Sabtu, 19 Desember 2015

Segelintir Nostalgia



Oleh: Ainun Ainiyah (IX-D)

Dunia bermasam kemasygulan. Gambaranmu pucat pasi. Saling bertukar amanah, berbagi sehangat kasih sayang.Tanpa kusadari, engkau sering bertutur  “Afwan Ukhti ... Afwan Akhi ...”  Serasa tertusuk jarum disetiap sudut. Tapi, kau tidak takut menghadapinya. Bagaikan malaikat titipan Tuhan. Setiap jam, menit, detik mengandung mudarat, tersembunyi di balik ke aliman dirimu.
Selukis, engkau goreskan tinta merah. Seraya, ada gunting dalam lipatan yang kau sembunyikan. Ada kebohongan besar yang mungkin hanya Tuhan dan engkau yang tahu. Sehelai kertas putih suci tercoret namamu bercorak segumpalan darah. 
Akhi ... Kenapa kau ni? Apa kau sakit? Eh, nak tengok gambar kaulah...’’ Ujarku berbahasa Melayu. Aku bukanlah orang asli Indonesia, melainkan perantau.
“Iya lihat saja, tuh  di depan,” dia hanya diam 1000 bahasa.
“Waahh ... apaan ni? Apa yang kau maksud? Teman-teman tak mencantumkan temanya kok kamu ada temanya? Tema Kematian lagi!!! Jangan ngawur!?,” pikiranku penuh tanda tanya.
“Babahin, suka suka ana,”  sembari tersenyum menutupi mulutnya dibalik giginya yang gingsul.
Terasa sepi hening. Angin memunculkan sepoi-sepoi basah. Laksana maut yang berloncat kesana kemari. Sesaat, sekolah mengadakan hajatan manaqib, kegiatan rutinitas kami  setiap menjelang detik-detik ujian nasional. Sebab itu, kita pulang pagi kira-kira pukul 09.00.
Tepat pada fajar itu, kau telah hafidz Qur’an sebanyak 6 juz. Subhanallah, sungguh berapa kali kau menghibur kami? Berapa kali kau mengajari kami? Berapa kali kau mendaras Firman Allah? Berapa kali kau bersholawat? Semua itu termaktub dalam lembaran suci Sang Malaikat Rakib dan Atid, wahai lelaki Sholeh.
Suasana nampak begitu sepi. Kanan kiri sekolah hanyalah sebuah sungai dan tanah tersirat. Tiga ponokawan melanglang menuju hulu sungai. Di bawah teriknya matahari di siang bolong.  Saat itu, dia mendesak dua temannya yang juga teman sekolahku. Kedua sohibnya  adalah  teman satu Ma’had.
“Ayo mancing rek ...” ajak dia.
“Ayo Zam, kau bawa pancing ya...” tutur keduanya sohibnya sambil membawa sebatang pepas bambu guna untuk menombak ikan.
Mereka memancing di samping sekolah yang kebetulan para pelajar sudah pulang ke rumah masing masing. Alur air sungai tak seperti biasanya. Dulu, nampak bebatuan besar-besar sehingga kali nampak dangkal. Sekarang, para bebatuan  dimakan butiran pasir, membuat kali terkesan keruh serta curam. Di bawah jembatan tua, terdapat 2 sungai berbeda arus.  Dua  bengawan ini memiliki model air berbeda. Keduanya saling menghantam seperti halnya musuh. Kejernihan serta balam-balam memiliki sifat yang berbeda.
Sporadis menjadi awan hitam. Kini duka menyelimuti awan, bersama keributan angin badai. Tergelincir di hulu sungai yang menenggelamkan jiwa sang sahabat. Di bawah tumpukan seroja. Tenggelam selama berjam-jam menuju awal kehidupan baru. Di balik sarung  kotak-kotak terdapat kesyahidan dalam kematiannya. Berceceran darah muncul di setiap pangkal tubuhnya. Berlukis sebuah gravity seperti yang ia gambarkan. Segumpal darah, di bawah namanya. Meninggalkan senyuman indah pada semua orang. Memberikan tanda-tanda secara perlahan. Tanpa ada air serta kotoran yang membekas dalam tubuhnya. Ciuman Ibunda selembut sutra sebagai tanda perpisahan.
Darah membuntal tubuhmu. Ratusan helai kapas bersama selimut bercorak garis-garis tak mampu menghentikan darah. Masyaallah, keajaiban Allah. Ratusan keping darahmu keluar dan tak berbau busuk.
Semula, tak ada seorangpun percaya, tangisan kawan-kawan menjerit mengalahkan puluhan klakson. Deretan serambi masjid bertumpuk asap duka. Tangisan tak dapat ditahan. Penyesalan, pengorbanan, berbagi, serta kasih sayang hanyalah kenangan musnah.
“Tak mungkin! Kenapa Allah mengambilnya dulu? Kami sayang padanya! Ya Allah, jika kau berkehendak berilah dia kesempatan hidup lagi!”
“Sabarlah... Allah menyayanginya. Setiap makhluk hidup pasti akan mati. Takdir hidup tak tertulis sesuai apa yang kita hendaki, Allah memilikirencana lain. Sabarlah, Istighfar Nak... Doakan saja... kita yang masih hidup hanya bisa mendoakan,” nasihat Ibu guruku yang ikut menangis, berusaha menenangkanku.
Mulut kami serta isak tangis mengiringi lantunan doa. Keikhlasan serta keridhoan harus ditegakkan.Namun itu masih sulit bagi kami. Dia adalah Sohib baik kami. Setelah istighosah,  kami pergi ke rumah duka. Sepanjang jalan bercecer derai tangisan kami.
Dia Pergi pada saat tidak bersama keluarga serta teman-teman. Dalam sekejap mata kau hilang. Di benakku mungkin hanyalah fatamorgana. Tetapi berbalik arah  menjadi fakta.
Hemistik kematian berkumandang di mana-mana. Semut  bergerombol memenuhi rumah duka ingin melihat proses pemakaman. Doa di setiap nafas pelayat mengaliri jalanmu. Hanya selembar 3  lapis kafan dan kapas di hidung yang menemani tidur nyenyakmu. Tetesan air mata membanjiri wajah pelayat. Mataku hanya bisa melihat jasadmu dari kejauhan. Terbaring tenang di atas ranjang. Tubuhmu tertutup oleh kain hijau bertulis lafadz “Lailahaillallah” dalam keranda yang kau tumpangi. Semerbak bunga-bunga bertaburan di atas jasadmu menghiasi nestapa, alam barumu.
Wasiat yang kau berikan “Aku sayang kalian. Aku ingin kalian semua pintar ngaji. Aku ingin kalian kompak,” banyak yang kau ajarkan padaku. “Lelaki itu tak boleh kasar pada perempuan. Karena wanita bagaikan sosok Ibu”. Kau juga mengajarkanku nada-nada indah banjari mulai nada rendah hingga nada tinggi.
Kenangan terindah, kita berjalan-jalan mengelilingi kota. Memutari kota sebanyak 7 kali, semacam thawaf. Hal itu membekas dalam hatiku yang pilu. Memunculkan epiema di setiap sendi. Peristiwa itu adalah kenangan terakhir ketika canda, tawa, sedih, lelah, pusing kita ledakkan  bersama-sama, di bawah sengatan panasnya matahari.  Muncul keegoisan serta loyalitas pada setiap kawan.
Kesuksesanmu dalam mengajari kawan-kawan bermain banjari sukses. Engkau pasti bangga. Di sini kawan-kawan sudah lancar bermain banjari. Setiap acara-acara tertentu mereka perform. Setiap jam kosong kau mengajarkan kawan kawan hal positif. Merubah jati diri mereka, yang awalnya menjadi pemalas, kini menjelma rajin.
Kesyahduanmu melafadzkan firman Allah menakjubkan hati. Kemerduan Sholawat menjadi andalan kita. Di mana setiap waktu hanya mencari Ridho Sang Ilahi, Dialah Sang Mestro Agung, Nasib memang tak selalu yang di inginkan. Apa yang bisa kita buat? Akankah melawan takdir Ilahi? Tidakkk !!! Inilah ketetapan Sang Illahi. 
“Nihil!” itulah cerminan dalam benakku. Terkadang keluar tangisan, kerinduan, Serta rindu akan candamu.Kegundahan selalu terfikir melukis pancaran gambaranmu, membekas dalam diri kita.
Hampa ...
Mumur   ...
Ternyata semenjak kau mangkat, baru tersasa bagaimana rasanya ditinggalkan sosok Sahabat. Suasana menjadi berubah total. Wijdan terkadang masih tak percaya akan kepergianmu. Teringat sosok citra jasadmu. Janji tekad menuntut ilmu di Kairo Mesir hanya tinggal kenangan. Kau sudah berangkat. Tak lupa, engkau juga meminta restu Ibu dan Ayah, membahagiakan di dunia dan akhirat.  Moralitas kehidupan dunia hanyalah bersifat fana. “Aku lebih suka kehidupan di akhirat yang baqa’, daripada kehidupan dunia  hanyalah penuh dengan kemaksiatan, yang nanti akhirnya juga akan hancur.”  Itulah prinsip hidupmu. Selama ini terselip dalam jiwamu. Memang seluruh makhluk digolongkan dalam kehancuran, ketiadaan, dan fana.
 Waktu terus berlalu, jauh di belakang waktu. Kini hanyalah amal  teman sejatimu. Selamat tinggal Shobat . Tenanglah di pusara rumah barumu. Aku sadar, kau tak butuh tangisan, hanya doa dan keikhlasan yang engkau perlukan.

Komentar Bu Tutus
Cerita yang dihadirkan cukup ringan yaitu tentang persahabatan, namun dikemas dengan bahasa yang menarik. Dari dialog maupun cerita yang digambarkan mengandung nilai moral positif yang diharapkan mampu diserap pembacanya. Akan tetapi, dalam cerita tersebut beberapa istilah asing yang masih sulit ditafsirkan pembaca. Alangkah lebih baik, jika istilah tersebut diberi rujukan agar pembaca mudah memahami isi cerita.
mudarat: rugi; tak beruntung; gagal; tak berguna.
manaqib:
ponokawan:
Sporadis:
gravity:
syahid: orang yang mati karena membela agama.
fatamorgana: hal yang bersifat khayal dan tidak mungkin tercapai, seperti gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas.
Hemistik:
epiema:
loyalitas:
perform: pentas; penampilan.
pusara:kubur; perkuburan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto