Sabtu, 28 September 2013

Cahaya Seorang Muallaf

Oleh : Lirohmatin W.(XII IPA)

Goresan pensil di atas kertas putih tanpa garis, tertulis kalimat yang dituangkan dengan hati, dalam pikiran murni. Huruf-huruf rapi sejajar membentuk kata suci, bersih sesuci kertas yang belum ternoda sama sekali. Tangan dan memori berkolaborasi lancar tanpa henti. Seakan air mengalir menerobos terus meski ada halangan. Jam dinding tak berhenti berotasi menunjuk angka-angka konstan. Memberi isyarat bahwa waktu tak kan pernah mati, terus bergulat selama nafas masih tersedia.
“Serius banget sih, sampai berantakan tak karuan, memang tugasnya banyak ya?” tanyaku dengan melihat lantai kamarnya yang penuh dengan buku.
“Tidak terima tamu neng” cetusnya. Tangannya terus menulis hingga satu halaman penuh dengan huruf-huruf. Tangan kiri menyangga kepala yang bertumpu pada sebelah kiri. Satu ciri khas darinya, jika menulis jempol jari kaki selalu bergoyang dan berhenti jika dia berhenti menulis. Aku terdiam menunggu pemilik kamar mempersilakan masuk.
“Eh malah diam di depan pintu, mau tagih hutang ya? Oh aku tahu. Mari, pintu terbuka selebar-lebarnya untuk Neng. Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.” Beranjak, langsung berdiri menyambutku layaknya orang lain yang biasa ia sambut penuh hormat. Badannya membungkuk, tangannya diayunkan seperti penerima tamu di restaurant mahal umumnya.
“Iya-iya aku masuk” kataku singkat
“Itu apa yang kamu bawa?”
Wajahnya menggambarkan mimik yang lucu, tanpa paksaan. Sengaja aku mampir siang-siang karena jika malam pasti telingaku akan panas mendengar ceramah ayahnya.
“Dari ayahku, katanya buku bersejarah!”
Kuberikan buku yang agak berdebu itu padanya. Meski kertas sedikit lusuh karena faktor waktu tapi tulisan masih jelas dibaca.
“Thank you!” serunya. Jelas girang sekali terlihat. Memegang sekaligus membolak-balik kertas demi kertas.
“Sudah dulu ya, aku mau pulang?” Kataku
“Tuh ada martabak, mau nggak, Neng? tawarnya padaku, sambil mengangkat piring , menyodorkan padaku.
“Terima kasih, aku hari ini puasa, oh ya bukunya masih banyak di rumah, pilih saja kalau mau. Aku pulang dulu” pamitku sambil berlari sedikit berteriak.
***
Dalam ucap membisu
Dalam batin berkata
Dalam angan bertanya
Siapakah penghibur terbaik untukku
Orang tuakah?
Dimana mereka Saat aku jenuh
Temankah?
Adakah kesejatian hidup dalam adirinya?
Sahabatkah?
Itulah dia
Tapi dimana raga harus mencari?
Lihatlah kesepianku kawan
Hati menjerit terus berharap
Semoga bukan tolakan yang kudapat
By: Denian

Dari puisi itulah ikatan persahabatan dengan dirinya berawal. Seorang anak pindahan yang ingin bersahabat dengan kita. Inik berpromosi diri, menempelkan secarik kertas bertuliskan puisi pada tas sekolah yang kupakai. Memang, aku bersama Lisa, sahabatku yang paling anggun dan Doni, pelawak disaat hati membeku. Binar matanya tak bisa berbohong. Keinginan untuk bergabung menjadi sahabat tergambar di kelopak matanya. Harapan itu terwujud, saat guntur menggema, saat petir menggelegar, saat itu pula hujan menjadi saksi. Keempat makhluk Tuhan telah diresmikan menjadi Saji (Sahabat sejati).
Kesibukan yang tak pernah terlewatkan adalah membaca buku. Jelas saja puluhan bahkan ratusan tumpukan buku pada lemari menjadi bukti atas julukannya sebagai kutu buku. Menulis? Tentu saja ia lakukan setiap waktu. Kacamata yang dipakai pada matanya yang bulat itu tak pernah lepas jika belum tuntas membaca satu buku dalam waktu singkat. Sore hari menjelang ashar, kita berempat jalan kaki menuju bakso cinta. Mengapa disebut demikian ? karena bakso itu berbentuk hati. Banyak pelanggan remaja yang berminat mampir yang tak hanya sekadar makan tapi juga menjadi tempat yang pas untuk mengobrol. Entah yang keberapa kalinya Denian mentraktir kita. Yang jelas kegembiraan menyeruap di wajahnya saat kita berjalan menuju warung bakso cinta.
“Ayo Suap menyalur.” Ajak Denian. Segera berempat menyuap melingkar. Hingga pelanggan lainpun  tertawa melihat kita bertingkah.
 “Panas”. Kompak kita berteriak dan tertawa.
Waktu terus berputar, saat itulah hari yang penuh arti. Berkumpul untuk penghibur hati yang pilu. Gelak tawa selalu terdengar hingga orang sekitar menoleh sekilas ke arah kita. Saat itu pula kesempatan Denian mencari keramaian maninggalkan sementara kesepian. Maklum, orang tuanya sibuk dengan profesi yang menghasilkan materi itu. Pernah dia curhat tentang dirinya yang ingin diperhatikan  tak butuh harta atau kesenangan semata. Sosok yang baik pada siapa saja bahkan pada anak kecil ngamen dijalananpun tak segan-segan membuka dompetnya lebar-lebar memberikan selembar Rp 50.000.
“Eh sudah pukul empat nih, kurang setengah jam lagi kita mengaji” seruku dengan menumpuk mangkok di atas meja tanpa taplak.
“Ucapkan salam pada semua orang yang ada disini kawan”. Ajak Lisa
“Wassalaamualaikum Wr. Wb.” Kami beranjak berdiri dan kompak berucap salam bersama sampai mengundang simpati orang yang ada disekitar  dengan ekspresi tawa tertahan.
“Terima kasih pak” Ucap kita berempat dengan menghitung mulai dari tiga sebelum berterima kasih pada bapak penjual. Juga terdengar orang berkata “MKKB (Masa Kecil Kurang Bahagia). Meskipun begitu toh kita cuek saja dan masih banya juga orang yang terhibur melihat kita. Tanpa komentar panjang lebar, keluar dari warung. Segera berderet menyatu bergandeng tangan hingga orang lain yang lalu lalang tak ada jalan untuk lewat.
***
“Kesimpulannya anak-anak siapa yang mengasihi orang miskin ia memberi pinjaman kepada Allah dan Allahpun akan membalas kebajikannya. Bila pergi membawa bekal, bila mati membawa amal. Nah, berfikirlah mulai hari ini dan berbuatlah di hari esok. karena  hanya dengan begitu kita membuat mungkin apa yang tidak mungkin.”
Pesan bijak yang diberikan pak ustadz setelah membaca Al-Qur’an  dan bercerita tentang orang yang miskin tapi tetap memberi pada orang lain apa yang dia punya, sungguh menyentuh hati.
Setelah berbalik badan, keluar masjid kita bertiga melihat Denian duduk di serambi masjid kemudian berlari kearah jalan
“Sedang apa Denian kemari? Tanya Lisa
Segera kita bertiga memakai alas kaki dan mengejarnya. Terlihat dia duduk di teras rumahnya yang mewah itu sambil melamun.
“Apakah kamu tadi pergi ke masjid?” tanyaku
“Mmm. Oh ya orang tuaku tak ada di rumah, jadi malam ini aku sendirian. Apakah kalian mau bermalam disini?” tanyanya. Mengalihkan pembicaraan yang aku tanyakan. Sudah jelas terlihat dia berkeringat. Nafasnya begitu cepat. Kita duduk di sampingnya dan menatap wajahnya yang sedikit berminyak itu.
“Apa yang kau pikirkan Den?” tanya Lisa dengan menatap wajahnya di samping kanan.
“Nggak, ya sudah ayo masuk!”

Pintu terbuka lebar, mata tak pernah berhenti melihat kemewahan rumahnya. Dinding bercat putih dihiasi foto keluarga dan lukisan bervariasi.  Meski sering ke rumahnya namun masih belum terbiasa seperti mampir hanya sekali. Buku yang tadinya tertata rapi, dipilah-pilah mencari buku untuk disuguhkan pada kita. Setiap ada orang yang bertamu, pasti dia akan menyiapkan buku untuk tamunya. Harus, bahkan wajib untuk membaca. Makanan dikeluarkan  semua hingga lemari es bersih tak tersisa.
***
“Adzan berkumandang, saatnya kita Sholat.” Seru Doni
“Den, kita pamit Sholat dulu ya?” tanya Lisa dengan wajah sedikit sungkan.
“Di kamarku saja. Aku keluar sebentar ya.” Kata Denian
Denian menghindar dengan membawa buku yang dibacanya, mungkin begitulah caranya menghormati kita. Segera kita mensucikan diri, menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. 15 menit berlalu, terlihat Denian melihat kita di balik pintu.
“Sudah kok, masuk saja” pintaku
Melangkah masuk dengan membawa beberapa bungkus makanan. Lantas dikeluarkan dari kresek hitam.
“Nasi bebek, aku beli dari warung Pak Suryo pinggir jalan raya” serunya.
Membagikan pada kita, membuka bungkus kertas minyak masing-masing.
“Tahu saja kalau lagi lapar” kata Doni
“Tahulah, detektif gitu, loh” seru Denian
“Perjanjian, jika mengeluarkan suara,  muka harus tercoret spidol” kata Doni sambil mengunyah.
***
 Adzan subuh terngiang dalam telingaku. Kubangunkan Lisa dan Doni untuk pergi ke masjid. Denian tampak begitu pulas tidur di bawah lantai beralaskan karpet merah. Semalam aku melihat Denian menulis saat Doni dan Lisa tertidur, aku hanya berbaring dan berpura-pura tidur. Entah apa yang ditulisnya, yang jelas tepat satu jam sebelum adzan subuh dia memulai memejamkan mata. Pelan melangkah kita bertiga menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Masjid tak begitu jauh dari rumah Denian. Hawa dingin memang begitu menusuk tulang setelah semalam hujan deras mengguyur bumi tercinta ini.
“Assalaamualaikum” salam seseorang terdengar setelah menunaikan shalat subuh sekaligus berdzikir. Mataku tak berkedip sama sekali, jantungku berdetak. Sosok yang tak asing di mata kita, masuk dalam rumah suci. Bersalaman menjabat tangan ustadz yang pertama ia lakukan.
“Dengan pikiran matang, dalam keadaan sadar, dalam keyakinan yang paling dalam. Atas nama Allah dan Rasulullah setelah mempertimbangkan saya yakin masuk agama Islam. Kata Denian dengan mantap.
Setelah menginterview Denian, Ustadz memerintahkannya untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat. Tak disangka lancar lidahnya mengucapkan dua kalimat Syahadat. Tetes air mata terlihat di pelupuk matanya. Dalam pelukan Ustadz padanya ia telah resmi masuk Islam atas kemauannya dan tak ada tekanan dari pihak manapun. Kita larut dalam keharuan. Tak ada yang tahu sebab musabab dia masuk agama baru meninggalkan agama lama kecuali Ustadz. Keheningan malam dalam suasana sepi, hati selalu bergetar saat terdengar lantunan ayat-ayat suci. Hanya itu yang diucapkan dari bibir merahnya untuk kita. Tepat saat hari peringatan Maulid Nabi, baju koko, sarung dan peci kita berikan untuk hari itu juga.
Dengan memberanikan diri, Denian menceritakan pada kedua orang tuannya. Mulut berucap hamdalah saat kedua orang yang melahirkannya berkata ridho bahwa dirinya masuk Islam. Kini berempat bersama tanpa ada perbedaan yang sedikit menyesakkan hati. Denian rajin beribadah, Al-Qur’an fasih dibacanya atas bimbingan Ustadz. Sering dia mengadakan syukuran dan kitapun turut membantunya.
***
Selama 3 tahun menjadi Muallaf, tajwid yang sebagai penentu kebenaran membaca Al-Qur’an dan hafalan-hafalan do’a telah ia kuasai. Bahkan Al-Qur’anpun telah ia hafal diluar kepala. Ustadz menyatakan dirinya lulus dalam hafalan. Memang tak diragukan lagi, dia pintar dalam pendidikan, di sekolahpun peringkat satu pasti dia raih. Tak heran jika dia dapat menyelesaikan tugas dari Ustadz.
Hari yang spesial untuk Denian, kita sengaja menunggu di depan pagar rumahnya. Kejutan ulang tahunnya, telah kita siapkan. Dia dan orang tua tercintanya menuju perjalanan pulang setelah tiga hari menjenguk neneknya di Bandung. Lama sekali kita duduk di depan pagar. Pak Suryo datang menghampiri dan mengabarkan bahwa Denian dan keluarganya mengalami kecelakaan. Yang selamat hanyalah Denian. Lemas rasanya mendengar kejadian itu. Segera kita bertiga pergi menuju ke rumah sakit. Dalam keadaan tak sadar atau koma, operasi menjadi jalan kesembuhannya.
Itulah kejadian seminggu yang lalu. Dihadapan kita penglihatan Denian telah hilang. Tak ada cahaya untuk mewarnai hidupnya. Hanya gelap gulita yang ia lihat.
“ Aku tak tega melihat Denian!” tangis Lisa sambil memelukku.
“Sudahlah kawan, ketentuan Allah lah yang membuatku seperti ini, syukuri apa yang ada. Buku ini aku tulis dengan penuh hati dan keikhlasan. Di dalamnya kuceritakan semua yang kita lakukan. Sebelum kecelakaan terjadi buku ini sudah tercetak dan tersimpan dalam lemari. Bacalah kawan, aku akan senang jika kalian menghargai usahaku khusus untuk persahabatan kita. Aku tak merasa melihat kegelapan, kalianlah cahaya yang bersinar dalam hidupku, pancarkan keikhlasan dan kesetiaan untukku.”kata Denian
Dalam kesunyian malam, hamburan bintang terurai di langit gelap. Rembulan menampakkan bentuk bulatnya. Bersama kita bersatu selamanya. Memegang tangan melingkar berjanji menjadi sahabat selamanya  dan berucap “Saji takkan pernah mati” . kata itu pula sebagai judul karya Denian, pertama yang ia buat.

Komentar Bu Tutus:
Penyajian alur cerita cukup menarik, serta gaya bahasa yang ditampilkan sederhana tetapi mampu membawa pembaca larut didalam cerita. Namun satu hal yang harus diperhatikan untuk pemilihan ide cerita masih terlalu umum, jadi jangan pernah putus asa untuk menampilkan ide-ide cerita yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto