Selasa, 07 Desember 2010

GURUKU SAYANG

Sekolah kami kedatangan guru baru menggantikan guru Sejarah yang pensiun. Sebelum cerita berlanjut ada baiknya kita tahu ciri-cirinya. Badannya gendut kayak Tina Toon, pakai kacamata persis Oki Lukman kalau pakai kacamata juga, rambutnya bergelombang seperti Cintya Bela, mulutya agak maju kayak Omas, terakhir, tinggi badannya, karena gendut pasti kalian ingin beliau pendek padahal enggak, beliau tinggi semampai seperti Luna Maya. Nah dari sekian ciri tersebut pasti kalian tahu kan namanya? Yup, benar banget namanya sependek panggilannya Pak Sodron! Gubrak!!!
Waktu pertama kali masuk kami menyambutnya dengan antusias sebab wajahnya itu lho nggak pernah kami temui. Jadi pasti ini guru baru. Tapi sebagaimana kalian mafhum karena guru baru ya kenalan dulu dong, gini nih cerita kenalannya:
Di siang terik, pukul 2 siang pas ganti pelajaran muncullah sesosok tinggi semampai yang gendut tadi,
“Assalamu’alaikum anak-anak manis,” Pak Sodron mengawali.
“Wa’alaikum salam,” kami serempak menjawab. “Cari siapa pak?” tanyaku penasaran. Habisnya ada wajah asing koq tiba-tiba muncul di kelas.
“O, ya, perkenalkan saya guru baru di sekolah ini.”
“O....,” kami kerjasama mengucapkan huruf O, “Koq wajahnya nggak baru ya, Pak?” Si Paiman nyeletuk dari belakang. Duh, dasar anak bandel sama guru baru kurang ajar.
“Nggak pa-pa anak-anak, memang wajah saya sudah lama nempel di sini koq, dan nggak pernah saya patenkan, jadi kalian bebas meniru wajah saya ini.”
“Ha...ha...ha,” sekelas semua tertawa. Aku kira beliau marah tapi malah menjawab lucu juga.
“Boleh saya memperkenalkan diri?” tanya beliau. Tangannya ditangkupkan di dada mirip banget peserta Indonesia Idol yang pengin lolos seleksi.
“Boleh Pak,” teriakku. Tak tega aku menjawab tidak, dengan wajahnya yang memelas seperti itu. Selanjutnya beliau menyebutkan namanya, umurnya yang sudah 34 tahun, alamatnya, statusnya -ini nih yang penting- ternyata shobat-shobat semua, beliau sudah kawin! Huh! maaf nggak penting ya?
“Sejak kecil saya jago Matematika, waktu SMP saya pintar Fisika, di SMA apalagi Kimia saya sih paling nyambung,” Pak Sodron memuji dirinya.
“Dari data tersebut pasti kalian tahu kan waktu kuliah saya milih jurusan apa?”
“Matematika,Pak,” aku teriak.
“IPA, Pak” Si Paijo tak kalah lantang.
“Yang lain?”
“Kimia, Pak,” Soleh juga menjawab.
“Yap, benar banget jawaban kalian, karena saya pintar Matematika, Fisika, Kimia, maka saya kuliah jurusan IPS.”
“Hu...,” suara koor muncul lagi.
“Koq gitu, Pak?” tanyaku.
“Saya memang salah jurusan anak-anak,”
“Berarti sekarang mau ngajar Sosiologi ya, Pak? Sekarang kan waktunya?” tanya Paiman, kayaknya dia penasaran.
“Bukan, saya ngajar sejarah, jadi saya mau ngajar kelas sebelah, tuh Pak Mu’at sudah di luar. Maaf ya sudah ngganggu?”
“Hu... bilang dong dari tadi.” Paijo bersungut-sungut sambil menahan ketawa. Sedangkan Pak Sodron sudah ngeloyor pergi. Kayaknya puas ngerjain kami.
***
Begitulah, sejak perkenalan itu tak henti-hentinya Pak Sodron memberi kami guyonan-guyonan yang segar, sesegar wajahnya yang tak pernah layu meskipun nggak pernah dipupuk.
Pelajaran Sejarah yang dulu sangat tidak kami sukai karena hafalan-hafalan tahun-tahun yang membingungkan menjadi mudah karena dalam setiap pelajaran diselingi dengan humor-humor yang khas dari beliau.
Tapi, meski begitu tentu ada yang tidak kami sukai dari beliau. Beliau sering kali lupa. Aneh bukan.
“Nggak juga, siapa bilang saya pelupa,” jawab Pak Sodron ketika kami mengeluhkan sifat pelupanya. “Coba tanya saya mengenai sejarah!”
Aku bertanya,”Kapan Hari Pahlawan?”
“10 November.”
Paijo ngetes, “Siapa Pahlawannya, Pak?”
“Bung Tomo.” Jawab beliau yakin.
“Sekali lagi Pak,” aku tanya lagi, “hotel apa pak yang dipanjat pejuang untuk merobek bendera.”
“Hotel Yamato, benar kan?” aku manggut-manggut.
“Nah, sekarang,” tanya Paijo, “dimana kacamata Bapak.”
Seketika wajah Pak Sodron memerah, sedetik kemudian wajah bingung meliputinya. Seluruh saku di tubuhnya diraba mencari kacamata tersebut. Isi tasnya di keluarkan semua, sedangkan kami hanya senyum-senyum saja, bahkan ada yang tertawa.
“Anak-anak jangan ketawa dong, Bapak bingung nih, tanpa kacamata itu Bapak nggak bisa baca.” Tawa kami semakin keras. “Tolong bantu Bapak dong!” pinta beliau semakin bingung.
“Pak, “Kacamatanya, sudah Bapak pakai tuh,” seru Paiman, sambil tertawa.
Pak Sodron meraba matanya. Beliau menarik nafas panjang tanda lega.
“Waduh, makasih ya, tanpa bantuan kalian pasti Bapak tadi nggak bisa pulang,” kata beliau, melas sekali. Aneh, lha wong kacamata nggak hilang koq dicari.
Itu baru satu contoh, banyak kelupaan beliau yang kadang membuat kami susah. Seperti ketika bel ganti jam berbunyi sekonyong-konyong beliau keluar tanpa salam, parahnya tas dan buku pelajaran ditinggal begitu saja. Akhirnya salah satu dari kami deh yang ngantar ke kantor. Sampai di kantor kami lihat beliau kebingungan mencari tasnya karena mau pulang. Nah lo.
Suatu kali beliau masuk dengan tangan yang masih kotor karena makanan. Pasti beliau lupa cuci tangan tadi. Seandainya tidak kami ingatkan pasti tangan itu masih kotor sampai Ashar. Jorok kan?
Ada contoh lagi nih, yang sampai membuat Bapak Kepala Sekolah marah-marah. Waktu itu kami study tour ke Trowulan melihat situs-situs bersejarah. Kami sekelas naik 2 mobil minibus. Karena nggak cukup maka terpaksa Pak Sodron naik motor sendirian. Mengapa beliau ikut, yaelah beliau kan guru sejarah jadi beliau jadi pembimbingnya dong. Sampai di sana kami berkeliling ke candi-candi. Pak Sodron dengan sangat hebat menerangkan sejarah candi-candi itu, sedetail-detailnya. Kami puas dengan semua keterangannya. Memang beliau hebat, hebat sekali.
Tapi, ketika beliau pamitan ke kami untuk beli rokok, bencana dimulai. Sebab setelah itu Pak Sodron nggak kembali-kembali. Kami sabar menanti. Satu jam, dua jam, sampai tiga jam kesabaran kami habis. Kami telpon ke HP Pak Sodron nggak diterima, salah satu dari kami berinisiatif menelpon ke sekolahan ternyata yang menerima Bapak Kepala Sekolah. Kami tanyakan kepada beliau apa Pak Sodron ada di situ, jawabnya tidak. Kami baru ingat kalau pernah diberi nomor ditelpon rumah Pak Sodron. Paijo yang nelpon:
“Ini rumah Pak Sodron?” tanya Paijo mengawali.
“Iya, benar memangnya kenapa?” jawab suara di seberang. Kami semua mendengar karena HP di loudspeaker.
“Pak Sodronnya ada, Bu?”
“Ada, itu sedang menyuapi Ibu.”
Jelas sudah, berarti Pak Sodron pulang dari tadi. Maka kami memutuskan untuk pulang. Sampai di sekolahan sudah lewat Isya’ orang tua yang menjemput kelihatannya sudah banyak yang resah. Kelihatan Pak Kepala Sekolah yang bersungut-sungut.
“Mana Pak Sodron anak-anak?” tanya beliau.
“Di rumahnya, Pak?”
“Lho, mestinya kan bersama kalian?”
Maka kami ceritakanlah ihwal kejadiannya. Pak Kepsek hanya geleng-geleng saja. Sedangkan kami hanya bisa meratapi nasib karena kepikunan Pak Sodron tercinta.
Bisa ditebak keesokan harinya kami melihat Pak Sodron ke ruang Kepsek dan sekeluarnya beliau hanya menunduk saja.
Meskipun begitu kami tetap mencintai beliau. Maka ketika hari ultahnya tiba, kami sekelas urunan untuk membelikan hadiah buat beliau. Kami bertiga, yakni Paijo, Paiman dan aku yang sering menggoda beliau kebagian untuk mengantarkan hadiah tersebut ke rumahnya. Isinya, nggak usah ditanyakan, tahu sendiri kan kami hanya anak sekolah.
Berbekal alamat yang pernah beliau catatkan dulu, kami blusukan mencari rumah beliau. Setelah ke sana kemari bertanya maka sampailah kami di sebuah rumah yang sederhana. Terlalu sederhana malahan. Dari luar terlihat rumah ini setengah jadi. Sebab bagian belakang masih terbuat dari gedeg. Setelah kami masuk lantai semen menyambut kami, plafonnya dari anyaman bambu, banyak yang kecoklatan karena terkena bocoran air hujan. Kursinya dari spon, kainnya banyak yang sobek. Hati kami miris melihatnya.
Ternyata Pak Sodron yang selalu rapi bajunya, rambutnya yang klimis, wajahnya yang bersih ternyata tempat tinggalnya begitu memprihatinkan.
Setelah tahu kami yang datang kelihatan wajah terkejut beliau.
“Oh Sari, Paijo, Paiman, ada apa nih, kok tumben mau mampir di kandang Bapak?” wajah beliau ceria tapi sangat kelihatan sangat dipaksakan.
“Ehm anu pak ada perlu sedikit,” jawabku.
“Iya, Pak, kami ke sini tadi ditugasi teman-teman untuk mengantar hadiah,” sambung Paijo.
“Hadiah? Hadiah apa nih?” tanya beliau penasaran.
“Lho sekarang kan Bapak ulang tahun yang ke 35,” kata Paiman.
“Aduh, iya ya Bapak lupa,” kata beliau sambil manggut-manggut.
“Waduh silakan duduk dulu, Bu, buatkan minuman buat tamu-tamu agung ini!” teriak beliau sambil menoleh ke belakang.
“Sodron...sodron...” terdengar suara serak dari dalam.
“Iya, Bu,” jawab Pak Sodron, “waduh anak-anak Bapak tinggal dulu ya, Bapak dipanggil ibu.”

Kami berpandangan. Lama sekali Pak Sodron di dalam. Kami hanya diam, duduk terpekur terlena dengan pikiran masing-masing. Sayup-sayup terdengar suara Pak Sodron bicara diselingi suara batuk suara serak tadi. Sesekali terdengar suara rumah sakit. Setelah keluar Pak Sodron menuntun seorang nenek, wajahnya kaget lagi,
“Lho, Sari, Paijo, Paiman, ada apa nih, kok tumben mau mampir di kandang Bapak?” Nah nah pikunnya kambuh lagi. Pertanyaannya persis lagi dengan yang tadi. Akhirnya kami menjelaskan lagi, ya, seperti tadi juga. Manggut-manggutnya juga.
“Tapi maaf ya anak-anak Bapak terpaksa harus meninggalkan kalian, Bapak mau mengantar Ibu ke rumah sakit nih,” terlihat sekali Pak Sodron cemas.
Dituntunnya nenek yang ternyata Ibu Pak Sodron ke teras rumah, diikuti istrinya yang menenteng tas besar. Setelah itu beliau keluar gang mungkin mencari tumpangan. Ternyata benar sebentar kemudian Pak Sodron kembali,
“Bu, itu angkutannya sudah ada, mari kita berangkat.” Nenek itu hanya mengangguk lemah. Yang membuat kami kaget, ibu itu tidak dituntun tetapi digendong Pak Sodron sampai ke mikrolet. Sungguh pemandangan yang memilukan.
Sebulan setelah itu, Pak Sodron masih mengajar seperti biasanya, dan humornya masih terus berlangsung meskipun aku pribadi masih jelas melihat wajah galau dan senyum yang dipaksakan. Pasti itu karena ibu beliau, tebakku.
Dua bulan setelah kami ke rumah Pak Sodron, Pak Sodron memberi kabar gembira,
“Anak-anak hari ini Bapak mau syukuran,” kata beliau berapi-api.
“Kenapa, Pak?” tanyaku.
“Sebab Ibu saya sudah boleh pulang dari RS.”
“Wah asyik... syukuran apaan nih, Pak?” tanya Paijo.
“Sebentar, tadi Bapak sudah beli makanan ringan, tak ambil dulu di tas ya.”
Pak Sodron mengambil tasnya di meja dibukanya, sedetik kemudian wajah pucat Pak Sodron muncul, kami sudah menduga pasti lupa lagi.
“Waduh, koq nggak ada ya, perasaan tadi sudah Bapak masukkan lho.”
“Mungkin ketinggalan di sepeda, Pak!” teriak Paiman.
“Oh, ya sebentar Bapak ambil dulu.”
“Saya saja Pak yang ngambil,” agaknya Paijo khawatir.
“Nggak usah, saya sendiri, kasihan kalian kan masih kecil,” Whats, kami yang sudah kelas XI dibilang anak kecil. Terlalu!
Pak Sodronpun keluar, kekhawatiran Paijo terbukti sebab setengah jam Pak Sodron tidak kembali. Paijo berinisiatif ke kantor. Dan benar sekali ternyata Pak Sodron sedang ngobrol dengan guru lain. Ketika didatangi Paijo beliau baru ingat kalau mau ambil snack syukuran tadi, parahnya setelah di chek snacknya ketinggalan di rumah. Batal deh syukurannya.
***
“Anak-anak minta doanya ya?” kata Pak Sodron di suatu siang yang dingin. (Koq dingin? Suka-suka saya dong yang buat cerita kan saya).
“Kenapa Pak, sepertinya serius sekali,” tanyaku.
“Hari Senin lusa, saya akan ikut CPNS, saya yakin pasti doa kalian makbul.”
“Pasti Pak...!” maka dipandu Pak Sodron kami memanjatkan doa agar beliau lolos menjadi CPNS.
“Eh, Pak, boleh nanya, tapi nggak boleh marah ya?” kata Soleh.
“Sejauh nggak menyinggung saya, buat apa Marah, Leh!”
“Bapak kan agak pikun, Bapak yakin bisa mengerjakan soal-soal tesnya?”
“Insya Allah Bapak bisa, sebab selain doa kalian tadi Bapak juga minta restu Ibu dan dukungan istri.”
“Koq modal gitu doang,” kata Soleh lagi.
“Habis modal apalagi, Leh, hanya itu yang Bapak punya. Sudahlah Bapak yakin meskipun ini tes yang pertama kali Bapak ikuti, pasti Bapak bisa. Saya sudah mempersiapkan segalanya.”
Tet...tet...tet... bel berbunyi ganti jam Aqidah. Seperti biasa Pak Sodron ngeloyor pergi tanpa pamit, kini giliran Soleh yang mengantar tasnya.
***
Seperti yang kalian duga, Pak Sodron ketrima jadi CPNS, waktu beliau masuk sorak-sorai kami menyambutnya. Beliau hanya tersenyum. Kami minta syukurannya di sekolah langsung saja. Takut nanti beliau lupa lagi.
“Heran deh, Bapak ternyata benar-benar jenius ya?” Aku memuji Pak sodron. Teman-teman lain mengangguk juga.
“Biasa sajalah anak-anak, itu kan berkat doa kalian,” Pak Sodron merendah.
“Nggak mungkin, kita kan sudah banyak dosa Pak, pasti ada cerita lain dibalik kesuksesan Bapak,” Paijo bersemangat sekali.
“Baiklah, mungkin cerita Bapak berikut bermanfaat bagi kalian. Bapak bisa berhasil ini, selain berkat do’a kalian, Bapak meyakini bahwa semua karena berkah Ibu.”
“Maksudnya, Pak?” tanya Paiman.
“Tahu sendiri kan, Man Bapak tinggal bertiga dengan istri dan Ibu, setiap hari Bapak selalu melayani Ibu, sejak 10 tahun yang lalu tangan Ibu lumpuh. Ibu saya nggak mau makan kalau bukan saya yang menyuapi, 3 kali sehari. Ingat bukan waktu bapak ngajar kalian dengan tangan kotor?”
Kami mengangguk. Suasana kelas sunyi, menunggu cerita Pak Sodron selanjutnya.
“Itu karena Bapak habis menyuapi Ibu, dan buru-buru ke sekolah sehingga Bapak sampai lupa cuci tangan. Bahkan setiap hari saya yang membuang kotoran Ibu, istri Bapak yang membersihkan badan beliau.”
Kami tertegun.
“Jika hari Minggu, Ibu pengin jalan-jalan lihat pemandangan, karena kasihan seringkali Bapak menggendong beliau, dan ini anak-anak yang paling Bapak ingat, setiap digendong beliau pasti berkata,” Pak sodron menghela nafas. Agak lama beliau terdiam.
Kami tetap diam tidak mau menyela, kami lihat mata Pak Sodron berkaca-kaca.
“Ibu berkata, Dron... terima kasih atas pengabdianmu kepada Ibu, Ibu doakan kamu jadi orang sukses. Allah meridhaimu, Nak! Itulah anak-anak kenapa Bapak yakin lolos CPNS, sebab kalian tahu sendiri kan, ridha orang tua juga ridha Allah juga?”
Kami juga ikut bercermin-cermin, eh berkaca-kaca maksudnya ding, tapi...
“Duarrrr, nggak usah nangis dong, Bapak mau kalian meniru perilaku yang baik tadi ya?”
Huh, nggak jadi deh nangisnya.
“Oh, ya anak-anak Bapak bingung nih, masak pulsa Bapak habis terus karena setiap hari dapat kiriman SMS pertanyaan, gimana nih biar bisa hilang tuh SMS.”
“Gampang, Pak!” teriak Paijo.
“Caranya?” tanya Pak Sodron sambil mengambil HPnya.
“Pertama, tekan pagar...” belum selesai Paijo ngomong, Pak Sodron lari keluar, spontan kami juga ikut keluar. Kami lihat Pak Sodron sedang menggoyang-goyang pagar taman.
“Lho lagi ngapain, Pak!” teriak Paijo.
“Katanya tadi suruh tekan pagar, Jo?” Spontan kami tertawa semua.
Pak Sodron menghampiri kami, sambil berkata,”Untung tadi kamu nyuruh tekan pagar, Jo, Bapak nggak bisa bayangkan kalau kamu nyuruh tekan bintang, Bapak pasti naik pohon tadi.”
Kami tertawa semakin tergelak. Pak Sodron Pak Sodron, ada saja banyolanya. Semoga engkau jadi Pak Sodron yang sekarang meski sudah jadi PNS nanti, doa dalam hati kami masing-masing.

12 komentar:

  1. menurut saya majalah kamus akan lebih menarik jika teka-tekinya lebih dari satu.
    selain itu,murid-murid yang berprestai seharusnya identitasnya di masukkan ke majalah kamus agar siswa-siswi al musthofa lebih giat belajar...

    BalasHapus
  2. Menurut saya puisi yang ada didalam Majalah Kamus harus ditambah lebih banyak dari edisi kemarin.karena kebanyakan siswa lebih senang membaca puisi.

    BalasHapus
  3. Menurut saya puisi yang ada didalam Majalah Kamus harus ditambah lebih banyak dari edisi kemarin.karena kebanyakan siswa lebih senang membaca puisi.

    Erva Setyawati
    664
    13
    XII IPS

    BalasHapus
  4. cerpen gurunya jangan yangt sedih2 dunkz pak,,,,nanti yang baca jadi ikutan sdih loh pak,,hehehehehee

    nama :Tri Alfiatin
    kelas : XII ips

    BalasHapus
  5. anis ermawati XII IPS (05)Minggu, Desember 12, 2010 10:27:00 AM

    kasih profilnya artis-artis korea juga donk pak. . .kalo bisa sekalian kasih lirik lagunya juga

    BalasHapus
  6. pak, kasih humor yang lucu-lucu donk pak,biar bacanya gak bosenin

    BalasHapus
  7. pak,kasih zodiak zodiak donk

    BalasHapus
  8. PAK,KASIH INFO TENTANG KEAJAIBAN DUNIA JUGA YAK...

    BalasHapus
  9. majalah kamus g ada horoskopnya tolong di kasih donk? pak ?bwt iseng"an aja?gitu deh

    BalasHapus
  10. ERLINA MEITA W XII IPS (12)Minggu, Desember 12, 2010 10:37:00 AM

    pak,kasih cerpen yang lucu donk pak,,biar readernya tambah banyak

    BalasHapus
  11. dewi mernawati XII IPS (7)Minggu, Desember 12, 2010 10:39:00 AM

    PAK,kasih tips-tips yang berhubungan dengan daya ingat donk

    BalasHapus
  12. pak haris saya suka bgt sma crpen pak haris yg GURU KU SAYANG d edisi 7 krn lucu bgt pak,puisi pak haris juga bgus-bgus pak. d masukkan di kamus dong pak puisi2 nya pak haris!


    Dini indah k XII IPA 04

    BalasHapus

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto