Oleh : Lirohmatin W.(XII IPA)
Goresan pensil di atas kertas putih
tanpa garis, tertulis kalimat yang dituangkan dengan hati, dalam pikiran murni.
Huruf-huruf rapi sejajar membentuk kata suci, bersih sesuci kertas yang belum
ternoda sama sekali. Tangan dan memori berkolaborasi lancar tanpa henti. Seakan
air mengalir menerobos terus meski ada halangan. Jam dinding tak berhenti
berotasi menunjuk angka-angka konstan. Memberi isyarat bahwa waktu tak kan
pernah mati, terus bergulat selama nafas masih tersedia.
“Serius banget sih, sampai berantakan
tak karuan, memang tugasnya banyak ya?” tanyaku dengan melihat lantai kamarnya
yang penuh dengan buku.
“Tidak terima tamu neng” cetusnya.
Tangannya terus menulis hingga satu halaman penuh dengan huruf-huruf. Tangan
kiri menyangga kepala yang bertumpu pada sebelah kiri. Satu ciri khas darinya,
jika menulis jempol jari kaki selalu bergoyang dan berhenti jika dia berhenti
menulis. Aku terdiam menunggu pemilik kamar mempersilakan masuk.
“Eh malah diam di depan pintu, mau
tagih hutang ya? Oh aku tahu. Mari, pintu terbuka selebar-lebarnya untuk Neng.
Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.” Beranjak, langsung berdiri
menyambutku layaknya orang lain yang biasa ia sambut penuh hormat. Badannya
membungkuk, tangannya diayunkan seperti penerima tamu di restaurant mahal
umumnya.
“Iya-iya aku masuk” kataku singkat
“Itu apa yang kamu bawa?”
Wajahnya menggambarkan mimik yang
lucu, tanpa paksaan. Sengaja aku mampir siang-siang karena jika malam pasti
telingaku akan panas mendengar ceramah ayahnya.
“Dari ayahku, katanya buku
bersejarah!”
Kuberikan buku yang agak berdebu itu
padanya. Meski kertas sedikit lusuh karena faktor waktu tapi tulisan masih
jelas dibaca.
“Thank you!” serunya. Jelas girang
sekali terlihat. Memegang sekaligus membolak-balik kertas demi kertas.
“Sudah dulu ya, aku mau pulang?”
Kataku
“Tuh ada martabak, mau nggak, Neng?
tawarnya padaku, sambil mengangkat piring , menyodorkan padaku.
“Terima kasih, aku hari ini puasa, oh
ya bukunya masih banyak di rumah, pilih saja kalau mau. Aku pulang dulu”
pamitku sambil berlari sedikit berteriak.
***
Dalam ucap membisu
Dalam batin berkata
Dalam angan bertanya
Siapakah penghibur terbaik untukku
Orang tuakah?
Dimana mereka Saat aku jenuh
Temankah?
Adakah kesejatian hidup dalam
adirinya?
Sahabatkah?
Itulah dia
Tapi dimana raga harus mencari?
Lihatlah kesepianku kawan
Hati menjerit terus berharap
Semoga bukan tolakan yang kudapat
By: Denian
Dari puisi itulah ikatan persahabatan
dengan dirinya berawal. Seorang anak pindahan yang ingin bersahabat dengan
kita. Inik berpromosi diri, menempelkan secarik kertas bertuliskan puisi pada
tas sekolah yang kupakai. Memang, aku bersama Lisa, sahabatku yang paling anggun
dan Doni, pelawak disaat hati membeku. Binar matanya tak bisa berbohong.
Keinginan untuk bergabung menjadi sahabat tergambar di kelopak matanya. Harapan
itu terwujud, saat guntur menggema, saat petir menggelegar, saat itu pula hujan
menjadi saksi. Keempat makhluk Tuhan telah diresmikan menjadi Saji (Sahabat
sejati).
Kesibukan yang tak pernah terlewatkan
adalah membaca buku. Jelas saja puluhan bahkan ratusan tumpukan buku pada
lemari menjadi bukti atas julukannya sebagai kutu buku. Menulis? Tentu saja ia
lakukan setiap waktu. Kacamata yang dipakai pada matanya yang bulat itu tak
pernah lepas jika belum tuntas membaca satu buku dalam waktu singkat. Sore hari
menjelang ashar, kita berempat jalan kaki menuju bakso cinta. Mengapa disebut
demikian ? karena bakso itu berbentuk hati. Banyak pelanggan remaja yang
berminat mampir yang tak hanya sekadar makan tapi juga menjadi tempat yang pas
untuk mengobrol. Entah yang keberapa kalinya Denian mentraktir kita. Yang jelas
kegembiraan menyeruap di wajahnya saat kita berjalan menuju warung bakso cinta.
“Ayo Suap menyalur.” Ajak Denian.
Segera berempat menyuap melingkar. Hingga pelanggan lainpun tertawa melihat kita bertingkah.
“Panas”. Kompak kita berteriak dan tertawa.
Waktu terus berputar, saat itulah hari
yang penuh arti. Berkumpul untuk penghibur hati yang pilu. Gelak tawa selalu
terdengar hingga orang sekitar menoleh sekilas ke arah kita. Saat itu pula
kesempatan Denian mencari keramaian maninggalkan sementara kesepian. Maklum,
orang tuanya sibuk dengan profesi yang menghasilkan materi itu. Pernah dia
curhat tentang dirinya yang ingin diperhatikan
tak butuh harta atau kesenangan semata. Sosok yang baik pada siapa saja
bahkan pada anak kecil ngamen dijalananpun tak segan-segan membuka dompetnya
lebar-lebar memberikan selembar Rp 50.000.
“Eh sudah pukul empat nih, kurang
setengah jam lagi kita mengaji” seruku dengan menumpuk mangkok di atas meja
tanpa taplak.
“Ucapkan salam pada semua orang yang
ada disini kawan”. Ajak Lisa
“Wassalaamualaikum Wr. Wb.” Kami beranjak
berdiri dan kompak berucap salam bersama sampai mengundang simpati orang yang
ada disekitar dengan ekspresi tawa
tertahan.
“Terima kasih pak” Ucap kita berempat
dengan menghitung mulai dari tiga sebelum berterima kasih pada bapak penjual.
Juga terdengar orang berkata “MKKB (Masa Kecil Kurang Bahagia). Meskipun begitu
toh kita cuek saja dan masih banya juga orang yang terhibur melihat kita. Tanpa
komentar panjang lebar, keluar dari warung. Segera berderet menyatu bergandeng
tangan hingga orang lain yang lalu lalang tak ada jalan untuk lewat.
***
“Kesimpulannya anak-anak siapa yang
mengasihi orang miskin ia memberi pinjaman kepada Allah dan Allahpun akan
membalas kebajikannya. Bila pergi membawa bekal, bila mati membawa amal. Nah,
berfikirlah mulai hari ini dan berbuatlah di hari esok. karena hanya dengan begitu kita membuat mungkin apa
yang tidak mungkin.”
Pesan bijak yang diberikan pak ustadz
setelah membaca Al-Qur’an dan bercerita
tentang orang yang miskin tapi tetap memberi pada orang lain apa yang dia
punya, sungguh menyentuh hati.
Setelah berbalik badan, keluar masjid
kita bertiga melihat Denian duduk di serambi masjid kemudian berlari kearah
jalan
“Sedang apa Denian kemari? Tanya Lisa
Segera kita bertiga memakai alas kaki
dan mengejarnya. Terlihat dia duduk di teras rumahnya yang mewah itu sambil
melamun.
“Apakah kamu tadi pergi ke masjid?”
tanyaku
“Mmm. Oh ya orang tuaku tak ada di
rumah, jadi malam ini aku sendirian. Apakah kalian mau bermalam disini?”
tanyanya. Mengalihkan pembicaraan yang aku tanyakan. Sudah jelas terlihat dia
berkeringat. Nafasnya begitu cepat. Kita duduk di sampingnya dan menatap
wajahnya yang sedikit berminyak itu.
“Apa yang kau pikirkan Den?” tanya
Lisa dengan menatap wajahnya di samping kanan.
“Nggak, ya sudah ayo masuk!”
Pintu terbuka lebar, mata tak pernah
berhenti melihat kemewahan rumahnya. Dinding bercat putih dihiasi foto keluarga
dan lukisan bervariasi. Meski sering ke
rumahnya namun masih belum terbiasa seperti mampir hanya sekali. Buku yang
tadinya tertata rapi, dipilah-pilah mencari buku untuk disuguhkan pada kita.
Setiap ada orang yang bertamu, pasti dia akan menyiapkan buku untuk tamunya.
Harus, bahkan wajib untuk membaca. Makanan dikeluarkan semua hingga lemari es bersih tak tersisa.
***
“Adzan berkumandang, saatnya kita
Sholat.” Seru Doni
“Den, kita pamit Sholat dulu ya?”
tanya Lisa dengan wajah sedikit sungkan.
“Di kamarku saja. Aku keluar sebentar
ya.” Kata Denian
Denian menghindar dengan membawa buku
yang dibacanya, mungkin begitulah caranya menghormati kita. Segera kita
mensucikan diri, menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. 15 menit berlalu,
terlihat Denian melihat kita di balik pintu.
“Sudah kok, masuk saja” pintaku
Melangkah masuk dengan membawa
beberapa bungkus makanan. Lantas dikeluarkan dari kresek hitam.
“Nasi bebek, aku beli dari warung Pak
Suryo pinggir jalan raya” serunya.
Membagikan pada kita, membuka bungkus
kertas minyak masing-masing.
“Tahu saja kalau lagi lapar” kata Doni
“Tahulah, detektif gitu, loh” seru
Denian
“Perjanjian, jika mengeluarkan
suara, muka harus tercoret spidol” kata
Doni sambil mengunyah.
***
Adzan subuh terngiang dalam telingaku.
Kubangunkan Lisa dan Doni untuk pergi ke masjid. Denian tampak begitu pulas
tidur di bawah lantai beralaskan karpet merah. Semalam aku melihat Denian
menulis saat Doni dan Lisa tertidur, aku hanya berbaring dan berpura-pura
tidur. Entah apa yang ditulisnya, yang jelas tepat satu jam sebelum adzan subuh
dia memulai memejamkan mata. Pelan melangkah kita bertiga menuju kamar mandi
untuk membersihkan diri. Masjid tak begitu jauh dari rumah Denian. Hawa dingin
memang begitu menusuk tulang setelah semalam hujan deras mengguyur bumi
tercinta ini.
“Assalaamualaikum” salam seseorang
terdengar setelah menunaikan shalat subuh sekaligus berdzikir. Mataku tak
berkedip sama sekali, jantungku berdetak. Sosok yang tak asing di mata kita,
masuk dalam rumah suci. Bersalaman menjabat tangan ustadz yang pertama ia lakukan.
“Dengan pikiran matang, dalam keadaan
sadar, dalam keyakinan yang paling dalam. Atas nama Allah dan Rasulullah
setelah mempertimbangkan saya yakin masuk agama Islam. Kata Denian dengan
mantap.
Setelah menginterview Denian, Ustadz
memerintahkannya untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat. Tak disangka lancar
lidahnya mengucapkan dua kalimat Syahadat. Tetes air mata terlihat di pelupuk
matanya. Dalam pelukan Ustadz padanya ia telah resmi masuk Islam atas
kemauannya dan tak ada tekanan dari pihak manapun. Kita larut dalam keharuan.
Tak ada yang tahu sebab musabab dia masuk agama baru meninggalkan agama lama
kecuali Ustadz. Keheningan malam dalam suasana sepi, hati selalu bergetar saat
terdengar lantunan ayat-ayat suci. Hanya itu yang diucapkan dari bibir merahnya
untuk kita. Tepat saat hari peringatan Maulid Nabi, baju koko, sarung dan peci
kita berikan untuk hari itu juga.
Dengan memberanikan diri, Denian
menceritakan pada kedua orang tuannya. Mulut berucap hamdalah saat kedua orang
yang melahirkannya berkata ridho bahwa dirinya masuk Islam. Kini berempat
bersama tanpa ada perbedaan yang sedikit menyesakkan hati. Denian rajin
beribadah, Al-Qur’an fasih dibacanya atas bimbingan Ustadz. Sering dia
mengadakan syukuran dan kitapun turut membantunya.
***
Selama 3 tahun menjadi Muallaf, tajwid
yang sebagai penentu kebenaran membaca Al-Qur’an dan hafalan-hafalan do’a telah
ia kuasai. Bahkan Al-Qur’anpun telah ia hafal diluar kepala. Ustadz menyatakan
dirinya lulus dalam hafalan. Memang tak diragukan lagi, dia pintar dalam
pendidikan, di sekolahpun peringkat satu pasti dia raih. Tak heran jika dia
dapat menyelesaikan tugas dari Ustadz.
Hari yang spesial untuk Denian, kita
sengaja menunggu di depan pagar rumahnya. Kejutan ulang tahunnya, telah kita
siapkan. Dia dan orang tua tercintanya menuju perjalanan pulang setelah tiga
hari menjenguk neneknya di Bandung. Lama sekali kita duduk di depan pagar. Pak
Suryo datang menghampiri dan mengabarkan bahwa Denian dan keluarganya mengalami
kecelakaan. Yang selamat hanyalah Denian. Lemas rasanya mendengar kejadian itu.
Segera kita bertiga pergi menuju ke rumah sakit. Dalam keadaan tak sadar atau
koma, operasi menjadi jalan kesembuhannya.
Itulah kejadian seminggu yang lalu.
Dihadapan kita penglihatan Denian telah hilang. Tak ada cahaya untuk mewarnai
hidupnya. Hanya gelap gulita yang ia lihat.
“ Aku tak tega melihat Denian!” tangis
Lisa sambil memelukku.
“Sudahlah kawan, ketentuan Allah lah
yang membuatku seperti ini, syukuri apa yang ada. Buku ini aku tulis dengan
penuh hati dan keikhlasan. Di dalamnya kuceritakan semua yang kita lakukan.
Sebelum kecelakaan terjadi buku ini sudah tercetak dan tersimpan dalam lemari.
Bacalah kawan, aku akan senang jika kalian menghargai usahaku khusus untuk
persahabatan kita. Aku tak merasa melihat kegelapan, kalianlah cahaya yang
bersinar dalam hidupku, pancarkan keikhlasan dan kesetiaan untukku.”kata Denian
Dalam kesunyian malam, hamburan
bintang terurai di langit gelap. Rembulan menampakkan bentuk bulatnya. Bersama
kita bersatu selamanya. Memegang tangan melingkar berjanji menjadi sahabat
selamanya dan berucap “Saji takkan
pernah mati” . kata itu pula sebagai judul karya Denian, pertama yang ia buat.
Komentar Bu Tutus:
Penyajian alur cerita cukup menarik,
serta gaya bahasa yang ditampilkan sederhana tetapi mampu membawa pembaca larut
didalam cerita. Namun satu hal yang harus diperhatikan untuk pemilihan ide
cerita masih terlalu umum, jadi jangan pernah putus asa untuk menampilkan
ide-ide cerita yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar