Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap guru kece tersebut.
“Baik terimakasih atas waktunya wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh” tutup pak kepsek pagi itu.
“Wih keren tuh guru, kayaknya sih belum nikah, orang
masih muda gitu. Wihh gua mau banget jadi ceweknya. Kira-kiraa.....” Cerocos
Netta.
“Hussss stop
diem!!! Pertanyaannya, dia mau gak jadi cowok loe?” Sahut putri yang disambut
gelak tawa kami berlima. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh
dengan sosok laki-laki tersebut. Namun semua perasaan yang aneh ku coba tepis
perlahan agar tidak menjadi beban fikiran.
Hari-hari
selanjutnya berjalan seperti biasanya hanya saja ada satu hal yang mengganjal
dihati, entah apa, namun ini terasa aneh. Perasaan yang sebelumnya tak pernah
kurasakan, kenapa saat aku bertemu dengan guru yang seminggu lalu baru masuk
sebagai guru BK dan Olahragaku itu aku merasa aneh? Apalagi saat senyum itu
dilemparkan padaku, terasa ada yang berguncang di dada? Apa ini? Namun aku
hanya bisa diam karena aku malu bila curhat keteman-teman tentang apa yang aku
rasakan.
Sampai pada satu sore, saat itu aku pulang terlambat
karena harus mengikuti rapat OSIS dahulu, maklumlah aku di organisasi tersebut
punya jabatan menjadi Waketu (Wakil Ketua) jadi aku harus aktif di organisasi
tersebut. Akibat dari pulang telat, aku udah ditinggal sama Siska, so alamat
pulang pakai jasa ojek deh. Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, tapi aku belum
nemuin ojek, saat lagi bingung-bingungnya, entah ada angin apa yang membawa Pak
Edwin mau memberi tumpangan padaku.
“Melia kan? Kok belum pulang,” ucapnya mengagetkanku.
“Eh Pak Edwin, i..iya pak saya nunggu ojek lewat,
tapi dari tadi enggak ada. padahal udah hampir 1 jam nungguin,” jawabku sedikit
gugup.
“Yaudah, saya antar ya. Nanti kamu tunjukin ya arah
rumah kamu,” sahutnya.
Serrrrr darahku seakan mengalir dengan cepat, yang
kurasa hanya dag dig dug derrr.. aku mau bilang apa? Nolak ya sayang banget,
kalo mau yaa, mau banget lah J akhirnya ku
terima tawaran Pak Edwin yang tak diduga-duga tersebut.
Saat berada diatas motor bersama Pak Edwin, entah mengapa
mulutku susah sekali dibuka, aku hanya merunduk dan berharap lekas sampai.
Tanganku serasa seperti batu es, dingin banget. Tubuhku entah mengapa sedari
tadi bergetar tak karuan. Kenapa ini? Apa aku mau sakit? aku hanya diam.
Sampai satu ucapan Pak Edwin mengagetkanku.“Kamu
kenapa diam saja? Kamu sakit?” ucapnya pelan.
“Engg enggak pakk, saya enggak kenapa-kenapa. Cuman
saya lagi kedinginan saja” jawabku terbata-bata.
Entah apa lagi ini, aku kaget banget saat Pak Edwin
tiba-tiba meminggirkan motornya dan dengan sigap mencopot jaket yang ia kenakan
dan memberikannya padaku. “Pakailah, supaya kamu enggak kedinginan,” ucapnya.
“Enggak usah pak, saya gapapa kok,” sahutku sambil
tetap menundukkan kepala.
“Udah pakek aja, bapak enggak bakal kedinginan, atau
kamu mau bapak turunkan disini?”Ancamnya.
Tanpa pikir panjang, ku kenakan saja jaket kulit
berwarna hitam dengan sentuhan warna putih di bagian-bagian tertentu
tersebut.“Terimakasih pak,” ucapku dengan melempar senyum namun masih dengan
menundukkan kepala.
Beberapa menit kemudian, sampailah kita pada
tujuan.“Ini rumah kamu? Cepat masuk sana, katanya kamu kedinginan,” ucap Pak
Edwin.
“Ini jaketnya pak, terimakasih sudah mau mengantar
saya,” timpalku lembut.
“Iya, sama-sama,” jawabnya.
“Pulang telat lagi ya kalo bisa,” Tambahnya lirih
dan terdengar samar-samar.
Apa maksudnya? “Apa pak?” Tanyaku penasaran.
“Nggak ada, bapak pulang dulu ya. Assalamu’alaikum”
Tanpa menunggu jawabanku dia pun melesat dengan cepat.“Wa’alaikum salam J” Jawabku
sembari berlari masuk kedalam rumah.
“Assalamu’alaikum Adik Melia.
Yang pertama, saya mau meminta
maaf kepada adik kerena sudah tidak sopan seperti ini, lancang memberikan adik
sepucuk surat ini lewat buku yang adik kumpulkan seminggu lalu. Namun saya
ingin dan harus menyampaikan suatu hal yang tidak bisa dan tidak kuasa saya
ungkapkan secara langsung kepada adik.
Oh iya dik, sebenarnya saya kurang
suka adik panggil saya dengan sebutan Bapak, karena saya masih 23 tahun, lagian
saya kan nggak tua-tua amat kan untuk dipanggil mas oleh adik. Maafkan saya
lancang memanggil kamu dengan sebutan adik disini. Panggil saya mas bila diluar
pelajaran atau jam sekolah.
Dik, ada hal yang harus adik tahu.
Saya suka dengan adik, saya menyukai adik sebelum adik menjadi seperti ini.
Dulu lebih tepatnya setahun lalu sebelum saya menjadi guru disini, saya adalah
mahasiswa di Universitas dekat dengan sekolah ini. Sampai akhirnya saya tahu
tentang adik. Satu tahun saya mencari tahu tentang adik.
Enggak usah tanya bagaimana saya
mengetahui adik, nasi goreng, jus melon, Avril Lavigne, Innocence, Mimpi yang
sempurna, Cinta dalam Hati, Unfaithful, Biru, dan semua kesukaan adik, saya
tahu semuanya. Entah magnet apa yang menarikku untuk lebih mengenal adik.
Sampai akhirnya saya melamar menjadi guru di sekolah adik. Adiklah motivasi saya,
sebelum mengenal adik , saya orangnya pemalas. Tapi entah mengapa setelah
mengetahui tentang adik semangat saya terbakar sampai akhirnya saya bisa lulus
dari Universitas saya dan menjadi guru di sini.
Pasti adik kaget, mangkanya saat
pertama kali adik tahu saya, ingat saat adik tertabrak seorang laki-laki
berpakaian guru 5 bulan 1 minggu yang lalu, awal saya bekerja disini. Itu
memang saya sengaja, agar adik melihat keberadaan saya. Dan saya senang saat
mendapat senyum adik untuk pertama kalinya.
Pasti sekarang adik
bertanya-tanya, apa yang saya suka dari adik? Dan akan saya jawab. Apa yang
saya suka dari adik, pertama, adik orangnya gigih, adik tak pernah mengeluh
dalam hal apapun sekalipun itu merugikan bagi adik, kedua adik orangnya pantang
menyerah. Terlihat pada usaha adik dalam membangun OSIS di sekolah adik.
Ketiga, adik orangnya tegar dan PD, saya tahu gimana rasanya di kucilkan, di
hina dan di hujat karena fisik kita buruk dimata orang lain, tapi adik dengan
ikhlas dan sabarnya hanya membalas mereka dengan senyuman. Dan masih banyak
yang saya suka dari adik.
Adik, saya tidak menuntut adik
harus membalas rasa yang saya miliki tapi saya hanya ingin terus berada dekat
di sisi adik. Saya hanya tak ingin jauh dari adik. Sekalipun adik tidak dapat
saya miliki. Maafkan saya bila ada kata-kata yang menyinggung perasaan adik.
Dari sini saya cukupkan isi surat ini. Tidak usah dibalas surat ini.
Wassalamu’alaikum Adik Melia
Salam
Sayang
Edwin”
Aku seakan melayang, kuhempaskan tubuhku keatas
ranjang, aku hanya diam dan tak percaya dengan isi surat tersebut. Isi surat
itu membuatku tak lapar, bahkan aku tak menyentuh makan siang dan makan
malamku. Aku hanya duduk di balkon kamarku dan terus membaca isi surat
tersebut. Apa ini? Aku masih tak percaya.
Sampai pada keesokan harinya dimana aku ingin
menceritakan ini semua kepada kelima sahabatku, namun alangkah terkejutnya aku
saat mendengar pernyataan Lisa pagi itu.
“Guys aku pengen cerita nih ke kalian,” ucapku
bersemangat pagi itu.
“Gak mau, aku dulu, dengerin ya, guys. Aku pengen
jujur sama kalian dan aku mau minta pendapat sama kalian. To the point aja yah.
Aku.... sukaa samaaa...... guru olahraga kitaaa JPak Edwin,” ucap
Lisa dengan menggebu-gebu.
Glek, rasanya ada yang patah dalam diri ku, pupus
sudah harapanku untuk menjadi nyonya Edwin, aku ga mungkin nyakitin sahabatku
sendiri. Seketika wajahku berubah menjadi pucat pasi, tubuhku serasa kaku dan
mengeluarkan keringat dingin. Aku hanya diam dalam sesaat.
“Mell, Meliiaaaa!” Panggil Lisa yang sontak
mengagetkanku.
“Mel, kamu kenapa?” Ucap Netta yang kaget melihat
muka ku yang memucat.
“Kamu sakit ya Mel? Oh iya, katanya kamu juga mau
cerita? Cerita apa?” Timpal Putri.
“Enggak kok, nggak jadi. Aku gapapa. Oh iya lanjutin
donk cerita kamu Lis,” jawabku melemah namun masih menyelipkan senyum pada
ucapanku.
“Aku lanjutin ya, aku suka sama dia nih, Mel kamu
kan yang deket tuh sama dia, tolong donk bantuin aku supaya jadi sama dia”
Ucapnya memanja.
“Iya nanti ku bantu” Jawabku singkat
Bel berbunyi, Pak Edwin pun memasuki ruang kelas ku
karena memang pagi itu ada jadwal Pak Edwin di jam Pertama. Aku yang semula
duduk di bangku temanku langsung beranjak, namun saat kucoba berdiri aku tak
kuasa menopang tubuhku sendiri, mataku terasa berat, kepalaku pusing sekali,
akhirnya aku pun tak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian aku membuka mataku kembali.
“Kamu sudah siuman dik? Kamu tak apa? Kamu mau
diambilkan apa? Masih pusing? Atau apa?” Ucap Pak Edwin yang nampaknya sangat
mengkhawatirkanku.“Saya tidak apa-apa, dimana teman-teman saya?” Jawabku dengan
nada lemah.
“Teman-teman kamu ada diluar, mereka mencemaskan
kamu, kamu kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanyanya masih khawatir.
“Tidak apa pak,” jawabku singkat.
Aku masih terdiam, aku masih terfikirkan kalimat
Lisa tadi, apa benar dia menyukai Pak Edwin? Kalo benar, apa aku tega menyakiti
hatinya hanya untuk kebahagiaanku? Ku lirik Pak Edwin yang terlihat cemas
menungguiku di sudut UKS. Dengan usahaku, aku mencoba bangun dari tidurku. Pak
Edwin yang mengetahui kesusahanku, dia dengan sigap membantuku untuk duduk. Dia
melempar senyum padaku. “Bapak bawa Bulpoint enggak sama kertas,” ucapku lirih
“Ada, nih. Untuk apa?” Jawabnya sembari mengulurkan
secarik kertas dan bulpointnya.
Aku hanya diam dan mengambil kertas berserta bulpoin
yang ia julurkan dan menuliskan suatu alamat yang harus ia datangi. Aku berikan
kertas itu padanya, dan aku memintanya agar membawaku ke teman-temanku.
Malam harinya, karena aku tidak diperbolehkan keluar
malam karena badanku yang kurang fit, aku mengajak putri untuk ikut denganku
menemui Pak Edwin, sebelumnya aku menyuruh Putri agar bisa menjaga rahasia ini.
Sesampainya di taman, aku dan putri langsung
menghampiri Pak Edwin, malam itu dia terlihat tampan sekali dengan menggunakan
kemeja biru laut dengan celana kain khas guru, dia mungkin tidak terlihat
seperti guru, namun seperti artis Thailand.
“Busyeettt, nih guru cakep amat ya, kamu mau ngapain
ketemu dia?” Bisik Putri terkagum-kagum saat bertemu Pak Edwin.“Udah , diem,
kamu udah janji kan tadi” Sahutku
“Assalamu’alaikum, ada apa adik menyuruh saya
kesini?” Tanyanya dengan nada sopan.
“Wa’alaikum salam. Pak , kita harus membicarakan
sesuatu, maaf saya mengajak teman saya, karena saya tidak di perbolehkan keluar
sendirian.” Ucapku terputus.
“Saya tidak bisa menjadi bagian dari hidup bapak,
saya tidak bisa menghancurkan perasaan sahabat saya pak” Sambungku dan tak
terasa mengalir lah air mataku.
“Saya memang suka sama bapak, tapi saya tidak bisa
menyakiti hati sahabat saya sendiri hanya untuk kebahagiaan saya” Ucapku
sesenggukan menahan tangis.
“Tapi, kamu akan lebih egois karena kamu akan
menyakiti dua hati sekaligus Melia. Hatiku dan hati kamu sendiri!” Jawabnya
tegas.
“Mel, kamu gila ya, Pak Edwin itu serius loh. Apa
kamu tega buat nolak dia? Kamu harus tahu kalau sebenarnya Pak Edwin ini adalah
anak dari kakak Ibuku, maaf sebelumnya, aku tak bermaksud menengahi urusan
kalian,dan maafkan aku, maaf Mel, aku enggak pernah bilang siapa dia
sebenarnya. Karena dia sendiri yang meminta agar identitas dia yang sebenarnya
di rahasiakan. Tapi kamu harus tahu kalau Pak Edwin selama ini selalu
memperhatikan kamu, dia berjuang keras untuk segera lulus dari Universitasnya
yang udah lebih dari 6 tahun dan segera melamar menjadi guru di sekolah kita,
itu cuma buat bisa ketemu kamu terus Mel. Dia tahu banyak hal tentang kamu tuh
dari aku! Maaf sudah lancang, tapi itu karena aku percaya sama dia kalo dia
beneran sayang sama kamu! Selain dia pengen selalu ketemu kamu, dia juga pengen
mengubah kamu seperti apa yang kamu mau. Dia ingin memotivasi kamu seperti kamu
menjadi motivasi dia Melia....” Kata Putri yang mulai angkat bicara karena dari
tadi hanya terbengong-bengong.
“Beneran Put? Tapi meski begitu biarkan sajalah,
pak, kalau bapak sayang sama Melia, bapak harus melakukan satu hal yang bisa buat
Melia percaya sama bapak!” jawabku dengan suara yang sudah semakin serak karena
sedang menangis juga.
“Apapun akan saya lakukan agar Adik percaya kalau
saya benar-benar tulus dengan adik!” Jawabnya dengan tegas.
“Jadikanlah Lisa sebagai kekasih, cintai dia dengan
tulus pak. Saya tak mau menyakiti kebahagiaan dia. Karena saya tahu kebahagiaan
dia hanya bersama bapak” ucapku dengan jelas.
“Kamu memang sungguh baik hati Melia. Baiklah kalau
itu mau kamu, saya akan menjadikan Lisa sebagai kekasih saya. Itu tanda kalau
saya sangat mencintai kamu. Dan ingat, saya akan tetap dan selalu mencintai
kamu Melia. Aku harap kamu pun begitu.” Jawabnya dengan rasa kepasrahan.
Akupun berlalu meninggalkan dia, kutarik tangan
Putri dan sesegera mungkin mengajak dia pulang
Dalam perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya bercerita panjang
lebar kepada Putri. Dan dia satu-satunya sahabatku yang mengetahui ini semua
dan ku paksa berjanji agar tidak menceritakan pada siapapun.
Keesokan harinya.
Aku langsung mendengar kabar bahwa Lisa dan Pak
Edwin jadian. Aku hanya tersenyum kecil dan berpura-pura ikut bahagia dengan
kabar tersebut. Aku terus menyembunyikan semua yang telah terjadi di belakang
Lisa.
Tak terasa hampir satu tahun sudah Lisa dan Pak
Edwin menjalin hubungan, dan akupun menginjak kelas XII. Sudah beranjak dewasa
juga kita, Pak Edwin memang sosok yang setia, namun tetap saja, disetiap ada
kesempatan, aku sering kali menemukan Pak Edwin sedang memperhatikanku. Hanya
saja aku tidak pernah mencoba menggubris sikap Pak Edwin tersebut, agar Lisa
tidak curiga dengan apa yang pernah terjadi. Semua rahasia tertutup rapat
sampai saat itu.
Namun pada
suatu hari karena kecerobohanku. Buku Diary ku tertinggal dikelas dan saat itu
dikelas hanya tinggal Lisa dan Putri, mereka berniat mengembalikan itu pada ku,
namun pada saat buku itu diambil, ada kertas-kertas yang jatuh. Ternyata itu
adalah surat yang diberikan Pak Edwin satu setengah tahun lalu.
Lisa membaca isi surat tersebut dan isi buku
Diaryku. Sore harinya dia datang kerumahku dengan mata sembab. Entah apa yang
terjadi, dia memelukku erat dalam bilikku.
“Kamu kenapa? Apa Pak Edwin nyakitin kamu?” Tanyaku
penuh rasa penasaran dan khawatir.
“Kamu jahat, kenapa kamu merahasiakan ini semua?”
Sembari memberikan buku diaryku.
“Jadi kamu ....” Jawabku terputus.“Kamu kenapa
bohong seperti ini padaku? aku sayang kamu, kalau aku tau kalian sama-sama
suka, aku nggak mungkin tega jadi jarak diantara kalian,” ucapnya sambil
memelukku erat.
“Maafkan aku, aku hanya nggak mau kamu tersakiti
Lisa” jawabku dengan nada lemah.
“Udah-udah, nangisnya udah, sekarang kamu ikut aku,”
ucapnya langsung menarikku menuju mobilnya. Dengan secepat kilat dia membawa
mobilnya menuju stasiun.
“Mau dibawa kemana aku?” Tanyaku penasaran.
“Pak Edwin mau pulang, dan dia enggak akan kembali
lagi,” jawab Lisa dengan nada yang sangat meyakinkan.
Tigapuluh menit berlalu, akhirnya kita sampai di
stasiun itu. Untung saja tidak meleset dari jam pemberangkatan Pak Edwin, aku
berlari sekuat tenaga untuk menemui dia. Aku hendak berucap kalau aku juga
mencintai dia. Dan akhirnya ku temukan dia, ku pegang erat tangannya dan
berkata...“Mas, aku mencintai kamu mas, maafkan aku tak pernah bisa
membahagiakan mas selama ini. Maafkan aku yang telah meragukan mas. Mas tahu
kan kenapa? Mas saya mohon jangan pergi Mas, saya mau Mas disini. Menemani
saya. Saya mohon Mas” ucapku sambil memegang tangannya erat seakan tidak mau
melepaskannya lagi.
“Melia, saya juga masih mencintai kamu, lama sekali
saya menunggu kata-kata yang seperti ini dari bibir kamu, saya merindukan kamu.
Saya juga senang sekali akhirnya kamu bisa memanggil saya dengan sebutan Mas
bukan Bapak. Saya mencintai kamu” Ucapnya dengan nada yang terdengar bahagia.
“Udah jadian aja, toh kalian serasi kok J” Ucap Lisa
yang sontak membuat Pak Edwin kaget.
“Kamu Lisa, kamu disini juga? Jadi kamu yang memberi
tahu kalau hari ini saya mau pulang untuk menjenguk nenek saya yang sedang
sakit?” Ucap Pak Edwin.
“Jadi, Pak Edwin pulang untuk jenguk neneknya? Bukan
untuk pulang dan nggak kembali?” Tanyaku masih diselimuti rasa penasaran.
“Iya lah, emang kamu di bilangi apa sama Lisa? Ha?
jangan percaya kamu sama dia :D” Jawabnya disusul tawa Lisa.
“Lisa kamu .. ihhhh jahat iiihhh” Ucapku sambil
mencubit pipi Lisa.
“Tapi seneng kan, ciyee yang baru jadian ciyee,” ejek
Lisa yang membuat pipi ku memerah.
Akhirnya aku dan Pak Edwin menjalin hubungan, namun
tetap hubungan ku dengan dia, kujadikan motivasi agar aku bisa menjadi lebih
baik kedepannya. Sampai akhirnya aku lulus dari sekolah MA itu, sekolah yang
telah menjadi sejarah transformasiku, dari Melia yang dulu hingga Melia yang
telah banyak mengukir prestasi seperti sekarang. Aku lulus dengan predikat
nomor 2 di sekolah. Itu menjadi hal ajaib yang tidak terduga sama sekali.
Selepasku lulus dari sekolah itu aku diberikan
kejutan oleh Pak Edwin. Dia melamarku tepat di hari ulang tahunku yang
kebetulan jatuh di hari Haflah Akhirussannah (Perpisahan). Aku menerimanya
namun dengan syarat, dia harus menungguku hingga aku menyelesaikan studiku di
Universitas dia dulu. Dan diapun mengangguk tanda setuju. Dialah Motivator dan
Motivasiku, dialah saudara dan temanku, dia kekasih dan cintaku. Itulah aku
dengan cintaku, terlalu banyak akan rintangan dan pengorbanan, namun
pengorbanan yang akhirnya merangkai kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak pernah
terimpikan. Sebelumnya... J
Komentar Bu TutusCinta memang tak ada habisnya untuk diceritakan. Dalam kisah ini dikisahkan perjuangan serta pengorbanan untuk menggapai cinta. Jalan cerita sudah disampaikan dengan cukup bagus. Akan tetapi, konflik yang dihadirkan masih terlalu umum. Terus berlatih untuk menemukan konflik-konflik yang menarik dari karya penulis ternama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar