Jumat, 28 Agustus 2009



Di pematang sawah ini, shobat, dua setengah tahun yang lalu, tiap hari Rabu kita bercengkrama diiringi desau angin sawah yang berhembus begitu segar. Saking segarnya kadang kita tak mempedulikan baju seragam kita akan kotor, kitapun menghempaskan badan menikmati angin sepoi dan sinar mentari yang akan menyembunyikan dirinya di balik cakrawala.
“Segar ya, Man?” katamu.
“Segar gundulmu, aku haus nih Jo!” jawabku.
“Eh, kamu haus ya kebetulan nih es lilinku belum kuminum, kamu minum aja.”
Kau keluarkan es itu dari balik saku celanamu, basah? tentu saja, itulah kebiasaanmu yang tidak pernah berubah memasukkan apa saja ke dalam saku celanamu, tak peduli apakah barang itu pantas atau tidak kau masukkan ke dalamnya.
Kau ulurkan es itu kepadaku dengan senyum khasmu tentu saja dengan gigi putihmu. Heran juga aku, kamu jorok dalam hal pakaian tapi jika berhubungan dengan mulut, begitu telatennya kamu merawatnya. Kuambil es itu langsung kuminum. Nikmatnya Jo mengalahkan ice cream Walls atau Campina. Eh, lupa Jo kenapa aku membadingkannya dengan Walls dan Campina, aku khan belum pernah membelinya. Maklum nggak punya uang.
Ketika kita sudah bosan menikmati angin sepoi-sepoi dan sinar mentari yang mulai meredup, kita bangun Jo. Kita mengambil beberapa gumpal tanah kita bentuk menjadi beberapa butiran, dan...
“Kenaa kau..!!” kau melempar aku dengan bulatan tanah itu. Itulah kelebihanmu selalu bisa mendahuluiku dalam hal apapun. Tentu saja aku membalas lemparanmu. Saling menghindar saling melempar tak henti-hentinya. Barulah ketika matahari sudah tak tampak lagi dan ketika kita sudah mendengar bel pulang sekolah berbunyi, kita beranjak pergi dari sawah itu dengan tertawa gembira dan tentu saja dengan kebahagiaan yang kini sukar kulukiskan.
Dan di pematang ini juga di tengah hamparan luas padi yang sudah mulai menguning kita sering janjian tepat pukul 16.00 pas ketika guru kita yang pakai kaca mata dengan tubuh mungilnya menerangkan segudang pengetahuan tentang teknologi komputer dengan mulutnya yang agak besar. Kita mentertawakan dirinya yang sok cool padahal kita begitu membencinya. Sok pintar padahal kita menghinanya. Sok gaul padahal begitu katroknya.
Entahlah Jo, kita tidak pernah berbeda pendapat jika kita menilai tentang guru yang satu ini. Padahal kita sering bertengkar karena perbedaan pendapat, meski masalah sepele. Tapi jika kita membicarakan guru TIK ini apapun yang aku katakan engkau selalu setuju, apa yang kau katakan aku idem dito. Ah...kenapa kita begitu membencinya?
******
Karena kebiasaan kita inilah Jo, Pak Sodron akhirnya menyadari bahwa kita ini tidak pernah mengikuti pelajarannya. Tepat tiga bulan setelah kita melakukan kebiasaan inilah kita dipanggil oleh beliau. Acuh tak acuh kita memenuhi panggilannya.
“Silakan duduk Jo, Man,” itulah perintah beliau pertama kali ketika kita sudah sampai di ruangan BP tepat dihadapannya. Suara Pak Sodron bergetar lirih kudengarkan gemerutuk giginya. Mungkin beliau menahan amarah yang memuncak Jo.
“Paijo, Paiman, sebetulnya apa sih yang kalian inginkan?”
Kita tak menjawab, hanya lirikan mata dan senyuman sinis kita yang tampak.
“Dengan meninggalkan pelajaranku, apa yang kalian dapatkan?”
Kita terdiam, tapi kaki kita saling bersinggungan, kita tertawa kecil.
“Paijo, aku tahu kamu cerdas, semua guru memujimu. Tapi dengan tindakan bodoh yang kamu lakukan. Aku rasa kelebihanmu tak akan bisa menolong banyak pada hidupmu kelak.” nada suara Pak Paijo jelas menahan amarah.
“Dan kamu Paiman. Aku juga tahu kamu telah mengharumkan sekolah ini dengan prestasi olahragamu kemarin. Tapi apa dengan sumbanganmu itu kamu bisa seenaknya meninggalkan pelajaran ini tanpa alasan yang jelas?” suara beliau mulai meninggi.
“Saya muaakk dengan Bapak!” aku berteriak menggebrak meja. Ah..apa yang kulakukan ini.
“Bapak membosankan!” kamu ikut berteriak Jo. Aduh.. kenapa kamu meniru aku Jo?
Kulihat Pak Sodron terhenyak, mungkin kaget dengan apa yang barusan kami teriakkan. Sejenak hening. Aku dan Jo tak tahu apa yang mesti kulakukan. Meninggalkan ruang BP yang pengap ini, apa alasannya? Meminta maaf segera ke Pak Sodron apanya yang salah? Bukankah yang kami katakan memang benar beliau memuakkan, sekaligus membosankan. Jadi, kenapa mesti minta maaf.
“Bapak tak mengerti dengan apa yang kalian katakan barusan. Bukankah Bapak guru kalian, bukankah Bapak telah menularkan sedikit ilmu yang Bapak punya kepada kalian, lalu apanya yang memuakkan dan membosankan,” aneh Pak Sodron tadi yang mulai marah kini malah menurun nada suaranya. Lembut di hati kami tapi apa pedulinya kami sedang marah dan semua harus diungkapkan.
“Tentu saja Bapak memuakkan, Bapak tak pernah menghargai kami, Bapak menganggap kami hanya sebagai anak kecil yang patut Bapak tuntun dan papah. Tahukah Bapak, kami ini sudah besar kami punya keinginan dan kehendak tapi apa pernah Bapak memberikan kesempatan kepada kami?” katakku berapi-api. Aku heran juga darimana kalimat tadi kudapatkan. Semuanya meluncur begitu saja dari mulutku.
“Setiap kali Bapak mengajar kami hanya itu-itu saja yang Bapak sampaikan. Jika Bapak kehabisan materi Bapak suka mengeluarkan banyolan-banyolan yang kampungan. Jujur Pak itu malah membuat kami bosan dengan Bapak” ya ampun Jo kenapa kamu meniru aku lagi.
Kita sedang kurang ajar Jo!
“Tapi, memang benar khan, kalian masih butuh bimbingan. Dan bukankah dengan banyolanku suasana menjadi segar?” Pak Sodron membela diri.
“Benar menurut Bapak tapi tidak bagi kami. Oke Pak jika memang Bapak guru pintar, bisakah Bapak menjawab pertanyaan saya?” aku merasa aneh guru koq di uji.
“Silakan akan kucoba”
“Dalam bermasyarakat ada yang disebut dengan stratifikasi sosial, apa yang Bapak ketahui dengan stratifikasi sosial tersebut?” dengan mantap aku menanyakan hal tersebut karena pelajaran sosiologi adalah pelajaran yang sangat kusuka dan sangat kukuasai.
Kulihat Pak Sodron terpana dengan yang barusan ku katakan, dengan senyum kecilnya dia menjawab:
“Aku tidak bisa menjawab, itu khan bukan mapel yang aku ajarkan,”
“Nah khan, dengan pertanyaan yang seremeh itu saja Bapak tidak bisa menjawab, lalu apa yang akan Bapak bimbingkan kepada saya dan Paijo,” aku merasa di atas angin.
“Inilah salah satu yang membuat saya bosan kepada Bapak, Bapak seringkali tidak menjawab pertanyaan yang kami ajukan.” Paijo menambahi.
“Jo, rasanya kita tidak ada gunanya di sini, cabut yuk, permisi Pak, selamat berbingung ria atas pertanyaan tadi,” senyumku penuh kemenangan. Sedangkan Pak Paijo hanya mengangguk.
Sejak itulah Jo, kita semakin “rajin” meninggalkan pelajaran Pak Sodron, sedangkan Pak Sodron seepertinya juga pura-pura tidak tahu. Kita merayakan kemenangan atas Pak Sodron di pematang ini dengan saling melempar kita tertawa puas, entah kepuasan atas kepintaran kita atau kepuasan karena telah melukai perasaan Pak Sodron.
Sedangkan teman-teman kita Jo, tak pernah sekalipun memperingatkan kita. Hanya Paidi yang agak peduli kita. Dia menyayangkan sikap kita. Tapi apa pedulinya justru kita menunjukkan arogansi.
“Ala...h apa pedulimu Di, kamu mau tahu kenapa aku tidak suka Pak Sodron, nanti setelah istirahat khan pelajarannya, akan aku tunjukkan bahwa Pak Sodron tuh guru bego” kataku sombong.
Setelah istirahat kita sepakat untuk mengikuti pelajaran TIK, kita berdua Jo, ingin memberitahukan teman bahwa kita tidak bersalah karena meninggalkan pelajaran TIK.
“Jadi anak-anak jika kalian menekan menu ini, nanti kalian akan di dibawa pada kotak dialog Insert Table...” kata Pak Sodron berapi-api.
“Pak boleh tanya?” teriakku
“Ya, apa yang kamu tanyakan Paiman?” sahut Pak Sodron
“Apakah bisa Pak pelajaran ini memecahkan masalah sosial bangsa Indonesia sekarang yang carut marut?”
“Koq tanya seperti itu Man, jika itu yang kamu tanyakan Bapak tidak mau menjawab,”
“Nah teman-teman tahu sendiri khan Pak Sodron tidak bisa menjawab, gitu koq jadi guru!”
“Huuuuu...” serempak teman-temanku berteriak entah kepada Pak Sodron ataukah pada tindakan tololku yang tak kusadari. Yang pasti aku tetap bangga karena telah mempermalukan Pak Sodron di hadapan teman sekelasku.
*****
Setengah tahun berlalu Jo, kita tetap melakukan kebiasaan itu. Pagi itu, sinar surya menampakkan dengan cerahnya. Seperti biasa tiap hari Senin aku ikut kursus komputer di sekolahan. Meski aku benci pelajaran TIK tapi jika praktek aku semangatnya bukan main karena yang mengajar bukan Pak Sodron melainkan Pak Sholeh khusus guru kursus.
Sampai di depan Balai Desa Jetis, jalanan macet rupanya ada iring-iringan jenazah. Sekilas kulihat ada keranda yang sedang diarak, aneh kulihat di sana banyak guru-guru kita Jo, semua wajah mereka sayu, tak ada raut kegembiraan yang nampak. Hatiku jadi bertanya-tanya tapi apa peduliku. Aku alihkan perhatian dengan membaca komik Detektif Conan yang kubawa tadi.
Seperempat jam kemudian sampailah aku di depan Al-Musthofa. Setelah turun dari angkutan aku langsung lari ke halaman masjid, lengang, sunyi, aneh! Padahal jam sudah menunjukkan pukul 07.30 Wib. Kursus semestinya sudah dimulai. Batang hidungmu juga tidak nampak Jo, padahal aku tahu kamu selalu datang awal duluan tiap kursus.
“Heiii...Man kursusnya libur, guru-guru khan sedang melayat” dari kejauhan nampak Sumini berlari menghampiriku.
“Memangnya siapa yang meninggal?” tanyaku ketika Sumini sudah dekat.
“Nggak tahu ya? Pak Sodron tadi malam meninggal karena terkena demam berdarah.”
Deg...gg!! jantungku serasa copot. Perasaan bersalah tiba-tiba menggelayut di dadaku. Teringat kejadian beberapa waktu lalu ketika aku mempermalukan Pak Sodron di hadapan teman-teman.
Langsung saja aku berlari meninggalkan teras masjid, tak peduli Sumini berteriak-teriak memanggilku. Aku lari sekencang-kencangnya, terus dan terus berlari. Barulah ketika sampai di jembatan kembar di pintu masuk Perum. Griya Jetis Permai aku berhenti.
“Pak..pak mana rumah orang yang baru meninggal tadi Pak?” tanyaku pada lelaki paruh baya yang kebetulan melintas.
“Itu dek, di Jl. Jetis Tama Gg. X no. 29.” jawabnya.
“Terima kasih Pak.” aku lari lagi. Sesampainya di depan rumah yang ditunjukkan Pak Tua tadi terlihat banyak orang duduk-duduk berkerumun. Tak salah lagi karena di situ juga terlihat guru-guruku yang duduk di ruang tamu. Banyak mata sembab karena tangis. Aku mengedarkan pandangan, mataku tertumbuk pada sepasang mata yang masih mengeluarkan air mata dan ternyata itu kau Jo!
Aku menghampirimu, aku heran bukankah kamu sangat membenci Pak Sodron tapi kenapa sekarang kamu sesenggukan. Aku tambah heran.
“Jo, apa yang terjadi, kenapa kamu ada di sini?” tanyaku penasaran.
Kamu masih terisak tak menjawab. Kamu tarik tanganku kau bawa aku ke kebelakang rumah.
“Man, dapatkah dosaku ini termapuni?” tanyamu disela tangismu.
“Memangnya kenapa Jo?” tanyaku kembali.
“Masihkah kamu ingat ketika aku membentak Pak Sodron?”
Aku mengangguk.
“Betapa besar dosaku Man, padahal beliaulah yang telah menanggung hidupku selama ini, tapi bukannya terima kasih yang aku berikan padanya. Justru kecaman menyakitkan yang aku balaskan,”
“Baik benar beliau, memangnya apa hubunganmu dengannya?”
“Beliau adalah pamanku, sejak kedua orang tuaku meninggal ketika aku masih umur 10 tahun, maka beliaulah yang merawatku ditengah tanggungan hidup beliau yang besar,”
Aku tersentak, jadi selama ini Paijo selama ini membohongiku. Pantas ketika aku ingin berkunjung ke rumahnya tak pernah sekalipun dia mengijinkan tapi malah dia yang akan kerumahku. Jahat! Jahat kamu Jo, tak pernah memberitahuku.
“Kini setelah Paman tidak ada rasanya aku tidak akan meneruskan sekolah lagi, aku lebih baik ikut tetanggaku yang bekerja di Pelabuhan Tanjung Perak.”
“Jangan pergi Jo, bagaimana denganku aku tidak punya sahabat lagi sebaik engkau,” pintaku.
“Memangnya kamu mau membiayai sekolahku?”
Aku terdiam, tak mungkin itu kulakukan sedangkan hidupku saja masih pas-pasan. Ah..aku bingung Jo.
*****
Itulah Jo, shobatku. Kejadian dua setengah tahun lalu. Dan kini di pematang ini, setelah aku ke kuburan Pak Sodron di utara lapangan Pecarikan tadi untuk mendoakannya. Ketahuilah Jo, setiap Kamis pagi aku selalu ke kuburan Pak Sodron untuk mendoakannya dan tentu saja minta maaf atas segala kesalahanku dulu. Kini, kembali aku menyendiri mengingat kenakalan kita yang kusesali. Masih terasa hangat tanah bekas tempat dudukmu dulu.
Tahukah kamu Jo, sejak engkau meninggalkanku tak pernah sekalipun aku meninggalkan semua pelajaran termasuk TIK, meski gurunya bukan Pak Sodron lagi. Aku jadi ingat ketika bertanya kepada Pak Sodron pertanyaan mapel yang tak dikuasainya. Aku jadi sadar bahwa tidak mungkin setiap guru menguasai berbagai disiplin ilmu, itu ku ketahui ketika guru ngajiku bercerita tentang Imam Hanafi ditanya seseorang 40 masalah beliau hanya bisa menjawab 10 saja sedangkan yang 30 dijawab Imam Hanafi “Aku tidak tahu”.
Aduh bodohnya aku Jo, Imam Hanafi yang termasuk Imam Madzhab Empat saja masih mau menjawab tidak tahu, lalu bagaimana dengan Pak Sodron yang hanya lulusan S1?
Ah, Jo seandainya kau ada di sini akan kuajak engkau untuk membuka lembar baru sebagai murid teladan. Tapi sekolah telah engkau putus hanya karena himpitan ekonomi. Sedangkan engkau Pak Sodron, meski aku belum sempat memohon maaf, aku yakin di alam sana kau telah memaafkanku karena kini aku bukanlah Paiman yang bengal dan nakal, tapi murid teladan dari MA. Al-Musthofa Canggu.

3 komentar:

  1. MLm MUs,dLM PEnata'an kLmty udh bgus dan tmbh siip aja,,Tp igT ngrjainya hrs tetap smgt n kompak.UnTuk Pk HarIs cPET bWt BuAh HtiY BiAr tMbh rame.N SLm Jg bwT mbK putRi agAr teTap Tbh TRm pk haris yg uimut n ngejeng kelin j.HuWwakakak..(Father Firdi .R Arlance(9c).

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum,
    guru2 yg laenx diajakin nulis jg dunk pak, biar makin rame situsx...san afiyanti^_^

    BalasHapus
  3. ZIANA DATUL KHOIRI XII IPASenin, Desember 13, 2010 7:49:00 PM

    waduh" crita yang satu nich bikin sya terharu saja, bikin yang menarik laguy za pak???????
    ZIANA DATUL KHOIRI XII IPA

    BalasHapus

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto