Kamis, 18 Februari 2010

Edisi 6
MENUNGGU MU’JIZAT
Oleh: Retno Wati

Malam itu aku nggak bisa tidur, meski sebenarnya mataku begitu penat, dadaku sesak, nafas terasa tersendat. Aku mencoba melupakan sakit itu tapi tak sanggup, hingga malam itu aku dilarikan kerumah sakit. Dalam dinginnya angin malam, laju mobilpun begitu kencang sampai akhirnya berhenti dihalaman rumah sakit. Bergegas aku dibawa ke ruang ICU dengan menggunakan kursi roda. Tubuhku kejang dan nafas tersendat-sendat, dengan cekatan suster itu memasangkan alat bantu pernapasan pada hidungku, infuspun dipasang di pergelangan tangan kananku, serta monitor kecil yang lengkap dengan kabel-kabel kecil yang dipasang di tubuhku untuk merekam jantungku.
Selama lebih dari 30 menit aku berada diruang ICU dengan keadaan kritis, aku hanya bisa terdiam dan terus berdoa dalam hati semoga aku diberi mu’jizat oleh Allah untuk hidup. Dokter Salam begitu gigih memperjuangkan hidupku yang hanya dalam 5 menit saja terlambat dibawa ke rumah sakit nyawaku tak akan tertolong lagi.
Setelah alat perekam jantung itu di lepas dari tubuhku, akupun dipindah keruang inap, selang beberapa menit, dokter jaga datang bersama seorang suster dengan membawa obat. Setelah kuminum, akupun terlelap hingga esok pagi.
Sepekan aku dirawat di rumah sakit dan sore itu aku diperbolehkan pulang meski keadaanku masih sangat lemas. Aku diharuskan untuk tidak melakukan aktivitas yang berat-berat selama 6 bulan supaya penyakitku tidak kambuh lagi. Tapi…. Belum genap 3 bulan, aku sudah disuguhi aktivitas yang menurut kondisi kesehatanku itu cukup berat. Pihak sekolah mengharuskan aku untuk mengikuti kegiatan tersebut, dan tentu saja aku mengikuti kegiatan itu tanpa memikirkan kobndisiku.
Sore itu kurebahkan tubuhku dipembarinngan, karena terlalu capek, aku tertidur pulas hingga esok menjelang. Ketika aku bangun dari tidurku, jantungku terasa sakit, dan setelah ku lihat ternyata ada benjolan ditubuhku. Aku kaget, langsung kuberitahu ibuku tentang hal itu. Tak menunggu lama ibupun membawaku kerumah sakit. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, aku diharuskan opname selama sepekan, untuk kedua kalinya aku diopname, dan kali ini aku bagai disambar petir disiang bolong. Dokter Salam menyatakan aku mengalami pembengkakan pada jantung serta penyakit paru-paru.
Aku terkulai lemas tak berdaya setelah mendengar semua itu, hanya air mata yang membasahi kedua pipiku yang menjadi saksi bisu betapa hancurnya hatiku.
Sesampainya dirumah aku hanya terdiam, tak sepatah katapun kuucapkan. Aku mengurung diri dikamar dan tak mau bertemu dengan siapapun termasuk Dava kekasihku. Hanya linangan air mata dan kesunyian yang menjadi teman sejatiku, tanpa harus ada sesosok jiwa yang menemaniku.
Pagi menjelang, aku terbangun dari tidurku yang tak nyenyak. Dalam hati aku berkata “inilah kehidupanku yang baru, dimana tak ada lagi keceriaan yang berarti dalam hidupku.” Butir demi butir obat harus aku minum tiap pagi, siang, dan sore hari tanpa ku tahu kapan ku harus ku hentikan semua itu.
Sepekan berlalu, kini aku kembali kesekolah untuk belajar. Pagi itu aku berangkat lebih awal dari yang lainnya, ketika ku berdiri didepan pintu, Pak Rafi bertanya padaku:
“Lho Ren, kamu sudah sehat ta, kok sudah masuk sekolah lagi?” tanya Pak Rafi. “Apa tidak sebaiknya kamu istirahat dulu dirumah?” lanjutnya.
“ Ah….tidak apa kok Pak, Alhamdulillah saya sudah baikan.” jawabku singkat.
Setelah Pak Rafi berlalu, Lena dan Ayu sahabatku datang. Mereka memelukku secara bergantian sambil berkata.
“Apa kabar Rena, kamu sudah sehat kan? Kita berdua kangen bgt sama kamu.”
Akupun hanya melontarkan senyuman. Bel berbunyi tanda jam pelajaran akan dimulai, selang lima menit Pak Hermanto pun datang dengan membawah setumpuk buku.
“Lena, kemarin Pak Hermanto ngasih tugas ya? Emang tugas apaan? Kok kamu nggak ngasih tahu aku?” tanyaku pelan.
“Iya, kemarin Beliau ngasih tugas kimia,” Jawab Lena.
“Kemarin kamu kan sakit, jadi nggak masalah kalau kamu nggak ngerjakan tugas itu.” Lanjutnya.

“ Selamat pagi anak-anak?” ucap Pak Hermanto.
“Selamat pagi Pak.” Jawab anak-anak.
“Apa kabar Rena, gimana keadaanmu, apa sudah sehat?” tanya pak Hermanto.
“Alhamdulillah, Pak” jawabku singkat.
“Kamu sakit apa Rena, kok kelihatannya wajahmu masih pucat?” tanya Pak Hermanto.
Mendengar pertanyaan itu, akupun tak bisa menjawabnya. Aku hanya bisa tertunduk dan menangis. Aku tak sanggup mengatakan kepada semua orang kalau aku mempunyai penyakit paru-paru, sesak napas, serta pembengkakan pada jantung.
“Lho, kamu kok nangis Rena?” ucap Pak Hermanto heran.
“Ya sudah kalau kamu masih belum mau cerita, mungkin kamu masih belum siap untuk memberi tahu kami apa yang telah terjadi,” Lanjutnya.
Hari sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB, bel dibunyikan tanda jam pelajaran telah berakhir. Bergegas aku mengemasi barang-barangku dan segera beranjak dari tempat duduk. Bersama kedua sahabatku, aku berjalan menuju gerbang untuk menunggu jemputan.
Dan betapa kagetnya aku ketika kulihat seseorang berdiri didepan pos satpam. Bukan Ayahku, Ibuku atau pula Kakakku yang menjemputku, melainkan Dava kekasih hatiku. Ingin aku berlari dan menghindar darinya, tapi aku tak kuasa karena Dava berlari menghampiriku dan memegang tanganku erat-erat
“Yank... pulang sama aku yuk, aku pengen ngomong sesuatu sama kamu, pleace? Kali ini jangan tolak kehadiranku ya yank, aku cinta banget sama kamu, aku nggak mau kehilangan kamu sayank,” ucapnya panjang lebar.
“Sudahlah Rena, kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini, kamu nggak bisa terus-terusan menghindar dari Dava,” ucap Lena.
“Iya Ren, kasihan juga kan kalau Dava seperti ini terus, lagian cinta kan nggak memandang apapun, meskipun kamu lagi sakit, cinta Dava tak berkurang padamu,” lanjut Ayu.
“Ya sudah, aku mau pulang sama kamu,” ucapku singkat pada Dava.
“Nah…..gitu donk sayang,” jawab Dava gembira.
“Eh, kalian bareng juga ya biar kita bisa pulang sama-sama,” pintaku pada Lena dan Ayu.
“Ah, nggak usah, kita berdua sudah dijemput kok, kalian duluan aja,” jawab Lena.
“Ya sudah aku duluan ya,” lanjutku.
“OK! Good luck ya,” jawab Lena dan Ayu serentak.
Sesampainya dirumah, aku langsung merebahkan tubuhku di sofa ruang tengah. Badanku terasa lemas, air mataku menetes menahan sakit. Selang beberapa menit ibuku datang dengan membawa sepiring nasi, segelas air putih serta butiran-butiran obat yang membosankan.
“Siang Tante,” sapa Dava ketika melihat ibuku datang,
“Siang juga Dava, makasih ya karena kamu mau meluangkan waktu untuk menjemput Rena.” jawab Ibuku sembari tersenyum.
“Sama-sama Tante,” jawab Dava singkat,
“Capek ya Sayank, mukamu pucat sekali, makan dulu gih, setelah itu minum obatnya,” kata ibuku
“Biar saya saja yang nyuapin, Tante, tante istirahat aja” pinta Dava,
“Makasih lho Dava, oh ya jangan lupa obatnya ya, Tante tinggal dulu” kata Ibuku. Setelah ibuku keluar aku berkata:
“Sekarang kamu tahu kan gimana sedihnya hati aku. Setiap pagi, siang, sore hari aku harus menelan butiran-butiran obat yang sangat membosankan. Aku bukan lagi Rena yang kamu kenal dulu, aku juga bukan wanita yang sempurna lagi. Apa kamu gak malu punya pacar kayak aku?” ucapku mengawali pembicaraan setelah selesai makan.
“Yank…apapun yang terjadi, seburuk apapun keadaanmu saat ini, cintaku padamu gak akan berubah. Mungkin ini adalah cobaan buat kamu dari Allah. Kamu yang sabar ya sayank, kita pasti bisa melewati semua ini. Yakinlah bahwa suatu saat nanti kamu pasti akan sembuh dan keadaan pasti akan kembali seperti semula, kita pasti akan bahagia seperti dulu lagi.”
“Kamu jangan pernah tinggalkan aku lagi ya. Aku nggak sanggup untuk kehilangan kamu”, ucapnya panjang lebar meyakinkanku.
Akupun tak sanggup untuk berkata-kata lagi, hanya air mata yang meleleh di wajahku. Tanpa ragu kupeluk erat-erat tubuhnya. Perasaanku bercampur aduk, semuanya seakan mimpi buruk buatku. Inginku terbangun dari tidurku dan meyakinkan hatiku bahwa semua itu hanyalah mimpi belaka.
Tapi…kenyataan yang terjadi tak sanggup lagi aku hindari. Sakit yang kurasakan telah membuatku berubah dari gadis yang periang menjadi gadis yang pendiam dan pemurung. Kini tak ada lagi senyum merekah yang terpancar dari wajahku, semua telah berubah 180o.
Pancaran sinar matahari menyapaku dipagi hari. Nada selulerku terus berdering, puluhan SMS menghiasi layar selulerku, namun tak satupun yang kubalas. Hari ini memang Minggu yang cerah, waktu yang pas buat berkumpul dan bercanda dengan teman-teman. Namun tidak dengnku, karena bagiku semua ini sama saja. Secerah apapun hari ini, takkan mampu menghilangkan rasa sakit dalam tubuhku.
“Tok…tok…tok! Rena, diluar ada Dava tuh, samperin gih” ucap ibu sontak membuyarkan lamunanku. Tanpa banyak bicara, akupun bergegas kaluar kamar untuk menemui sang pujaan hatiku. Baru bejalan beberapa langkah, tiba-tiba mataku berkunang-kunang, kepalaku pening dan akhirnya…bruk!!! Aku terjatuh tak sadarkan diri.
Saat aku tersadar, ternyata aku sudah berada di Rumah Sakit. Alat Bantu pernapasan, alat perekam jantung serta infus kembali dipasang ditubuhku.
Dava, ibu, serta Ayahku berdiri dengan wajah sedih di sampingku, namun tidak dengan kakakku karena dia sedang bekerja diluar kota. Ibuku tak mampu lagi menahan air matanya, begitupun dengan Dava. Melihat keadaan itu membuat menangis pilu. Ayah dan Ibuku keluar karena tak sanggup melihat penderitan yang aku alami.
“Sayang…dulu kamu pernah bilang takut akan kehilangan diriku. Tapi kini, perasaan itu telah hinggap pada diriku. Aku takut dengan kondisiku yang sekarang ini kamu akan ninggalin aku, Aku juga takut kalau aku akan ninggalin kamu, ayah, ibu serta kakakku untuk selamanya,” ucapku dengan nada tertatih-tatih.
“Apa yang kamu katakan Sayank?” Tanya Dava heran.
“ Bersabarlah! Kau pasti akan sembuh, kita pasti akan bahagia sayank,” lanjutnya
“Tapi aku sudah nggak kuat lagi menahan rasa sakit ini, Aku salalu dibayang-bayangi oleh kematian,” rintihku.
“Kematian hanya Allah yang tahu, kapanpun kita mati, kita harus siap. Tapi yakinlah bahwa hari ini kamu masih diberi kesempatan oleh Allah untuk hidup meski dengan kondisi yang seperti ini,” terang Dava.
“Tidurlah sayank…aku akan terus menjagamu, takkan pernah kupergi dari sisimu.” bisik Dava lembut.
Akupun terpejam dengan hiasan air mata Dava yang menetes diwajahku.

2 komentar:

  1. ceritanya sangat bagus sekali dan mengharukan,saya mendapat hikmah dari cerita ini karena cerita ini menggambarkan ketegran eorang wanita..tetapi andingnya tidak begoitu bagus.B uat KAMUS sukses terusss...
    nama: Apreliya tia .N.
    Kelas: IX A

    BalasHapus
  2. critanya menarik.tapi endingnya di perjelas lagi ya...biar lbih mnarik lagi,,,,,
    nama: Siti muti'atus sholihah
    kelas: IX A

    BalasHapus

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto