Jumat, 04 Desember 2009

Pak Sodron &
Diary Melati

Oleh: Abdul Haris,S.Pd.I.

“Melati...., Mawar....!!,” suara menggelegar memenuhi ruang kelas XIa. “Kalian ini belajar apa arisan sih?” yang ditanya gelagapan tak menyangka tiba-tiba Pak Sodron sudah dihadapan mereka.
“Be..be..lajar Pak,” jawab Melati terbata-bata sedangkan Mawar mulutnya masih terbuka dan matanya tak berkedip kelihatan sekali masih kaget dengan lengkingan Pak Sodron.
“Oke, kalau kalian belajar, apa yang barusan Bapak terangkan?”
“Tentang Presiden John F Kennedy, Pak” jawab Mawar, rupanya sudah sadar dari kekagetannya.
“Lalu siapa yang menembak beliau pada 22 November 1963?” tanya Pak Sodron dengan tegas.
“Bu..bu..bukan kami, Pak,” kata Melati dengan ekspresi ketakutan.
“I..i..ya Pak, sumpah bukan kami yang membunuh Kennedy” Mawar menambahi.
“Ha...ha...ha...” kontan seisi ruangan ramai bukan kepalang akibat jawaban Melati dan Mawar yang ngawur.
“Kalian ini, sudah sana keluar dari kelas ini!” Pak sodron memperlihatkan taringnya. Ih..serem....
***
Dini hari, 15 April 2008
Ry, kejadian itu terulang kembali. Aku dan Mawar dikeluarkan dari kelas. Setiap kali Pak Sodron memasuki kelasku, selalu, selalu aku yang jadi sasaran. Entahlah Ry, itu karena memang salahku atau memang Pak Sodron yang sentimen padaku.
Memang sih, sejak Pak Paijo yang mengajar sejarah dulu pindah tugas rasanya tidak ada lagi guru yang bisa menyamainya. Beliau yang pintar, penyabar, kebapakan dan beragam sifat yang aku sukai ada pada beliau. Dan ketika pengganti beliau datang aku sangat berharap semua yang ada di diri Pak Paijo juga tersemat di Pak Sodron.
Tapi Ry, betapa kecewanya aku ketika pertama kali beliau masuk kelasku sama sekali tak pernah kubayangkan. Ternyata Pak Sodron adalah guru yang cerewet sekali. Masak Ry, baru pertama kali masuk saja sudah ada 5 temanku yang kena damprat. Ada yang karena nggak bawa bukulah, karena bolak-balik ke WClah, ada yang karena tidak bisa menjawab pertanyaannya de el el.
Kesan pertama begitu menggoda sama sekali tak kumiliki. Tapi malah kejengkelan saja yang menumpuk di dada ini Ry. Jika begini perasaan menyesal menyelinap didadaku. Mengapa ya Ry Pak Paijo tugasnya mesti pindah.
***
“Eh, Mel sudah selesai belum PRnya?” tiba-tiba Mawar sudah duduk di samping Melati. Yang ditanya cuma bengong, persis ikan yang baru dapat hadiah sepeda motor dari emaknya. “He, Mel, kamu masih hidup khan?”
“Eh..kamu tanya apa barusan?” gelagapan Melati sambil mengusap air liur yang keluar dari sumurnya cengar-cengir lagi.
“PR sejarahmu lho sudah selesai apa enggak, Non?”
“Tauk ah.”
“Lho, gimana sih kamu ini. Nah, pasti belum ya?”
“He..he.. memangnya kenapa, kamu ngiri?”
“Ye.... GR amat emang dapat apa ngiri kamu yang bandel begini?, kamu koq aneh sih Mel, akhir-akhir ini, untuk mapel lain kamu pasti selesai duluan tiap kali ulangan tapi kalau sejarah selalu saja nggak pernah kamu selesaikan, emang ada apa sih?” dahi Mawar berkerut
“Bukan urusanmu, War, ini RHSku yang pasti aku lagi males nih belajar sejarah, masak belajar orang yang mati melulu, yang masih hidup khan masih banyak?”
“Aneh, dari dulu sejarah khan memang begitu, lagian sejarah khan mapel yang sangat kamu sukai. Ya sudah, deh kalau PRmu belum selesai, kamu contek milikku aja.” Tawar Mawar.
“ Nggak usah, biarin aja aku dihukum Pak Sodron.” dahi Mawar semakin berkerut. Ini anak diberi contekan koq nggak mau, batinnya..
***
Ba’da Isya, 6 Mei 2008
Ry, sorry ya aku nggak pernah menyentuhmu. Lagi males Ry. Tahu nggak, tadi siang aku kena damprat Pak Sodron. Tapi lain kali ini Ry, dampratan itu tak membuatku marah sebab aku memang berbuat kesalahan nggak menyelesaikan PR. Nggak seperti biasanya beliau memarahi aku hanya karena permasalahan sepele. Wuih, waktu marah tadi Ry, mulutnya sampai berbusa persis busa Ibu yang sedang mencuci.
Biarin Ry, biar beliau marah sepuasnya. Kayaknya marah itu sudah hobinya deh. Eh, nggak percaya kamu. Sumpah Ry memang beliau tuh hobi marah sebab tiap kali kulihat di kelas-kelas lain sewaktu aku kebetulan lewat pasti beliau sedang memarahi siswa. Duh..koq ada ya Ry orang yang memakai marah sebagai hobinya.
Yaelah...kamu masih nggak percaya ya kalau Pak Sodron suka marah. Kapan-kapan ya kamu aku ajak ke sekolah. Oke Ry aku ngantuk nih, tidur yuk berdua.
***
Terik matahari membakar. Klakson gembret bersahut-sahutan. Teriakan penjual menjajakan dagangan. Melati bertengkar karena menawar barang. Nah cerita dimulai:
“Mahal banget sih Pak ini biasanya khan cuma Rp1.500 per kilogram”
“Waduh itu khan dulu, Mbak khan tahu sendiri BBM barusan naik...”
“Itu khan BBM memangnya semangka nanamnya pakai bensin, nggak masuk akal Bapak nih, udah deh seribu limaratus saja sekilonya.”
“Belum bisa Mbak, Rp3.000 pas, nggak bisa ditawar lagi,” penyabar juga nih penjualnya.
“Ya sudah, nggak jadi Pak,” pungkas Melati sambil ngeloyor pergi.
“Yah Mbak, sudah nawar dari tadi malah nggak jadi,” keluh penjual itu, kayaknya sedih banget.
Melati tak peduli, habis mahal banget tuh semangka. Tapi baru lima langkah kakinya diayunkan, mendadak bahunya terasa ada yang menarik.
“Kenapa, uangnya kurang ya?” kontan Melati mencari sumber suara yang rasanya sangat akrab ditelinganya. Hampir copot jantungnya ketika Melati mengetahui ternyata Pak Sodronlah yang menarik bahunya. Lebih kaget lagi sebab tebakan Pak Sodron tepat. Ya, memang uangnya kurang.
“He...he... i..iya Pak,” Melati cengar-cengir.
“Kembali sana!” suruh Pak Sodron
“Ta..ta..tapi, Pak, duit saya khan kurang”
“Udah, ngak usah pakai tapi-tapi, cepat sana nanti kuranganya aku tambahi.”
“Tidak usah, Pak”
“Alah.. kamu ini Bapak tahu semangka itu pesanan adik kamu khan yang nangis tadi karena nggak kamu ajak ke pasar ini?”
Melati tentu saja melongo, tepat benar omongan Pak Sodron. Memang, semangka itu adalah pesanan adiknya. Tadi sewaktu berangkat ke pasar adiknya merengek minta ikut padahal Melati paling nggak suka kalau belanja direpoti adik. Terpaksa Melati berjanji ke adiknya untuk beli semangka. Dan dia paling nggak suka ingkar janji. Sebetulnya tadi Melati sudah putus asa. Sebab sudah mengitari seluruh pasar tapi tidak ada semangka yang murah semuanya menjual Rp3.000 per kilogram sedangkan semangka yang paling kecil adanya 2 kg padahal uangnya tinggal Rp5.000. tentu saja ia bingung bagaimana dia membeli semangka tersebut sedangkan rencananya uang sisanya buat naik angkot.
“Lho, koq malah bengong, ayo kamu ke sana beli semangka!” Melati menurut sepertinya Pak Sodron memang bersungguh-sungguh untuk membantunya. Pak Sodron mengikutinya dari belakang.
“Semangkanya jadi ya Mbak?” kelihatan sekali penjual itu berharap.
“Iya Pak, yang 2 kilo itu saja.”
“Jangan Pak, yang besar itu saja,” potong Pak Sodron sambil menunjuk semangka yang lumayan besar.
“Berapa Pak?” tanya Pak Sodron ketika semangka sudah ditimbang.
“Beratnya 6 ½ kilo Pak jadi Rp19.500.”
“Ini pak,” Pak Sodron menyodorkan uang dua puluh ribuan sambil tersenyum.
“Nih, Mel kamu bawa semangka.” Melati menyambutnya agak malu-malu. “Yuk ikut Bapak!” Melati mengikuti Pak Sodron masih dengan kebingungan. Nih orang baik banget ya? tanya Melati dalam hati.
Beberapa saat mereka berdua berjalan sesampai di penjual es Pak Sodron mengajak Melati berhenti.
“Minum es dulu ya, Mel? Pak es campurnya dua!” Pak Sodron memesan tanpa menunggu jawaban Melati. Melati termangu, dia masih bingung sepertinya Pak Sodron yang dihadapannya kali ini bukan Pak Sodron di sekolah, pasti ini kembarannya. Pikiran konyol Melati muncul.
“Nih esnya Mel.” Pak Sodron menyodorkan mangkok esnya. Melati menerima dengan agak canggung. Beberapa saat suasana kaku melingkupi diri Melati, dia masih bingung rasanya seperti mimpi kejadian kali ini.
“Kenapa, bingung ya kenapa aku ada di sini?” Pak Sodron memecah kesunyian. Melati mengangguk segan.
“Nggak usah heran kenapa aku tahu kamu ada di sini, dan kenapa aku tahu semangka tadi pesanan adikmu, sebab aku tadi ke rumahmu.”
“Oh......” hanya itu yang terucap dari bibir mungil Melati. Kejadian mulai terang. “Tapi, kenapa Bapak mencari saya?” diberanikannya bertanya.
“Lupa ya, Bapak ini khan Wali Kelasmu menggantikan Pak Paijo? Bapak mencarimu sebab itu memang sudah tugas bapak untuk melakukan home visit jika ada siswa yang bermasalah. Sebab setelah kulihat riwayat prestasimu selama ini kamu bukanlah termasuk anak yang bodoh. Apalagi mapel sejarah kulihat diraportmu mendapat nilai 88 anehnya kini nilaimu koq jelek sekali. Itulah sebabnya mengapa aku mencarimu mumpung sekarang liburan Unas.”
“Boleh saya berterus terang Pak, jika hal ini berhubungan dengan Bapak?” agak hati-hati Melati bicara.
“Oh tentu saja, senyampang itu demi kebaikan bersama Bapak tak segan-segan menerima masukan, walaupun itu dari murid.” bijaksana sekali Pak Sodron menjawab.
“Itu karena sikap Bapak yang tak kenal toleran dan suka mengumbar emosi.” kata Melati sambil menunduk sekilas dilihatnya Pak sodron menghela nafas panjang. “Maaf, Pak saya telah lancang.”
“Oh nggak apa-apa silakan lanjutkan.”
“Dulu Pak Paijo sangatlah sabar, tak pernah beliau memarahi muridnya sekalipun kesalahannya sangat fatal. Lain sekali dengan Bapak yang tak pernah memberi kesempatan kepada kami untuk berbuat salah sedikitpun. Pak Paijo tak pernah menuntut kami melakukan hal yang kami tidak mampu, tapi Bapak beda, kami dituntut harus bisa pada sesuatu yang kami rasa sangat sulit.” Melati masih menunduk takut jika marah itu muncul di mata Pak Sodron.
“Mel, pandang aku?” suruh Pak sodron. Yang disuruh menurut. “Bapak ingin menjelaskan kenapa Bapak bersikap begitu.”
“Nggak usah Pak, saya tahu itu memang hobi Bapak yang suka marah-marah.”
“Nanti dulu, jangan memotong perkataan seperti itu, tidak pantas.”
Melati heran Pak Sodron tidak marah ini diluar dugaannya sama sekali. Padahal jangankan bicara begitu seandainya di kelas melucu sedikit saja pasti sudah kena dampratnya.
“Bapak bersikap begitu sebetulnya demi kebaikan kalian semua.”
“Saya tahu, Pak, tapi itu sangat berat kami rasakan Pak.”
“Memang Mel, Bapak tidak suka dengan ketidak disiplinan, kemalasan, ketidak ketegasan, dan lain-lain. Sebab Bapak sebelum tugas di sini pernah mengajar di SMA Negeri yang disiplinnya bukan main. Dan kamu tahu Mel, ternyata dengan disiplin itu siswa jadi tertantang untuk maju.”
“Tapi sekolah kami khan bukan negeri, Pak?”
“Memang, tapi apa salahnya jika disiplin itu aku terapkan, toh hasilnya pasti akan lebih baik, iya khan. Jika kamu sering kena marah aku, atau melihat temanmu kena marah perhatikan apa itu karena bapak yang hobi marah atau karena kamu dan teman-temanmu yang tidak tahu aturan. Masak sih Mel, ketika guru menerangkan murid boleh bicara sendiri, PR tidak dikerjakan dibiarkan saja, keluar masuk ruangan tanpa permisi nggak diperingatkan, disuruh tidak mau lalu guru diam saja. Wajar khan jika aku marah?”
Melati menunduk, sepertinya apa yang dikatakan Pak Sodron memang benar. Kenapa aku nggak mikir ya.
“Bagaimana, kamu setuju khan dengan kata-kata Bapak?” yang ditanya mengangguk. “Nah, makanya jika kamu merasa Bapak pemarah ambil positifnya saja, nggak mungkinlah kamu minta Bapak seperti Pak Paijo dulu, Mel. Semua orang pasti punya karakter yang berbeda dalam menghadapi murid. Coba bandingkan apa sifatmu sama dengan Mawar teman sebangkumu?”
Melati mengganguk sebentar kemudian. Tapi tiba-tiba;
“Hei Mel koq sama pak Sodron, nggak sama Mawar seperti biasanya?” tiba-tiba Paiman muncul sedangkan Melati langsung melengos pura-pura tak mendengar.
“Eh Paiman, duduk sini, Mel di sapa tuh.” kata Pak Sodron. Melati tetap melengos.
“Tidak usah Pak makasih, mari Pak,” kata Paiman sambil berlalu.
“Kenapa Mel kamu tadi tak menggubris Paiman?”
“Kami baru putus Pak karena dia seling...ups, maaf Pak,” reflek Melati menutup mulutnya, waduh mulut bawel, bodoh banget, rutuk Melati dalam hati.
“He...he... jadi kalian baru putus ya, karena dia selingkuh? Memang sudah berapa lama pacarannya?” selidik Pak Sodron.
“Nggak ah Pak malu.”
“Nggak pa-pa Bapak suka koq kalau ada siswa yang curhat.”
“Benar begitu Pak?” wajah Melati berbinar
“Benar memangnya kenapa nggak boleh, dulu sewaktu di SMAN murid Bapak sering lho curhat lewat SMS dan Bapak layani.”
“Wah, jadi boleh dong kalau saya juga curhat ke Bapak?”
“Boleh aja, tapi sebaiknya kamu ke rumah Bapak saja kalau curhat, kita khan tetangga.”
Senyum Melati melebar.
***
Sabtu siang, 24 Mei 2008
Ry, aku nggak jadi deh bawa kamu ke school. Pasti kamu pengin tahu kenapa rencana kita gagal. Sebab pandanganku ke Pak Sodron telah berubah. Tadi pagi Pak Sodron ke sini untuk mencariku? Pasti kamu tahu. Eh, ternyata Ry beliau tadi menyusulku ke pasar lho. Dan yang heboh Ry tadi dia menjelaskan sikapnya selama ini. Ya, itu Ry, sikapnya yang menjengkelkankanku beberapa minggu ini.
Wah, aku jadi sungkan lho Ry sama beliau, masak Ry baru 1 ½ bulan jadi wali kelasku dia sudah tahu diriku hampir separonya. Jadi malu Ry aku ketika dia tahu aku barusan putus sama Paiman. Tapi, Ry ternyata beliau senyum-senyum saja dan menawarkan dirinya untuk tempat curhat. Ini nih Ry yang aku cari curhat sama orang yang lebih besar pasti pengalamannya banyak dan solusinya ces pleng. Ya nggak Ry, iya dong ah, kamu ini diam aja dari tadi.
Dan kini Ry, aku jadi sadar ternyata marahnya bukan karena hobi tapi memang karena sikapku yang menyebalkan. Ah, dasar aku ini manusia ego ya Ry, diri sendiri yang bodoh eh orang lain yang disalahkan. Oke Ry, aku mau tidur dulu nih. Nanti sore aku mau kerumah Pak Sodron ah, biasa Ry curhat, nggak sabar nih jadinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto