Sabtu, 19 Desember 2015

The Miracle of Love




Oleh: Desy Lusiana (XII-IPA)



Story of my life searching for the right but it keeps avoiding me...
Alunan musik rock-pop yang dinyanyikan oleh Rihanna, masih terngiang di telingaku. Aku dibangunkan oleh sinar sang fajar yang menyapaku dengan senyum teriknya. Aku mulai beranjak dari tempat ternyamanku untuk melanjutkan hari yang telah menantiku. Aku mencintai musik, bisa dibilang tiada hari tanpa musik.Cita-citaku pun ingin menjadi seorang penyanyi atau musisi, tidak untuk mendapatkan kekayaan atau ketenaran karena aku hanya mau menunjukkan kepada mereka kalau aku bisa menjadi yang terbaik.
Aku Melia kini aku menginjak kelas XI di suatu MA Elite di kotaku, hidupku sama dengan musik, tak semudah membuat alunan nada yang indah, perlu banyak perjuangan merangkai kata-kata yang indah untuk dijadikan sebuah maha karya yang tak puas-puasnya untuk didengarkan, dan kadang setelah semua pengorbanan itu, musik juga kadang dibenci. Itulah musik, yang selaras dengan kehidupanku.
Aku memang perempuan namun aku sangat cuek akan penampilan, aku selalu bertata alakadarnya. Karena aku sangat sibuk dengan banyak kegiatan di sekolah. Tubuhku lebih gemuk dibanding anak seusiaku mungkin karena aku tidak begitu mempedulikan pola makan, kulitku hitam karena biasa berada di tempat yang panas dan mungkin karena kebanyakan ikut ekskul diluar jam pelajaran dan diluar ruangan kali ye? Dan selalu terlihat santai dalam keadaan apapun. Tak satupun yang mendekatiku selain lima temanku yang memang sudah berteman sedari kecil denganku.
Tak ada laki-laki mendekatiku, dan itu ku anggap wajar karena memang tak mungkin ada yang mau dengan ku yang seperti ini, aku tak pernah dipuji dalam hal penampilan. Dan aku menyadari akan hal itu, banyak yang mencelaku, mencemooh setiap penampilanku yang seperti gembel atau apalah. Namun dengan membusungkan dada dan menegakkan kepala aku hanya melempar senyum pada mereka yang membenciku.
Sampai suatu hari karena kecerobohanku yang lari menuju ke sekolah karena jam menunjukkan pukul 06.45 WIB, yang berarti 15 menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Aku ditabrak oleh sesosok laki-laki yang tampan dan cool dengan pakaian layaknya seorang guru, namun dia sama sekali tak terlihat seperti guru, dia lebih mirip artis terkenal Mario Maurer asal Thailand, aku terjerembab tepat dibawah laki-laki tersebut.
“Maaf, mari saya bantu,” ucapnya menggoyahkan lamunanku.

“Iya, maaf kak saya buru-buru,” jawabku sambil menundukkan kepala.
“Jangan buru-buru mangkanya, hati-hati,” diapun kutinggalkan, aku hanya menjawab dengan senyuman. Dan melanjutkan berlari menuju sekolah. Untung saja setelah aku menginjakkan kaki di dalam sekolah bel baru berbunyi. Aku langsung menuju kedalam kelas dan mengikuti pelajaran disana.
“Untung aja lo gak telat Mel,” ucap Tiara yang duduk dibangku ku dan sesegera pindah dari sana. Beberapa saat kemudian datanglah bapak kepala sekolah bersama sosok laki-laki yang tak asing lagi.
“Itu kan?...” kataku pelan.
“Kece banget tuh cowok? Tapi kok mau ya jadi guru? Tampang-tampang kayak dia mah lebih pantes jadi artis,” cerocos Netta.
“Huss, tuh mulut yee,” timpal Lisa.
Pak Kepsekpun mulai membuka pembicaraan, “Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarrakatuh”
“Wa’alaikum salam Warohmatullohi Wabarrakatuh,” jawab Para siswa termasuk aku dengan serempak.
”Maaf mengganggu waktunya sebentar. Tolong didengarkan, saya akan memperkenalkan guru baru disini beliau adalah guru Olahraga pengganti pak Surya dia juga akan membimbing kalian dibidang  konseling alias beliau juga akan menjadi guru BK kalian. Silakan pak perkenalan dulu,”  lanjut pak Kepsek
“Iya, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, perkenalkan nama saya Edwin Pudja Ramadhan, bisa dipanggil Pak Edwin. Untuk perkenalan selanjutnya saat saya mulai mengajar saja, terimakasih.Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap guru kece tersebut.
“Baik terimakasih atas waktunya wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” tutup pak kepsek pagi itu.
“Wih keren tuh guru, kayaknya sih belum nikah, orang masih muda gitu. Wihh gua mau banget jadi ceweknya. Kira-kiraa.....” Cerocos Netta.
 “Hussss stop diem!!! Pertanyaannya, dia mau gak jadi cowok loe?” Sahut putri yang disambut gelak tawa kami berlima. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan sosok laki-laki tersebut. Namun semua perasaan yang aneh ku coba tepis perlahan agar tidak menjadi beban fikiran.
 Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasanya hanya saja ada satu hal yang mengganjal dihati, entah apa, namun ini terasa aneh. Perasaan yang sebelumnya tak pernah kurasakan, kenapa saat aku bertemu dengan guru yang seminggu lalu baru masuk sebagai guru BK dan Olahragaku itu aku merasa aneh? Apalagi saat senyum itu dilemparkan padaku, terasa ada yang berguncang di dada? Apa ini? Namun aku hanya bisa diam karena aku malu bila curhat keteman-teman tentang apa yang aku rasakan.
Sampai pada satu sore, saat itu aku pulang terlambat karena harus mengikuti rapat OSIS dahulu, maklumlah aku di organisasi tersebut punya jabatan menjadi Waketu (Wakil Ketua) jadi aku harus aktif di organisasi tersebut. Akibat dari pulang telat, aku udah ditinggal sama Siska, so alamat pulang pakai jasa ojek deh. Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, tapi aku belum nemuin ojek, saat lagi bingung-bingungnya, entah ada angin apa yang membawa Pak Edwin mau memberi tumpangan padaku.

“Melia kan? Kok belum pulang,” ucapnya mengagetkanku.
“Eh Pak Edwin, i..iya pak saya nunggu ojek lewat, tapi dari tadi enggak ada. padahal udah hampir 1 jam nungguin,” jawabku sedikit gugup.
“Yaudah, saya antar ya. Nanti kamu tunjukin ya arah rumah kamu,” sahutnya.
Serrrrr darahku seakan mengalir dengan cepat, yang kurasa hanya dag dig dug derrr.. aku mau bilang apa? Nolak ya sayang banget, kalo mau yaa, mau banget lah J akhirnya ku terima tawaran Pak Edwin yang tak diduga-duga tersebut.
Saat berada diatas motor bersama Pak Edwin, entah mengapa mulutku susah sekali dibuka, aku hanya merunduk dan berharap lekas sampai. Tanganku serasa seperti batu es, dingin banget. Tubuhku entah mengapa sedari tadi bergetar tak karuan. Kenapa ini? Apa aku mau sakit? aku hanya diam.
Sampai satu ucapan Pak Edwin mengagetkanku.“Kamu kenapa diam saja? Kamu sakit?” ucapnya pelan.
“Engg enggak pakk, saya enggak kenapa-kenapa. Cuman saya lagi kedinginan saja” jawabku terbata-bata.
Entah apa lagi ini, aku kaget banget saat Pak Edwin tiba-tiba meminggirkan motornya dan dengan sigap mencopot jaket yang ia kenakan dan memberikannya padaku. “Pakailah, supaya kamu enggak kedinginan,” ucapnya.
“Enggak usah pak, saya gapapa kok,” sahutku sambil tetap menundukkan kepala.
“Udah pakek aja, bapak enggak bakal kedinginan, atau kamu mau bapak turunkan disini?”Ancamnya.
Tanpa pikir panjang, ku kenakan saja jaket kulit berwarna hitam dengan sentuhan warna putih di bagian-bagian tertentu tersebut.“Terimakasih pak,” ucapku dengan melempar senyum namun masih dengan menundukkan kepala.
Beberapa menit kemudian, sampailah kita pada tujuan.“Ini rumah kamu? Cepat masuk sana, katanya kamu kedinginan,” ucap Pak Edwin.
“Ini jaketnya pak, terimakasih sudah mau mengantar saya,” timpalku lembut.
“Iya, sama-sama,” jawabnya.
“Pulang telat lagi ya kalo bisa,” Tambahnya lirih dan terdengar samar-samar.
Apa maksudnya? “Apa pak?” Tanyaku penasaran.
“Nggak ada, bapak pulang dulu ya. Assalamu’alaikum” Tanpa menunggu jawabanku dia pun melesat dengan cepat.“Wa’alaikum salam J” Jawabku sembari berlari masuk kedalam rumah.
Semenjak saat itu, aku jadi lebih akrab dengan Pak Edwin. Aku juga sering diantar pulang saat aku pulangnya kesorean atau udah ditinggal sama Siska. Entah mengapa Pak Edwin selalu memotivasiku untuk menjadi lebih baik. Semenjak aku mengenalnya, dan lebih dekat dengannya, aku jadi lebih memperhatikan penampilan, aku sekarang lebih rajin olah raga, lebih menjaga asupan gizi yang ku makan dan lebih memperhatikan fashion. Entah kenapa? Sampai akhirnya berat badanku sedikit susut dan kulitku tampak memutih itu sih yang dibilang sama teman-teman. Sekarang tiada lagi yang memanggilku buntelan, penggorengan atau apalah. Prestasiku juga meningkat pesat, awalnya nilai-nilai ulanganku selalu kurang bagus. Tapi karena semangat dan dorongan darinya aku jadi lebih giat dalam belajar. Dan akhirnya aku mendapat peringkat kedua di semester ganjil ini. Selain itu aku sekarang juga diangkat menjadi Gitapati di grup Drumband sekolah, mungkin karena perubahan tubuhku yang drastis dalam jangka waktu 6 bulan ini. Masih banyak perubahan yang aku rasakan dari perkenalanku dengan Pak Edwin, mengikuti kontes bernyanyi hingga mendapat juara 1 pun pernah. Itu karena Pak Edwin tak henti-hentinya memuji dan menyemangatiku ketika aku sedang melakukan hobiku itu. Aku bersyukur bisa mengenal sosok Pak Edwin. Sampai 6 bulan saat kita sudah saling kenal dan dekat,untuk pertama kalinya Pak Edwin memberikan aku dua lembar kertas dilipat rapi dan diberi pita warna biru kesukaanku sebagai pengikatnya yang ia selipkan diantara buku LKS Penjaskes milikku yang telah selesai ia nilai. Sampainya dirumah, aku segera masuk dan megunci kamar. Dengan tubuh yang bergetar hebat, aku mulai membaca isi surat tersebut.


“Assalamu’alaikum Adik Melia.

Yang pertama, saya mau meminta maaf kepada adik kerena sudah tidak sopan seperti ini, lancang memberikan adik sepucuk surat ini lewat buku yang adik kumpulkan seminggu lalu. Namun saya ingin dan harus menyampaikan suatu hal yang tidak bisa dan tidak kuasa saya ungkapkan secara langsung kepada adik.
Oh iya dik, sebenarnya saya kurang suka adik panggil saya dengan sebutan Bapak, karena saya masih 23 tahun, lagian saya kan nggak tua-tua amat kan untuk dipanggil mas oleh adik. Maafkan saya lancang memanggil kamu dengan sebutan adik disini. Panggil saya mas bila diluar pelajaran atau jam sekolah.
Dik, ada hal yang harus adik tahu. Saya suka dengan adik, saya menyukai adik sebelum adik menjadi seperti ini. Dulu lebih tepatnya setahun lalu sebelum saya menjadi guru disini, saya adalah mahasiswa di Universitas dekat dengan sekolah ini. Sampai akhirnya saya tahu tentang adik. Satu tahun saya mencari tahu tentang adik.
Enggak usah tanya bagaimana saya mengetahui adik, nasi goreng, jus melon, Avril Lavigne, Innocence, Mimpi yang sempurna, Cinta dalam Hati, Unfaithful, Biru, dan semua kesukaan adik, saya tahu semuanya. Entah magnet apa yang menarikku untuk lebih mengenal adik. Sampai akhirnya saya melamar menjadi guru di sekolah adik. Adiklah motivasi saya, sebelum mengenal adik , saya orangnya pemalas. Tapi entah mengapa setelah mengetahui tentang adik semangat saya terbakar sampai akhirnya saya bisa lulus dari Universitas saya dan menjadi guru di sini.
Pasti adik kaget, mangkanya saat pertama kali adik tahu saya, ingat saat adik tertabrak seorang laki-laki berpakaian guru 5 bulan 1 minggu yang lalu, awal saya bekerja disini. Itu memang saya sengaja, agar adik melihat keberadaan saya. Dan saya senang saat mendapat senyum adik untuk pertama kalinya.
Pasti sekarang adik bertanya-tanya, apa yang saya suka dari adik? Dan akan saya jawab. Apa yang saya suka dari adik, pertama, adik orangnya gigih, adik tak pernah mengeluh dalam hal apapun sekalipun itu merugikan bagi adik, kedua adik orangnya pantang menyerah. Terlihat pada usaha adik dalam membangun OSIS di sekolah adik. Ketiga, adik orangnya tegar dan PD, saya tahu gimana rasanya di kucilkan, di hina dan di hujat karena fisik kita buruk dimata orang lain, tapi adik dengan ikhlas dan sabarnya hanya membalas mereka dengan senyuman. Dan masih banyak yang saya suka dari adik.
Adik, saya tidak menuntut adik harus membalas rasa yang saya miliki tapi saya hanya ingin terus berada dekat di sisi adik. Saya hanya tak ingin jauh dari adik. Sekalipun adik tidak dapat saya miliki. Maafkan saya bila ada kata-kata yang menyinggung perasaan adik. Dari sini saya cukupkan isi surat ini. Tidak usah dibalas surat ini.
Wassalamu’alaikum Adik Melia
                                                                                                                                                                          Salam Sayang
Edwin”
Aku seakan melayang, kuhempaskan tubuhku keatas ranjang, aku hanya diam dan tak percaya dengan isi surat tersebut. Isi surat itu membuatku tak lapar, bahkan aku tak menyentuh makan siang dan makan malamku. Aku hanya duduk di balkon kamarku dan terus membaca isi surat tersebut. Apa ini? Aku masih tak percaya.
Sampai pada keesokan harinya dimana aku ingin menceritakan ini semua kepada kelima sahabatku, namun alangkah terkejutnya aku saat mendengar pernyataan Lisa pagi itu.
“Guys aku pengen cerita nih ke kalian,” ucapku bersemangat pagi itu.
“Gak mau, aku dulu, dengerin ya, guys. Aku pengen jujur sama kalian dan aku mau minta pendapat sama kalian. To the point aja yah. Aku.... sukaa samaaa...... guru olahraga kitaaa JPak Edwin,” ucap Lisa dengan menggebu-gebu.
Glek, rasanya ada yang patah dalam diri ku, pupus sudah harapanku untuk menjadi nyonya Edwin, aku ga mungkin nyakitin sahabatku sendiri. Seketika wajahku berubah menjadi pucat pasi, tubuhku serasa kaku dan mengeluarkan keringat dingin. Aku hanya diam dalam sesaat.
“Mell, Meliiaaaa!” Panggil Lisa yang sontak mengagetkanku.
“Mel, kamu kenapa?” Ucap Netta yang kaget melihat muka ku yang memucat.
“Kamu sakit ya Mel? Oh iya, katanya kamu juga mau cerita? Cerita apa?” Timpal Putri.
“Enggak kok, nggak jadi. Aku gapapa. Oh iya lanjutin donk cerita kamu Lis,” jawabku melemah namun masih menyelipkan senyum pada ucapanku.
“Aku lanjutin ya, aku suka sama dia nih, Mel kamu kan yang deket tuh sama dia, tolong donk bantuin aku supaya jadi sama dia” Ucapnya memanja.
“Iya nanti ku bantu” Jawabku singkat
Bel berbunyi, Pak Edwin pun memasuki ruang kelas ku karena memang pagi itu ada jadwal Pak Edwin di jam Pertama. Aku yang semula duduk di bangku temanku langsung beranjak, namun saat kucoba berdiri aku tak kuasa menopang tubuhku sendiri, mataku terasa berat, kepalaku pusing sekali, akhirnya aku pun tak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian aku membuka mataku kembali.
“Kamu sudah siuman dik? Kamu tak apa? Kamu mau diambilkan apa? Masih pusing? Atau apa?” Ucap Pak Edwin yang nampaknya sangat mengkhawatirkanku.“Saya tidak apa-apa, dimana teman-teman saya?” Jawabku dengan nada lemah.
“Teman-teman kamu ada diluar, mereka mencemaskan kamu, kamu kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanyanya masih khawatir.
“Tidak apa pak,” jawabku singkat.
Aku masih terdiam, aku masih terfikirkan kalimat Lisa tadi, apa benar dia menyukai Pak Edwin? Kalo benar, apa aku tega menyakiti hatinya hanya untuk kebahagiaanku? Ku lirik Pak Edwin yang terlihat cemas menungguiku di sudut UKS. Dengan usahaku, aku mencoba bangun dari tidurku. Pak Edwin yang mengetahui kesusahanku, dia dengan sigap membantuku untuk duduk. Dia melempar senyum padaku. “Bapak bawa Bulpoint enggak sama kertas,” ucapku lirih
“Ada, nih. Untuk apa?” Jawabnya sembari mengulurkan secarik kertas dan bulpointnya.
Aku hanya diam dan mengambil kertas berserta bulpoin yang ia julurkan dan menuliskan suatu alamat yang harus ia datangi. Aku berikan kertas itu padanya, dan aku memintanya agar membawaku ke teman-temanku.
Malam harinya, karena aku tidak diperbolehkan keluar malam karena badanku yang kurang fit, aku mengajak putri untuk ikut denganku menemui Pak Edwin, sebelumnya aku menyuruh Putri agar bisa menjaga rahasia ini.
Sesampainya di taman, aku dan putri langsung menghampiri Pak Edwin, malam itu dia terlihat tampan sekali dengan menggunakan kemeja biru laut dengan celana kain khas guru, dia mungkin tidak terlihat seperti guru, namun seperti artis Thailand.
“Busyeettt, nih guru cakep amat ya, kamu mau ngapain ketemu dia?” Bisik Putri terkagum-kagum saat bertemu Pak Edwin.“Udah , diem, kamu udah janji kan tadi” Sahutku
“Assalamu’alaikum, ada apa adik menyuruh saya kesini?” Tanyanya dengan nada sopan.
“Wa’alaikum salam. Pak , kita harus membicarakan sesuatu, maaf saya mengajak teman saya, karena saya tidak di perbolehkan keluar sendirian.” Ucapku terputus.
“Saya tidak bisa menjadi bagian dari hidup bapak, saya tidak bisa menghancurkan perasaan sahabat saya pak” Sambungku dan tak terasa mengalir lah air mataku.
“Tapi, adik juga menyukai saya bukan? Semua usaha adik untuk terlihat seperti sekarang itu juga karena saya bukan?” Tanyanya tak percaya.
“Saya memang suka sama bapak, tapi saya tidak bisa menyakiti hati sahabat saya sendiri hanya untuk kebahagiaan saya” Ucapku sesenggukan menahan tangis.
“Tapi, kamu akan lebih egois karena kamu akan menyakiti dua hati sekaligus Melia. Hatiku dan hati kamu sendiri!” Jawabnya tegas.
“Mel, kamu gila ya, Pak Edwin itu serius loh. Apa kamu tega buat nolak dia? Kamu harus tahu kalau sebenarnya Pak Edwin ini adalah anak dari kakak Ibuku, maaf sebelumnya, aku tak bermaksud menengahi urusan kalian,dan maafkan aku, maaf Mel, aku enggak pernah bilang siapa dia sebenarnya. Karena dia sendiri yang meminta agar identitas dia yang sebenarnya di rahasiakan. Tapi kamu harus tahu kalau Pak Edwin selama ini selalu memperhatikan kamu, dia berjuang keras untuk segera lulus dari Universitasnya yang udah lebih dari 6 tahun dan segera melamar menjadi guru di sekolah kita, itu cuma buat bisa ketemu kamu terus Mel. Dia tahu banyak hal tentang kamu tuh dari aku! Maaf sudah lancang, tapi itu karena aku percaya sama dia kalo dia beneran sayang sama kamu! Selain dia pengen selalu ketemu kamu, dia juga pengen mengubah kamu seperti apa yang kamu mau. Dia ingin memotivasi kamu seperti kamu menjadi motivasi dia Melia....” Kata Putri yang mulai angkat bicara karena dari tadi hanya terbengong-bengong.
“Beneran Put? Tapi meski begitu biarkan sajalah, pak, kalau bapak sayang sama Melia, bapak harus melakukan satu hal yang bisa buat Melia percaya sama bapak!” jawabku dengan suara yang sudah semakin serak karena sedang menangis juga.
“Apapun akan saya lakukan agar Adik percaya kalau saya benar-benar tulus dengan adik!” Jawabnya dengan tegas.
“Jadikanlah Lisa sebagai kekasih, cintai dia dengan tulus pak. Saya tak mau menyakiti kebahagiaan dia. Karena saya tahu kebahagiaan dia hanya bersama bapak” ucapku dengan jelas.
“Kamu memang sungguh baik hati Melia. Baiklah kalau itu mau kamu, saya akan menjadikan Lisa sebagai kekasih saya. Itu tanda kalau saya sangat mencintai kamu. Dan ingat, saya akan tetap dan selalu mencintai kamu Melia. Aku harap kamu pun begitu.” Jawabnya dengan rasa kepasrahan.
Akupun berlalu meninggalkan dia, kutarik tangan Putri dan sesegera mungkin mengajak dia pulang
Dalam perjalanan pulang,  aku tak henti-hentinya bercerita panjang lebar kepada Putri. Dan dia satu-satunya sahabatku yang mengetahui ini semua dan ku paksa berjanji agar tidak menceritakan pada siapapun.
Keesokan harinya.
Aku langsung mendengar kabar bahwa Lisa dan Pak Edwin jadian. Aku hanya tersenyum kecil dan berpura-pura ikut bahagia dengan kabar tersebut. Aku terus menyembunyikan semua yang telah terjadi di belakang Lisa.
Tak terasa hampir satu tahun sudah Lisa dan Pak Edwin menjalin hubungan, dan akupun menginjak kelas XII. Sudah beranjak dewasa juga kita, Pak Edwin memang sosok yang setia, namun tetap saja, disetiap ada kesempatan, aku sering kali menemukan Pak Edwin sedang memperhatikanku. Hanya saja aku tidak pernah mencoba menggubris sikap Pak Edwin tersebut, agar Lisa tidak curiga dengan apa yang pernah terjadi. Semua rahasia tertutup rapat sampai saat itu.
 Namun pada suatu hari karena kecerobohanku. Buku Diary ku tertinggal dikelas dan saat itu dikelas hanya tinggal Lisa dan Putri, mereka berniat mengembalikan itu pada ku, namun pada saat buku itu diambil, ada kertas-kertas yang jatuh. Ternyata itu adalah surat yang diberikan Pak Edwin satu setengah tahun lalu.
Lisa membaca isi surat tersebut dan isi buku Diaryku. Sore harinya dia datang kerumahku dengan mata sembab. Entah apa yang terjadi, dia memelukku erat dalam bilikku.
“Kamu kenapa? Apa Pak Edwin nyakitin kamu?” Tanyaku penuh rasa penasaran dan khawatir.
“Kamu jahat, kenapa kamu merahasiakan ini semua?” Sembari memberikan buku diaryku.
“Jadi kamu ....” Jawabku terputus.“Kamu kenapa bohong seperti ini padaku? aku sayang kamu, kalau aku tau kalian sama-sama suka, aku nggak mungkin tega jadi jarak diantara kalian,” ucapnya sambil memelukku erat.
“Maafkan aku, aku hanya nggak mau kamu tersakiti Lisa” jawabku dengan nada lemah.
“Udah-udah, nangisnya udah, sekarang kamu ikut aku,” ucapnya langsung menarikku menuju mobilnya. Dengan secepat kilat dia membawa mobilnya menuju stasiun.
“Mau dibawa kemana aku?” Tanyaku penasaran.
“Pak Edwin mau pulang, dan dia enggak akan kembali lagi,” jawab Lisa dengan nada yang sangat meyakinkan.
Tigapuluh menit berlalu, akhirnya kita sampai di stasiun itu. Untung saja tidak meleset dari jam pemberangkatan Pak Edwin, aku berlari sekuat tenaga untuk menemui dia. Aku hendak berucap kalau aku juga mencintai dia. Dan akhirnya ku temukan dia, ku pegang erat tangannya dan berkata...“Mas, aku mencintai kamu mas, maafkan aku tak pernah bisa membahagiakan mas selama ini. Maafkan aku yang telah meragukan mas. Mas tahu kan kenapa? Mas saya mohon jangan pergi Mas, saya mau Mas disini. Menemani saya. Saya mohon Mas” ucapku sambil memegang tangannya erat seakan tidak mau melepaskannya lagi.
“Melia, saya juga masih mencintai kamu, lama sekali saya menunggu kata-kata yang seperti ini dari bibir kamu, saya merindukan kamu. Saya juga senang sekali akhirnya kamu bisa memanggil saya dengan sebutan Mas bukan Bapak. Saya mencintai kamu” Ucapnya dengan nada yang  terdengar bahagia.
“Udah jadian aja, toh kalian serasi kok J” Ucap Lisa yang sontak membuat Pak Edwin kaget.
“Kamu Lisa, kamu disini juga? Jadi kamu yang memberi tahu kalau hari ini saya mau pulang untuk menjenguk nenek saya yang sedang sakit?” Ucap Pak Edwin.
“Jadi, Pak Edwin pulang untuk jenguk neneknya? Bukan untuk pulang dan nggak kembali?” Tanyaku masih diselimuti rasa penasaran.
“Iya lah, emang kamu di bilangi apa sama Lisa? Ha? jangan percaya kamu sama dia :D” Jawabnya disusul tawa Lisa.
“Lisa kamu .. ihhhh jahat iiihhh” Ucapku sambil mencubit pipi Lisa.
“Tapi seneng kan, ciyee yang baru jadian ciyee,” ejek Lisa yang membuat pipi ku memerah.
Akhirnya aku dan Pak Edwin menjalin hubungan, namun tetap hubungan ku dengan dia, kujadikan motivasi agar aku bisa menjadi lebih baik kedepannya. Sampai akhirnya aku lulus dari sekolah MA itu, sekolah yang telah menjadi sejarah transformasiku, dari Melia yang dulu hingga Melia yang telah banyak mengukir prestasi seperti sekarang. Aku lulus dengan predikat nomor 2 di sekolah. Itu menjadi hal ajaib yang tidak terduga sama sekali.
Selepasku lulus dari sekolah itu aku diberikan kejutan oleh Pak Edwin. Dia melamarku tepat di hari ulang tahunku yang kebetulan jatuh di hari Haflah Akhirussannah (Perpisahan). Aku menerimanya namun dengan syarat, dia harus menungguku hingga aku menyelesaikan studiku di Universitas dia dulu. Dan diapun mengangguk tanda setuju. Dialah Motivator dan Motivasiku, dialah saudara dan temanku, dia kekasih dan cintaku. Itulah aku dengan cintaku, terlalu banyak akan rintangan dan pengorbanan, namun pengorbanan yang akhirnya merangkai kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak pernah terimpikan. Sebelumnya... J



Komentar Bu Tutus
Cinta memang tak ada habisnya untuk diceritakan. Dalam kisah ini dikisahkan perjuangan serta pengorbanan untuk menggapai cinta. Jalan cerita sudah disampaikan dengan cukup bagus. Akan tetapi, konflik yang dihadirkan masih terlalu umum. Terus berlatih untuk menemukan konflik-konflik yang menarik dari karya penulis ternama 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto