Oleh: Ainun Ainiyah (IX-D)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFPCYiVv2KCJ3r7nct-OOPL_KjxP0wnuOAwD8kI-lKxo4OOUNVrNLQOjj3eMM9A7CblFEzh8XTB7v2Rhwc-FL0Ze6lQEju3JqEm4jDOqA8vSKOSiVfcCe5qWubFireKT0rgtl8QMSHqGM/s320/cerpen+ainun+1.jpg)
Selukis, engkau goreskan tinta
merah. Seraya, ada gunting dalam lipatan yang kau sembunyikan. Ada kebohongan
besar yang mungkin hanya Tuhan dan engkau yang tahu. Sehelai kertas putih suci
tercoret namamu bercorak segumpalan darah.
“Akhi ... Kenapa kau ni? Apa kau sakit? Eh, nak tengok gambar
kaulah...’’ Ujarku berbahasa Melayu. Aku bukanlah orang asli Indonesia,
melainkan perantau.
“Iya lihat saja, tuh di depan,” dia hanya diam 1000 bahasa.
“Waahh ... apaan ni? Apa yang
kau maksud? Teman-teman tak mencantumkan temanya kok kamu ada temanya? Tema
Kematian lagi!!! Jangan ngawur!?,” pikiranku penuh tanda tanya.
“Babahin, suka suka ana,” sembari tersenyum menutupi mulutnya dibalik
giginya yang gingsul.
Terasa
sepi hening. Angin memunculkan sepoi-sepoi basah. Laksana maut yang berloncat
kesana kemari. Sesaat, sekolah mengadakan hajatan manaqib,
kegiatan rutinitas kami setiap menjelang
detik-detik ujian nasional. Sebab itu, kita pulang pagi kira-kira pukul 09.00.
Tepat pada fajar itu, kau telah
hafidz Qur’an sebanyak 6 juz. Subhanallah, sungguh berapa kali kau menghibur
kami? Berapa kali kau mengajari kami? Berapa kali kau mendaras Firman Allah?
Berapa kali kau bersholawat? Semua itu termaktub dalam lembaran suci Sang
Malaikat Rakib dan Atid, wahai lelaki Sholeh.
|
Suasana nampak begitu sepi.
Kanan kiri sekolah hanyalah sebuah sungai dan tanah tersirat. Tiga ponokawan
melanglang menuju hulu sungai. Di bawah teriknya matahari di siang bolong. Saat itu, dia mendesak dua temannya yang juga
teman sekolahku. Kedua sohibnya
adalah teman satu Ma’had.
“Ayo mancing rek ...” ajak dia.
“Ayo Zam, kau bawa pancing
ya...” tutur keduanya sohibnya sambil membawa sebatang pepas bambu guna untuk
menombak ikan.
Mereka memancing di samping
sekolah yang kebetulan para pelajar sudah pulang ke rumah masing masing. Alur
air sungai tak seperti biasanya. Dulu, nampak bebatuan besar-besar sehingga
kali nampak dangkal. Sekarang, para bebatuan dimakan butiran pasir, membuat kali terkesan
keruh serta curam. Di bawah jembatan tua, terdapat 2 sungai berbeda arus. Dua
bengawan ini memiliki model air berbeda. Keduanya saling menghantam
seperti halnya musuh. Kejernihan serta balam-balam memiliki sifat yang berbeda.
Sporadis
menjadi awan hitam. Kini duka menyelimuti awan, bersama keributan angin badai.
Tergelincir di hulu sungai yang menenggelamkan jiwa sang sahabat. Di bawah
tumpukan seroja. Tenggelam selama berjam-jam menuju awal kehidupan baru. Di
balik sarung kotak-kotak terdapat kesyahidan
dalam kematiannya. Berceceran darah muncul di setiap pangkal tubuhnya. Berlukis
sebuah gravity seperti yang ia gambarkan. Segumpal darah,
di bawah namanya. Meninggalkan senyuman indah pada semua orang. Memberikan
tanda-tanda secara perlahan. Tanpa ada air serta kotoran yang membekas dalam
tubuhnya. Ciuman Ibunda selembut sutra sebagai tanda perpisahan.
Darah membuntal tubuhmu.
Ratusan helai kapas bersama selimut bercorak garis-garis tak mampu menghentikan
darah. Masyaallah, keajaiban Allah. Ratusan keping darahmu keluar dan tak
berbau busuk.
Semula, tak ada seorangpun
percaya, tangisan kawan-kawan menjerit mengalahkan puluhan klakson. Deretan
serambi masjid bertumpuk asap duka. Tangisan tak dapat ditahan. Penyesalan,
pengorbanan, berbagi, serta kasih sayang hanyalah kenangan musnah.
“Tak mungkin! Kenapa Allah
mengambilnya dulu? Kami sayang padanya! Ya Allah, jika kau berkehendak berilah
dia kesempatan hidup lagi!”
“Sabarlah... Allah
menyayanginya. Setiap makhluk hidup pasti akan mati. Takdir hidup tak tertulis
sesuai apa yang kita hendaki, Allah memilikirencana lain. Sabarlah, Istighfar
Nak... Doakan saja... kita yang masih hidup hanya bisa mendoakan,” nasihat Ibu
guruku yang ikut menangis, berusaha menenangkanku.
Mulut kami serta isak tangis
mengiringi lantunan doa. Keikhlasan serta keridhoan harus ditegakkan.Namun itu
masih sulit bagi kami. Dia adalah Sohib baik kami. Setelah istighosah, kami pergi ke rumah duka. Sepanjang jalan
bercecer derai tangisan kami.
Dia Pergi pada saat tidak
bersama keluarga serta teman-teman. Dalam sekejap mata kau hilang. Di benakku
mungkin hanyalah fatamorgana. Tetapi berbalik arah menjadi fakta.
Hemistik
kematian berkumandang di mana-mana. Semut
bergerombol memenuhi rumah duka ingin melihat proses pemakaman. Doa di
setiap nafas pelayat mengaliri jalanmu. Hanya selembar 3 lapis kafan dan kapas di hidung yang menemani
tidur nyenyakmu. Tetesan air mata membanjiri wajah pelayat. Mataku hanya bisa
melihat jasadmu dari kejauhan. Terbaring tenang di atas ranjang. Tubuhmu
tertutup oleh kain hijau bertulis lafadz “Lailahaillallah” dalam keranda yang
kau tumpangi. Semerbak bunga-bunga bertaburan di atas jasadmu menghiasi
nestapa, alam barumu.
Wasiat yang kau berikan “Aku
sayang kalian. Aku ingin kalian semua pintar ngaji. Aku ingin kalian kompak,”
banyak yang kau ajarkan padaku. “Lelaki itu tak boleh kasar pada perempuan.
Karena wanita bagaikan sosok Ibu”. Kau juga mengajarkanku nada-nada indah
banjari mulai nada rendah hingga nada tinggi.
Kenangan terindah, kita
berjalan-jalan mengelilingi kota. Memutari kota sebanyak 7 kali, semacam thawaf.
Hal itu membekas dalam hatiku yang pilu. Memunculkan epiema
di setiap sendi. Peristiwa itu adalah kenangan terakhir ketika canda, tawa,
sedih, lelah, pusing kita ledakkan
bersama-sama, di bawah sengatan panasnya matahari. Muncul keegoisan serta loyalitas
pada setiap kawan.
Kesuksesanmu dalam mengajari
kawan-kawan bermain banjari sukses. Engkau pasti bangga. Di sini kawan-kawan
sudah lancar bermain banjari. Setiap acara-acara tertentu mereka perform.
Setiap jam kosong kau mengajarkan kawan kawan hal positif. Merubah jati diri
mereka, yang awalnya menjadi pemalas, kini menjelma rajin.
Kesyahduanmu melafadzkan firman
Allah menakjubkan hati. Kemerduan Sholawat menjadi andalan kita. Di mana setiap
waktu hanya mencari Ridho Sang Ilahi, Dialah Sang Mestro Agung, Nasib memang
tak selalu yang di inginkan. Apa yang bisa kita buat? Akankah melawan takdir
Ilahi? Tidakkk !!! Inilah ketetapan Sang Illahi.
“Nihil!” itulah cerminan dalam
benakku. Terkadang keluar tangisan, kerinduan, Serta rindu akan
candamu.Kegundahan selalu terfikir melukis pancaran gambaranmu, membekas dalam
diri kita.
Hampa ...
Mumur ...
Ternyata semenjak kau mangkat,
baru tersasa bagaimana rasanya ditinggalkan sosok Sahabat. Suasana menjadi
berubah total. Wijdan terkadang masih tak percaya akan kepergianmu. Teringat
sosok citra jasadmu. Janji tekad menuntut ilmu di Kairo Mesir hanya tinggal
kenangan. Kau sudah berangkat. Tak lupa, engkau juga meminta restu Ibu dan
Ayah, membahagiakan di dunia dan akhirat.
Moralitas kehidupan dunia hanyalah bersifat fana. “Aku lebih suka kehidupan
di akhirat yang baqa’, daripada kehidupan dunia
hanyalah penuh dengan kemaksiatan, yang nanti akhirnya juga akan
hancur.” Itulah prinsip hidupmu. Selama
ini terselip dalam jiwamu. Memang seluruh makhluk digolongkan dalam kehancuran,
ketiadaan, dan fana.
Waktu terus berlalu, jauh di belakang waktu.
Kini hanyalah amal teman sejatimu.
Selamat tinggal Shobat . Tenanglah di pusara rumah barumu.
Aku sadar, kau tak butuh tangisan, hanya doa dan keikhlasan yang engkau
perlukan.
Komentar Bu Tutus
Cerita yang dihadirkan cukup ringan
yaitu tentang persahabatan, namun dikemas dengan bahasa yang menarik. Dari
dialog maupun cerita yang digambarkan mengandung nilai moral positif yang
diharapkan mampu diserap pembacanya. Akan tetapi, dalam cerita tersebut
beberapa istilah asing yang masih sulit ditafsirkan pembaca. Alangkah lebih
baik, jika istilah tersebut diberi rujukan agar pembaca mudah memahami isi
cerita.
mudarat:
rugi; tak beruntung; gagal; tak berguna.
manaqib:
ponokawan:
Sporadis:
gravity:
syahid:
orang yang mati karena membela agama.
fatamorgana:
hal yang bersifat khayal dan tidak mungkin tercapai, seperti gejala optis yang
tampak pada permukaan yang panas.
Hemistik:
epiema:
loyalitas:
perform:
pentas; penampilan.
pusara:kubur;
perkuburan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar