Jumat, 28 Agustus 2009

MENGIKUTI JEJAK RA. KARTINI
PAHLAWAN LEWAT TULISAN!!!
Oleh: Ika Nur Indah Lestari (XII)


Ibu kita Kartini…
Putri sejati…
Putri Indonesia…
Harum namanya…
Sepenggal bait lagu pujian buat sang pahlawan. Sungguh indah dan dikenang sepanjang masa. Ya, Ibu Kartini membuktikan bahwa untuk jadi pahlawan, nggak selalu berjuang dengan mengangkat senjata. Lewat tulisanpun kita bisa menebar keharuman nama keseluruh penjuru dunia.
Ketika terkurung oleh perangkap adat yang mengharuskannya jadi wanita pingitan, Kartini menghabiskan waktunya untuk membaca. Hati dan pikirannyapun terusik untuk melawan ketidak adilan yang diterimanya sebagai perempuan, lantas iapun menulis ungkapan hatinya dan membuka cakrawala cita-citanya yang saat itu dianggap sebagai khayalan.
Ya, melawan arus bagi perempuan pada zamannya, seperti bermimpi untuk hidup dialam dewa-dewa jauh dari jangkauan manusia biasa, apalagi untuk seorang Kartini yang hanya putri seorang selir. Tapi, tak ada yang mampu menahan hasratnya untuk menulis dan mewujudkan impiannya, yaitu emansipasi.

ANAK SELIR YANG KRITIS
R.A. Kartini yang lahir di Desa Mayong, Jepara, Pada 21 April 1879 ini adalah putri asisten Wedana Onderdistrik Mayaong, Kabupaten Jepara. Beliau lahir dan hidup ditengah bangsawan Jawa. Ayahnya R.M. Adipati Ario Sastrodiningrat. Memperlakukannya seperti wanita jawa lainnya, penuh aturan yang mengekang kebebasannya.
Nggak jelas diusia berapa mulai sekolah, tapi dalam suratnya kepada sahabat penanya di Belanda, beliau menulis tentang rasa marahnya atas diskriminasi yang diterimanya selama sekolah.
“Orang-orang Belanda itu mentertawakan dan mengejek kebodohan kami. Dan, ketika kami berusaha maju, mereka mengambil sikap menentang kami. Aduhai! Betapa banyaknya duka cita dahulu semasa kanak-kanak di sekolah para guru dan banyak diantara kawan-kawan, mengambil sikap permusuhan kepada kami…” tulis kartini kepada sahabatnya Estelee Zee Handellar.
Tulisan kartini semakin tajam, saat beliau berada dipingitan, sejak usia 12,5 tahun. Saat itu beliau sudah menamatkan sekolahnya dan sangat ingin melanjutkan ke HBS di Semarang tapi sayang, Kartini kecil tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikannya.
Selama dipingit, beliau banyak berkorespondasi dengan sahabat-sahabat penanya di Belanda. Beliau juga terus membaca buku, antara lain karya penulis Eropa seperti Droomen Van Het Ghetto karya Zangwill, yang bercerita tentang keadaan yang sangat buruk di perkampungan Yahudi di kota London. Beliau juga membaca Die Fran Midder Sosialismus dalam terjemahan Belanda karya Auguste Babel. Novel berjudul Hilda Van Suy Lenburg karya Ny. C Golkoop Dejog yang mengupas tentang emansipasi perempuan dan Max Haavelaar karya Multatuli yang menggugah kesadarannya tentang penindasan yang dialami oleh rakyat pribumi.
Hebatnya Kartini nggak berhenti sampai tahap membaca. Tapi dia mengupas dan membandingkan dua keadaan yang berbeda antara negrinya dengan Eropa.

SEJARAH BERULANG
Tahun 1896 adalah tahun yang membahagiakan buat Kartini dan Kardinah, adiknya. Pingitan mereka dilepas saat Kartini genap berusia 17 tahun, bersamaan dengan Ratu Belanda, Wilhelmina naik tahta, tahun 1900. Saat itu Kartini dengan pemikirannya lebih maju, berubah menjadi gadis pemberontak, beliau juga sempat membuka sekolah putri bersama adiknya Kardinah. Tapi ditentang oleh ayahnya.
Kartini nggak putus asa, beliau terus berjuang lewat tulisan-tulisannya. Tapi… ternyata sejarah harus berulang. Kartini harus menerima nasib seperti ibunya, dipaksa menikah dan mau tidak mau dia harus rela menjadi istri Selir Bupati Rembang. Setelah menikah beliau dikaruniai seorang putra benama R.M. Soesalit, menyedihkan! Karena saat melahirkan putranya, beliau akhirnya meninggal dunia dengan memendam perasaan sedih yang begitu mendalam.
Setelah Kartini meninggal surat-suratnya dipublikasikan oleh penerbit di Belanda dalam bahasa Belanda dengan judul DOOR DEISTERNIS TOT LIGHT: GEDACHTEN OVER ENVOORHET JAVUANSCHE VOEK VAN RADEN AJENG KARTINI (terjemahan bebas: Habis Gelap Terbitlah Terang: Pemikiran Tentang dan untuk Orang-Orang Jawa dari Raden Ajeng Kartini). Buku ini diterbitkan dalam bahasa Belanda, pembaca buku ini sangat terbatas pada orang-orang Belanda dan kaum priyayi, hingga akhirnya buku ini diterbitkan dalam bahasa melayu pada tahun 1992, oleh Balai Pustaka, dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Betapa besar jasa-jasa beliau, mengorbankan masa-masa remaja hanya demi penghormatan tradisi Jawa, rela berkorban demi tegaknya emansipasi wanita, dan beliau rela mati dalam keadaan jiwa yang sedang sedih, menanggung beban takdir yang mengekangnya. Kini kita hanya bisa mengenangnya. Kini kita hanya bisa mengenang jasa-jasa beliau melalui sebuah buku, yang mengisahkan betapa sengsaranya hidup dalam penjara adat, dan betapa besar kewajiban kita mengukuhkan emansipasi wanita meski dalam batasan-batasan yang formal. Untuk itulah kawan, marilah kita kenang dan kita lanjutkan perjuangan Kartini dengan semampu kita. Untuk seluruh wanita di Indonesia dan khususnya untuk sobat kamus dimanapun berada selamat hari Kartini…!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto