Selasa, 04 Agustus 2009

ANAKKU, TAHUKAH ENGKAU KEINGINANKU?
Oleh: Abdul Haris

Duhai… dimanakah itu bebenaran?
Jika seonggok kenistaan yang menjadi genggaman.
Duhai…dimanakah itu keberanian?
Jika segumpal cercaan menerjang, hati serta perasaan.
Duhai…dimanakah itu kebaikan?
Jika sekarung cacian menyumpal perkataan
………………..
(Hamba penjaga)

Sebait syair itulah, yang saat ini terngiang-ngiang di telingga Bu Sodron. Secara tak sengaja beliau membaca syair tersebut di sebuah kuran lokalketika dia melepas penat dikantor guru. Koran itu, entah bagaimana caranya tiba tiba menabrak wajah Bu Sodron dan tentu saja mengagetkannya. Hampir saja dia menyobek koran itu secara reflek karena marahnya, tapi entah bagaimana pula Bu Sodron urung menyobeknya ketika sepintas terbaca tulisan “PUISI MINGGU INI” dibacanya secara seksama deretan puisi yang ada di depannya, dan sampailah pada sebuah judul “Guru dan Keinginan”
Tak urung dahinyapun berkernyit, ada apa dengan puisi tersebut. Barulah ia ngeh ketika puisi tersebut selesai dibaca. Secara garis besar puisi itu berisi tentang keinginan guru agar anak didiknya menjadi orang baik, tetapi terbentur dengan berbagai kendala yang dihadapi.
Rasanya memang itulah yang sedang dihadapinya kini, dirinya yang sekarang hampir menjadi wali kelasXA hampir-hampir didera putus asa melihat siswa siswi yang diasuhnya memperlibatkan kelakuan yang sulit untuk di tolelir. Dirinya yang sejak awal ingin menanamkan disiplin kepada mereka selalu saja mendapat tentangan yang begitu hebatnya.
Masih segar di ingatnya peristiwa sebulan lalu. Dedy, satu diantara anak yang di bengal di kelasnya, mempertontonkan kelakuan yang sangat tidak patut dilakukan oleh seorang siswa apalagi siswa Madrasah Aliyah. Dedi dengan berani memeluk teman ceweknya yang tentu saja mengakibatkan cewek tersebut berteriak selantang mungkin. Kebetulan Bu Sodron lewat di depan kelas tersebut, karuan saja kejadian tersebut membuat miris, sebegitu rusakkah moral akhlak remaja jaman sekarang?
“Tolo…ng” teriak anak tersebut. Merah padam muka Bu Sodron sambil mendengus.
“Ded apa yang kamu lakukan.”
“Enggak Bu, saya cuma guyon kok,” kata Dedi, ekspresinya sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan apalagi penyesalan.
“Cepat, kamu ikut saya kekantor,” lanjutnya.
Bertiga mereka menuju kantor.
Meski kejadian itu dia ketahui secara tidak sengaja dan Dedy di keluarkan dari sekolah, namun tak urung kejadian tersebut membuatnya merenung dan hampir-hampir membuatnya putus asa.
Adakah yang salah dengan sistem pengajaran yang ia terapkan salama ini? Adakah yang kurang dengan nilai moral yang dia tanamkan salama ini? Rasanya tidak! Tapi mengapakah hasil yang dia dapatkan tak semanis yang ia bayangkan.
Ah… Bu Sodron menyudahi melamunnya kali ini. Dia langsung mencangklong tasnya untuk pulang karena kebetulan jam mengajarnya telah habis.
Di kayuhlah sepeda anginnya dengan sekuat tenaga seakan-akan ingin membuang rasa perih yang dirasakannya. Ya! Sepeda angin itu yang mengantarksn dirinya pergi pulang menuju ke rumah atau sebaliknya. Bukannya kesehatan yang ia cari tapi memang hanya sepeda itulah yang ia punya dan yang bisa mengantarnya.
Keinginannya dengan mengayuh sepeda dan ingin cepat sampai di rumah, pikirannya yang melayang tadi akan segera hilang berganti dengan keceriaan. Namun, apalah daya dia seorang wanita, setiap permasalahan begitu sulit untuk dilupakan begitu saja. Diperjalanan pikirannya kembali melayang pada masalah yang baru saja di coba untuk dilupakan. Teringat lagi kejadian dua minggu yang lalu.
“Jadi anak-anak, itulah pelajaran yang ibu sampaikan hari ini, ada pertanyaan?” tanya Bu Sodron.
“Ada Bu,” teriak salah seoang murid.
“Ya Ron, silakan apa yang kamu tanyakan,” jawab Bu Sodron.
“Anu Bu, kenapa sih saya harus mempelajari teori-teori ekonomi yang sulit tadi, apa memang ada manfaatnya di kehidupan saya nanti?” tanya Roni dengan nada yang sangat meremehkan.
“Tentu saja Ron, apa yang ibu terangkan tadi sangat berguna bagi kehidupanmu kelak, jika memang tidak berguna masakan, ada pelajaran ini?” jawab Bu Sodron.
“Ibu bohong, buktinya dulu bapak dan ibu saya dulu tidak sekolah, tapi mereka bias cari uang,” bantah Roni.
“Itu kan dulu Ron, beda dengan sekarang, zaman semakin maju, kebutuhan juga semakin meningkat, dengan mempelajari teori-teori tadi kamu tidak akan ketinggalan zaman dan lebih siap menghadapinya,” jawab Bu Sodron
“Kayaknya ibu ngawur deh, kakak saya dulu juga sekolah disini dan katanya juga mempelajari teori-teori tadi, tapi katanya ketika kerja di pabrik, apa yang dia pelajari di sekolah tidak ada yang berguna sama sekali bahkan katanya sia-sia saja, sama dengan buang-buang waktu, benarkan kata saya tadi bahwa ibu bohong, dan kini membodohi kami-kami ini saja” semakin berani kata-kata Roni.
Tercekat tenggorokan Bu Sodron seakan-akan mulutnya terkunci, matanya mulai memerah, dan tak lama kemudian berkaca-kaca.
“Ngaku sajalah Bu, memang begitu kan, benar yang semua saya katakan. Bagaimana teman-teman benar tidak yang aku katakan?” Roni bertanya.
“Ya benaaa…rrr,benar sekali yang kamu katakan Ron!” suara hampir serempak murid-murid satu kelasnya hanya beberapa gelintir saja yang diam.
Tak tahan lagi Bu Sodron menahan air matanya, meneteslah satu per satu bulir-bulir air matanya. Dia semakin mengatupkan bibir, bukanya tidak bisa menjawab apa-apa yang dikatakan oleh Roni tadi, melainkan tersayat hatinya ketika dia dikatakan sebagai pembohong, ngawur dan membodohi murid.
Langsung saja dia menyudahi pelajarannya dan memberikan salam. Hatinya semakin tergores ketika bukan jawaban salam yang didapat melainkan,
“Huuuu…huuuuu…huuuu, Bu Sodron kalah dengan murid” teriak mereka.
Braaaakkk!!!
Suara sepeda beradu dengan pagar, ternyata sepeda Bu Sodron menabrak pagar rumahnya sendiri. Sengaja memang itu dilakukan untuk menumpahkan kekesalannya.
“Ada apa Bu, datang-datang pake nubruk segala, nggak sabar ya mau ketemu aku” suara dari dalam siapa lagi kalu bukan Pak Sodron
Bu Sodron diam, justru sesenggukanlah yang menjawab guyonan tadi. Pak Sodron yang belum tahu permasalahannya tidak jadi meneruskan guyonannya. Instingnya mengatakan ini bukanlah saat yang tepat untuk bersandau gurau.
“Ada apa koq pakai nangis segala?” tanya pak Sodron.
Masih diam, tak ada jawaban malah tangisan Bu Sodron semakin jelas terdengar. Pak Sodron jadi bingung, ini pertanyaan tidak di jawab malah menangis semakin keras.
“Ayolah Bu, aku ini khan suamimu, ceritalah bukankah kesusahanmu bisa menjadi milikku juga”
“Aku mau berhenti jadi guru saja Pak,” akhirnya bicara juga Bu Sodron.
“Lho ada apa ini, bukankah menjadi guru ini pilihanmu sejak muda dulu, kenapa sekarang tiba-tiba mau berhenti, pasti ada apa-apanya ini” selidik Pak Sodron.
“Ya, memang Pak, rasanya aku tidak pantas lagi menjadi seorang pendidik, aku tidak berhasil, aku malah mendapat cemoohan yang menusuk perasaan”
Maka mulailah bu Sodron bercerita permasalahan yang di pendam selama ini dan tidak pernah diketahui suaminya. Begitu perhatian suaminya mendengarkannya. Bu Sodron semakin semangat untuk bercerita. Setelah selesai, suaminya berkata
“Ah ibu….ibu, sepertinya engkau ini baru terlahir kemarin saja, apa yang kau rasakan saat ini, guru lain juga. Dan ibu tahu khan mereka hanya berkeluh kesah saja seraya ingin berbuat yang lebih baik?” tanya Pak Sodron yang di anggukkan oleh istrinya.
“Nah maka dari itu, tolong buang saja pikiran berhenti jadi guru, apa yang kau hadapi sekarang adalah tantangan yang justru akan membuatmu menjadi lebih matang mengarungi kehidupan. Aku memang tidak tahu bagaimana caranya engkau memecahkan masalahmu ini. Tapi tahukah ibu, aku di kantor juga menghadapi hal yang sama. Tentu dengan tantangan yang berbeda, tapi apakah dengan tantangan itu aku akan berhenti bekerja? Tidak bukan, justru setiap tantangan yang aku hadapi kujadikan tangga untuk mencapai sukses sukses selanjutnya. Intinya tidak ada pekerjaan di dunia ini yang tidak ada tantangan, bahkan menjadi pengemispun yang tinggal menadahkan tangan,tantangan masih ada.”
“Tapi Pak, apa yang kurasa saat ini mungkin puncak kesabaran saya” bantah Bu Sodron.
“Tidak, anak didikmu yang kau anggap berbuat kesalahan saat ini sama sekali tidak tahu dan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu salah belaka. Nah, itulah itulah tugasmu untuk memberikan pengertian kepada mereka.” jawab Pak Sodron.
Sejenak,tercenung Bu Sodron memahami kata-kata suaminya. Dan akhirnya:
“Benar juga yang kau katakan Pak, trima kasih atas dukungannya.” Bu Sodron mulai tersenyum.
“Nah, lupakan saja masalahmu, di rumah bukan tempatnya memikirkan pekerjaan, ayo makan, kelihatannya ibu menangis karena kelaparan ya?” gurau Pak Sodron.
Legalah sudah Bu Sodron mendapat dukungan yang begitu rupa dari suaminya. Esok,dia akan menatap tantangan didepan sebagai ladang pahala untuk mencapai syurga. Siswa-siswinya adalah harapannya untuk merubah zaman. Mereka adalah kertas kosong yang harus dicoretinya dengan tita emas peradaban. Namun terbesit juga dihatinya, alangkah indahnya jika siswa-siswi itu menyadari begitu mulia tujuan yang dia hanturkan. Tentu dia akan lebih mudah merubah mereka seandainya mereka juga mendambakan perubahan itu. Ah, bagaimanapun anak didikku adalah tumpuan harapanku, begitu bisik hati Bu Sodron sekaligus doanya pada Tuhan. Sekarang ia bisa manjawab syair yang teringang-ngiang di telinganya. Dan jawabnya adalah du hati, ya di hati ini semua terletak kebenaran, keberanian, dan segala kebaikan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto