Jumat, 25 Maret 2011

BISAKAH AKU KEMBALI???
Oleh: Ifa Sholiana (XIIA)

Namaku Doni, aku anak pertama dari dua bersaudara. Adik laki-lakiku masih duduk di kelas 1 MTs. Diko Si Pendiam, begitulah orang-orang kampung memanggil akrab adikku. Sifatnya yang pendiam menjadi jurang pembeda antara karakterku dan karakter adikku. Walaupun begitu, Adikku adalah seorang pekerja keras. Setiap hari adikku menggunakan waktu luangnya untuk bekerja sebagai tukang semir sepatu keliling. Di usianya yang sangat dini, dia selalu membantu keuangan keluarga.
Sedangkan aku sendiri adalah lulusan MA favorit di desaku yang ingin sekali melanjutkan ke perguruan tinggi tapi tak bisa. Semua orang tahu bahwa ekonomi keluargaku tergolong ekonomi sulit. Bisa sampai lulus MA saja aku sangat bersyukur. Tapi apa salahnya jika aku mempunyai impian untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Sebulan setelah lulus dari MA aku bekerja sebagai loper Koran yang setiap pagi menjajakan lembar demi lembar setumpuk Koran yang kubawa di stopan lampu merah Jln. Gajah Mada. Dan Alhamdulillah hasilnya cukup untuk membantu keuangan Bapakku yang berprofesi sebagai tukang becak. Maklum di jaman sekarang ini pendapatan seorang tukang becak belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Belum lagi harus menebus obat setiap minggu untuk ibuku tercinta yang sedang sakit keras.
Meskipun hidup dalam kekurangan, aku bersyukur bisa tetap berkumpul dengan keluargaku dalam suka maupun duka. Tak apalah aku tak bisa menjadi seorang mahasiswa di perguruan tinngi, asalkan aku bisa berguna untuk keluargaku. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri untukku.
Akan tetapi kebanggaan itu tak berlangsung lama. Kelainan yang kuderita mengharuskan aku berhenti bekerja sementara waktu. Hormon progesteron yang mengalir di tubuhku menyebabkan aku bertingkah seperti cewek alias banci. Tak satupun anggota keluargaku mengetahui hal ini. Sebenarnya gejala ini sudah mulai terasa sejak aku duduk di bangku SMP. Bahkan aku tak berani bilang pada ibuku. Hanya Tuhanlah dan diriku yang tahu akan kondisiku sekarang ini.
Suatu saat, sekilas Bapak mempergoki aku yang sedang asyik berdandan di meja rias kamarku, bersolek menggunakan peralatan make up ibuku dan berputar-putar di depan kaca dengan mengenakan rok mini nyang kubeli dengan tabunganku. Ini kali pertama Bapak melihatku, tapi untungnya Bapak tidak terlalu menghiraukan sebab Bapak hanya mempergoki separoh badanku dari balik pintu kamarku yang tertutup. Hatiku merasa lega sekali. Untung Bapak tidak mendatangi kamarku, coba kalau iya, aduh aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Setelah itu kuhapusi seluruh make up yang menempel di wajahku, melepas rok miniku. Kemudian aku bergegas menuju kamar ibuku yang kini sedang terbujur tak bedaya. Kususapi ibu lalu memberinya obat seperti resep dokter. Kupandangi kedua bola mata ibuku yang semakin hari semakin redup karena penyakit jantung koroner yang bersarang di tubuhnya. Hatiku menjerit pilu melihat kondisi ibuku yang tiada kunjung membaik. Ingin rasanya aku menggantikan posisinya yang sakit itu.
Keesokan harinya sepulang menjajakan Koran di stopan. Seperti orang yang kecanduan, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berdandan dan mengenakan rok mini yang tergantung di almariku. Denagn hati yang riang kudandani parasku secantik mungkin serta tak lupa kupakai rok mini kesayanganku. Saking asyiknya aku, sampai-sampai aku tak menyadari kehadiran Bapakku yang ternyata sejak dari tadi berdiri di depan pintu kamarku.
“Doni, apa-apaan kamu ini?” sentak Bapakku marah.
“Bapak … anu…itu…anu…” jawabku gagu.
Tanpa sempat memberi penjelasan, tiba-tiba sebuah tamparan yang tak pernah kurasakan sebelumnya melayang tepat di atas pipi kananku.
“Dasar banci, Bapak malu punya anak seperti kamu,”teriak Bapakku.
“Tapi pak… aku…aku….” jawabku terbata-bata.
Tak sempat kau berucap, Bapakku malah mendorongku sampai aku jatuh tersungkur, dan kepalku terbentur meja. Kuambil sapu tangan dari laci meja, dan kuusap darah yang mengucur di dahiku.

“Pergi kamu dari rumah ini, dasar banci, Bapak jijik lihat kamu.” suara Bapak mengagetkan kau yang sedangsibuk mengusapi dahiku.
Tanpa pikir panjang aku bergegas mengeluarkan seluruh pakaian di almariku dan memasukkannya kedalam tas ransel kesayanganku. Dengan hati setengah tak yakin aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah tanpa sempat pamit kepada ibu dan adikku. Mungkin kehidupan di luar sana akan jauh lebih baik untuk seorang banci sepertiku.
Kini aku sudah memiliki kehidupan yang baru dengan orang-orang yang baru pula, yaitu lingkungan para waria. Disini aku bebas berdandan tanpa ada yang melarangku atau mencibirku. Kami saling mendukung, sebab nasib kami sama, sama-sama seorang waria. Untuk bisa bertahan hidup, kumanfaatkan skill yang aku punya untuk menafkahi diriku sendiri yaitu dengan menjadi pelatih tari ballet. Meskipun tak banyak, setidaknya aku punya penghasilan tetap.
Kurang lebih selama 2 tahun aku berpisah dengan keluargaku. Selama itu tak pernah sekalipun Bapak mencari tahu keberadaanku. Mungkin saking bencinya Bapak terhadapku sampai-sampai aku tak dianggap sebagai anak lagi. Aku mengerti betapa kecewanya Bapak padaku. Orang tua mana yang tak merasakan malu yang amat jika mendapati anak laki-laki kebanggaannya bertingkah seperti banci. Itulah yang dirasakan Bapak selama 2 tahun ini. Dan aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa atas apa yang terjadi pada diriku.
Pagi itu aku mendapat kabar dari teman MA ku dulu yang kebetulan adalah tetangga desaku bahwa ibuku telah pulang ke Rahmatullah seminggu yang lalu karena sakitnya yang semakin parah. Wajarnya seorang wanita yang hatinya lemah, begitupun yang kurasakan. Hatiku teriris sembilu mendengar kabar itu. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangisi kepergian ibuku tercinta. Aku menyesalkan satu hal, saat-saat terakhir hingga ajalnya aku tak berada disampingnya.
Siang hari bulan Ramadhan yang panas membuatku enggan untuk keluar kamar. Kubaringkan tubuh mungilku ini di bawah lantai tempat tidur. Sambil menikmati sejuknya hembusan kipas angin butut, terdengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari corong musholla yang taeletak beberapa meter dari tempat tinggalku kini. Entah mengapa, ditengah mendayu-dayunya suara al-Qur’an, hatiku teringat akan kejadian-kejadian apa saja yang menimpa diriku selam 2 tahun terakhir.
“Astaghfirullahal adzim... betapa berdosanya aku ya Allah yang berani menyalahi kodratku sebagai laki-laki.” Tak terasa air mata menetes.
Renunganku memuncak saat ingatanku menuju sebuah tamparan, yach tamparan Bapakku 2 tahun yang lalu. Disatu sisi aku merasa nyaman akan keadaanku sekarang ini. Tapi di sisi lain hati kecilku melarangku untuk terus-terusan menyalahi kodratku sebagai kaum Adam.
Sebenarnya sulit sekali menata perasaanku ini saat keinginanku untuk berdandan tiba-tiba datang, layaknya seorang yang kecanduan, aku tak kuasa untuk menolaknya.
Sejak saat itu juga kubulatkan tekadku, sedikit demi sedikit kutempuh jalan itu agar aku bisa jadi laki-laki normal. Meskipun mental ngedrop mengingkari kebiasaanku tapi aku sadar bahwa jalan yang kutempuh selama 2 tahun ini adalah salah.
Keesokan harinya saat aku belanja di pasar depan tinggalku, aku meliha t wajah seorang anak laki-laki yang tak asing lagi untukku. Kuingat-ingat ternyata itu adalah adikku, Diko Si Pendiam yang kini tengah berumur 14 tahun.
Beribu pertanyaan melayang-layang di benakku. Kira-kira apa yang sedang adik kerjakan di pasar ini, dan bukannya jam segini seharusnya adik berada di sekolah untuk belajar. Tanpa ragu-ragu kuhampiri dan kutanyai dia. Jawaban yang keluar dari mulut mungilnya sontak membuatku terkejut. Ternyata dia bekerja sebagai tukang angkut di pasar. Kini dia yang menjadi tulang punggung keluarga karena Bapak sedang sakit.
Kuajak adik ketempat tinggalku. Setelah scerita panjang lebar dengan adik. Aku berniat untuk pulang menjenguk Bapak, orang tuaku satu-satunya. Walupun keraguan menyelimuti hatiku, apakah Bapak akan menerimaku kembali ataukah tidak. Seketika itu juga aku bergegas untuk pulang. Dengan ditemani adik dan berpakaian layaknya laki-laki normal, akhirnya sampai juga aku di rumah.
Dari depan halaman terlihat suasana yang agak berbeda dari rumahu. Perlahan kulangkahkan kaki memasuki ruang demi ruang rumahku. Terasa sekali perbedaan yang mencolok antara rumah sebelum kutinggalkan hingga aku kembali lagi menginjakkan kakiku dirumah ini. Hingga aku tiba disatu ruang yang tak asing lagi, ya itulah kamar mendiang ibuku. Di ranjang itu juga kini Bapakku sedang terbujur tak berdaya.
Aku berdiri di depan pintu. Memandang wajah Bapak yang sedang tertidur mengingatkan terakhir kali aku menginjakkan kaki di kamar ini. Kupandangi langit-langit kamar yang gelap karena sawang-sawang yang bergelantungan, udaranya sangat pengap karena jendelanya rusak tak bisa dibuka. Nampaknya sepeninggalku rumah ini jarang sekali dibersihkan. Rupanya Bapak tebangun karena langkah sepatuku yang mendekatinya.
“Kamu siapa?” tanya Bapakku lirih.
“Ini Doni Pak, Doni pulang pak.” Jawabku sambil mencium tanganya.
“Doni,apakah benar kamu doni anakku.” tanya Bapakku sambil berusaha bangun dari tidurnya.
“Iya pak ini Doni, maafkan Doni pak sudah mengecewakan Bapak.” jawabku sambil memeluk erat Bapakku.
“ Maafkan Bapak juga ya Don, tanpa mau mendengar penjelasanmu Bapak mengusirmu.” Sahut Bapak.
“ Iya pak....doni sayang sama Bapak.”balasku.
Suasana hening menyelimuti kamar mendiang ibuku. Tangis dan keharuan berbaur jadi satu. Aku bersyukur, karena kepulanganku disambut dengan sebuah pelukan yang hangat, bukan dengan tamparan seperti 2 tahun yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto