Jumat, 28 Agustus 2009

AIR MATA BERBUAH BAHAGIA
Oleh: Sri Wulandari (XII)

Di malam yang dingin terlihat Sella termenung sendirian di dalam kamar. Tubuhnya terkulai lemas, seakan-akan baru di terpa badai topan. Hujan yang lebat pun mengiringi derai tangisnya, seakan-akan aku turut bersedih atas derita yang di alaminya. Kini hati sang gadis itu penuh dengan kebimbangan. Pikirannya Selalu teringat ucapan seorang ibu yang tadi siang datang kerumahnya, dan seorang ibu itu tidak lain adalah ibunya Fadly sang belahan jiwa.
Siang itu saat Sella tiduran di kamar, tiba-tiba terdengar ketukan dari depan rumahnya.
”Aduh…siapa sih ini, siang-siang ngganggu orang tidur saja,” omelnya pelan,”Iya sebentar” dengan agak kesal Sella pun membuka pintu. Dieggg! hati Sella tersentak kaget. “I…ibu!”ucapnya seakan akan tak percaya. Karena ia tak pernah menyangka kalau ibunya Fadly akan datang kerumahnya. Sebab dari awal Sella sudah tahu kalau sang ibu itu tidak pernah merestui hubungan mereka. “Silakan masuk Bu” denan hati deg-degan, Sella mempersilakannya duduk. “Sebentar ya Bu, saya buatkan minuman dulu”
“Nggak, nggak usah” tolak sang ibu. “Aku tidak lama kok, kamu duduk saja ada sesuatu hal yang ingin kubicarakan,” tandasnya tanpa membantah Sella pun duduk di hadapan sang ibu. Dengan penasaran dia menunggu kata-kata dari sang ibu. Namun sang ibu itu hanya diam saja hingga beberapa menit.
Karena merasa penasaran akhirnya Sella pun menanyakan apa yang ingin di bocarakan
“Maaf bu. Ibu mau bicara pa?” tanyanya lembut.
“Gini…” Ibu itu tidak meneruskan pembicaraanya, seakan-akan ada keraguan di hatinya.
“Iya bu…apa?” hati Sella penuh dengan tanda tanya dan mulai tak sabar.
“Gini Sell, aku mau minta tolong ke kamu bersedia”tanyanya.
“Tentu Bu, dengan senang hati, saya akan membantu ibu” sembari memberi senyumannya yang manis.
“Tolong kamu jauhi Fadly” rasanya Sella tak percaya mendengar hal itu tubuhnya langsung kaku. Seakan tak kuasa lagi untuk berbicara. “Kamu mau kan?” tanya ibu itu meyakinkan.
“Ta…tapi, kenapa Bu?” tanyanya gelagapan.
“Soalnya Fadly sudah ditentukan jodohnya dan aku minta ke kamu, tolong bujuk dia agar mau menikah dengan Ayu. Sebab kalau kamu yang ngomong, pasti dia mau menuruti.” celoteh sang ibu seakan tak berdosa.
Saat itu juga kepala Sella terasa pusing. Rasanya mau pingsan. Namun ia berusaha bertahan. Matanya pun berkaca-kaca. Akhirnya air bening itu pun mengalir di pipi Sella tak tertahan lagi.

“Tapi Bu, kenapa? Ibu tahu kan, betapa saya sangat sayang sama Fadly. Tapi, kenapa ibu tega menyuruh saya menjauhi dia” ucapnya memelas.
“Kalau kamu memang sayang sama dia, biarkan dia bahagia dengan menikahi Ayu” tuturnya.
“Oh…jadi maksud Ibu Fadly akan sengsara jika menikah dengan saya.”
“Bukan begitu.”
“Lalu apa? Terus kenapa pula ibu menyuruh saya meminta kepada Fadly untuk segera menikah. Kenapa nggak ibu sendiri yang bilang.” Sella merasa kesal.
“Itulah Sell, kemarin aku sudah bilang tapi dianya nggak mau.” cerita sang ibu.
“Itu berarti memang Fadly nggak akan bisa bahagia dengan Ayu. Karena Fadly hanya cinta saya Bu, hanya saya. Saya nggak akan menjauhi Fadly dan saya nggak bisa menuruti permintaan Ibu.”
“Tolonglah Sell, hanya kamu yang bisa.”
“ Tidak Bu, tidak. Saya tidak bisa melakukannya.”
“Jadi kamu ingin memisahkan aku dengan Fadly?” ujar sang ibu.
“Maksud ibu apa?” tanyanya heran.
“Iya, jika kamu bersikeras dengan pendirianmu itu berarti kamu telah mengambil seorang anak dari ibunya dan rela memisahkan kasih sayang kami, itu yang kamu mau?”
“Bukan begitu Bu, tapi…” belum sempat ia meneruskan bicaranya sang ibu memotong pembicaraanya.
“Kamu tahu, setelah Fadly berhubungan denganmu dia jadi sering membantah dan jarang pulang ke rumah. Kamu mau aku segera mati karena jauh dari anak kesayanganku?” ancamnya.
“Jika kamu seorang wanita pasti kamu punya hati nurani dan mau mengerti perasaan seorang Ibu. Permisi!” dengan meneteskan air mata, Ibu itu beranjak dari tempat duduknya.
Sella yang masih tercengang hanya bisa duduk saja sembari memandang ibu itu pergi dan lenyap hingga pintu rumah.
Karena peristiwa itu, kini Sella hanya biss terus menangis. Hatinya resah, bimbang dan bingung. Dia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan.
“Fadly aku sayang kamu, aku cinta kanu, tapi apa yang harus aku lakukan. Aku nggak bisa lihat ibumu sedih karena jauh darimu, gumamnya berkali-kali dalam hati.
Malam semakin larut. Sella masih saja termenung dan menangis. Hatinya seakan lelah memikirkan hal itu, namun akhirnya...
“Aku nggak boleh egois.” ucapnya menenangkan diri. Iya benar aku harus bisa menerima semua ini, demi kebaikan hubungan keluarganya. Harus! Sebab itu demi kebahagiannya pula.” Sella mengusap sisa-sisa tetes air matanya. Lalu tanpa pikir panjang lagi, dia langsung bangkit dan mengambil HPnya.
“Tit..tut..tit..tet..tut..tit..tut..tet..tut..tut..tut..tut..”
“Hallo…” dengan suara cempreng Fadly menjawab.
“Ada apa Sel? Tumben tengah malam telpon, ua…ch.” Sambil menguap.
“Oh…kamu kangen ya ma aku?.” katanya super PD.
Namun Sella hanya diam saja, dia bingung apa yang mesti ia katakan
“Hallo, hallo Sel, kamu masih disitu kan?!.” tanyanya penasaran.
“Hallo…” akhirnya Sella pun angkat bicara.
“Oh…kukira kamu ketiduran.” goda Fadly.
“Fad, aku mau ngomong.”
“Ngomong aja, pasti aku dengarkan kok.”
“Tapi aku nggak bisa ngomong lewat telpon, bagaimana kalau kita ketemuan besok.” Saran Sella.
“Emangnya mau ngomong apa sich, kok kayaknya penting banget.” Selidiknya.
“Ya besok kamu juga akan tahu.”
“Pasti kamu mau ngomong kapan aku meminangmu kan?” tebaknya bercanda.
“Ih sok tahu, udah ya, sampai ketemu besok.”
“Oke tunggu aja di rumah ya!.”
“Eh jangan di rumah, kita ketemuan diluar saja.”
“Emangnya kenapa?Oh pasti kamu nggak ingin ada yang nganggu ya. Oke deh kita ketemuan dimana?.”
“Aku tunggu di TBI pukul 09.00 WIB.”
“Oke!.”
“Kalau gitu udah dulu ya…”
“Eh kissnya mana?.”
“Oh ya, hampir lupa. Em…uach!.”
“Em…uach juga.”
Saluran telpon pun terputus.
Keesokan harinya tepat pada waktu yang di janjikan. Keduanya telah ada di TBI.
“Fad, jika aku minta sesuatu, apa kamu akan mengabulkan?”
“Pasti, apa sich yang nggak kukabulkan buat cewekku tercinta,” ucapnya sembari mengelus rambut Sella.
“Fad, menikahlah dengan Ayu!”
“Apa!.” Fadly tercengang heran, apa yang barusan kamu katakana ?”
“Ya, kurasa kamu sudah mendengar apa yang barusan aku kubicarakan.”
Fadly menghela nafas panjang. “Kenapa kamu menyuruhku menikah dengan dengan Ayu? Atau apa aku Selama ini kurang baik bagimu?”
“Bukan, Bukan itu Fad, malah sebaliknya aku sangat cinta sama kamu dan bahkan kamu terlalu baik bagiku. Jadi aku merasa tidak pantas untukmu.” jelasnya.
“Nggak aku nggak mau menuruti ide gilamu itu. Kamu sadar nggak sih dengan yang kamu katakana barusan. Jika kamu memang cinta sama aku kenapa kamu lakukan ini.”
“Aku sadar Fad, 100% sadar, aku nggak mau nantinya kamu kecewa.”
Fadly geleng-geleng. “Pasti kamu sudah dipengaruhi sama Ibuku,” terkanya. “Kamu nggak usah khawatir aku akan bilang sama Ibuku dan mengurungkan ide konyolnya itu,” darah Fadly seakan-akan naik ke ubun-ubun.
“Tidak Fad, jangan. Demi Allah jangan lakukan itu. Jika kamu sayang sama aku mestinya kamu menuruti kata-kataku.”
“Aku sangat menyayangimu Sel, bahkan melebihi nyawaku sendiri.”
“Kalau begitu turutilah keinginanku ini, karena jika kamu menikah dengannya aku pasti akan turut bahagia.”
“Sudahlah Sel, kalau kamu nggak bisa bohong. Aku tahu apa sebenarnya yang ada dihatimu. Kamu nggak bahagia kan?” sembari memegang erat tangan Sella.
“Kamu salah Fad,” sambil melepaskan pegangan Fadly. ”Jika kamu nggak mau, aku sangat membencimu dan aku nggak akan mau bertemu kamu selamanya” ancamnya.
“Oke Sel. Oke..Jika itu bisa membuatmu bahagia. Aku akan merlakukannya. Asal kamu tahu saja, aku nggak akan bisa mencintai orang lain selain kamu. Tapi jika kamu memaksa, baiklah aku akan berkorban meski aku tak bahagia. Fadly mengulurkan tangannya dan Sella pun membalasnya.
“Selamat tinggal Sel, semoga engkau puas dengan keputusanmu dan asal kamu tahu, aku akan selalu mencintaimu,” dengan mata memerah Fadly meninggalkan Sella sendirian.
Sepeninggal Fadly, Sella menangis tersendu. Namun apa yang meski ia lakukan, karena itu baginya adalah jalan terbaik.
Dua minggu setelah pertemuan itu sosok Fadly seakan hilang ditelan bumi. Keduanya tidak pernah sekedar telpon ataupun sms.
Sella seakan hancur. Kini tubuhnya semakin kurus karena jarang makan. Sungguh sangat memilukan. Setiap malam yang ia lakukan hanya menangis. Bahkan setiap tidur ia sering mengigau memanggil-manggil nama Fadly.
Di suatu sore yang cerah tampak pak pos di depan rumah Sella. Ketika itu Sella sedang menyiram bunga.
Pak pos itu melihat nomor rumah Sella. “Ah ini benar rumahnya, Mbak ini ada surat untuk Sella Aprillia,” Tegasnya.
“Kalau begitu kebetulan, ini Anda dapat surat dan tolong tanda tangani bukti penerimaannya ini.”
Dengan penasaran Sella menerima surat itu dan langsung menanda tangani tanda bukti itu. ” Terima kasih ya pak!”
“Sama-sama Mbak.”
Tanpa pikir panjang Sella langsung membuka isi amplop itu di dalamnya terdapat sebuah undangan pernikahan dan secarik kertas dengan tulisan singkat.
“Sel, jika kamu ingin aku tetap melangsungkan pernikahan ini. Kamu harus datang tepat pada saat aku melangsungkan akad nikah. Jika kamu tidak datang, aku tidak akan melangsungkan pernikahan ini.”
Sella langsung tercengang, “Ya Allah…apa aku sanggup melihat Fadly bersanding dengan orang lain, padahal aku sendiri sangat mencintainya.” keluhnya dalam hati.” Tapi jika ini memang kehendak-Mu aku akan datang di akad nikah itu. Karena jika aku tidak datang, pasti Fadly akan mengetahui sebenarnya aku tidak rela dan aku tak bahagia. Ya Allah tabahkanlah hambamu ini,” pintanya dalan hati.
***
Hari telah berganti hari dan waktu akad nikah itupun tiba. Sella sudah ada di depan rumah Fadly. Jantungnya berdebar keras dan kakinya seakan terpaku sehingga tak bisa di gerakkan. Tangan dan Seluruh tubuhnya gemetar hingga keringat pun menetes dari dahinya.
Saat itu juga terlihat ibunya Fadly berada di ambang pintu. Lalu menyambutnya dengan hangat dan penuh senyuman. Lalu menghampiri Sella.
”Aduh sayang…mengapa berdiri disitu, sudah ditunggu dari tadi. Ayo kita masuk!” ajak ibu itu lalu menggandeng Sella. Sella jadi heran kenapa ibu Fadly berubah sikapnya. Tetapi demi menghormatinya, dibiarkannya dirinya dibimbing olehnya.
Sesampai di pintu masuk Sella berhenti dan melihat banyak orang di ruang tamu itu dan juga terlihat Fadly dan Ayu, serta bapak penghulu. Semua mata tertuju pada Sella seakan-akan dia adalah tontonan.
Fadly beranjak dari duduknya lalu menghampiri Sella dan menggandengnya. Kemudian mempersilakan duduk di dekatnya. Saat itu suasana sepi senyap tiada suara yang terdengar. Hanya detak jantungnya yang dapat ia dengar.
Karena semua diam, Sella merasakan ada yang aneh. Lalu ia pun angkat bicara.
“Fad, apa akad nikahnya sudah selesai?” tanyanya dengan nada pelan.
“Belum,” jawabnya ringan penuh senyum. “Bagaimana bisa Selesai, lha wong pengantinnya saja nggak mau masuk.”
“Nggak mau masuk gimana, dia kan sudah duduk di dekatmu?” tanyanya heran.
“Iya sekarang.”
“Emangnya dari tadi…” tanyanya lagi. Semakin nggak mengerti. Sebab ia tahu kalau Ayu sudah datang dari tadi.
“Dari tadi itu kamu berdiri saja di depan rumah terus gimana aku bisa melangsungkan akad nikah ini,” tutur Fadly.
“Maksud kamu apa…”
Lalu Ibu Fadly memotong pembicaraannya.
“Ya kamulah yang akan menikah sama Fadly,” Sambil tersenyum lembut.
“Lho, aku makin nggak ngerti apa sih yang sebenarnya terjadi?”
Semua orang tersenyum, ternyata Fadly sudah meluluhkan hati Ibunya. Sehingga sang ibu sadar bahwa anaknya nggak bisa hidup tanpa Sella. Dan bagi Ayu semua itu bisa diterima sebab Ayu pun tidak setuju dengan perjodohan itu. Sebab ia sudah punya pilihan sendiri.
Dan akhirnya Sella mengerti setelah Fadly menjelaskan panjang lebar, Tanpa terasa air mata Sella pun menetes. Itulah air mata kebahagiaan yang setelah sekian minggu ini terkulai sia-sia karena kesedihan.
“Sudahlah nggak usah nangis lagi,” Fadly mengusap air bening di pipi Sella.
“Sekarang aku sudah ada di dekatmu dan setelah pernikahan ini tidak akan ada lagi orang lain yang dapat memisahka kita Selain Allah SWT.” hibur Fadly.
“Sekarang mari kita mulai akad nikah ini.”
“Tapi Fad, Ayah Ibuku belum tahu kalau…!”
“Kami sudah tahu anakku, dan kami telah merestui kalian” tiba-tiba sesosok orang memotong pembicaraan Sella.
“Ayah! Ibu!.” Tanpa di komando Sella langsung berdiri menghampiri ayah ibunya dan langsung memeluk mereka bergantian untuk menumpahkan segala kesedihannya. Semua mata terharu melihat semua itu.
“Tapi sekarang Ayah dan Ibu kok ada disini, bukannya kemarin kalian pamit kerumah kakek?!.”
Ibu Sella tersenyum dan menjawab, ”Memang kemarin kami bohongi kamu, sebenarnya kami datang kesini. Dan semua ini telah kami rencanakan dari seminggu yang lalu. Ketika kamu tidak dirumah, kedua orang tua Fadly datang dan berniat untuk melamarmu. Tentu saja kami menerimanya. Sebab kami sebagai orang tua tak sanggup jika setiap hari harus melihatmu sedih, anakku,” kata ibu Sella menjelaskan.
“Nah, sekarang sudah jelas kan? Kalau begitu mari kita mulai acaranya,” usul Ibu Fadly. Ah…hanya burung pipit, angin sepoi, hujan gerimis yang bisa melukiskan betapa bahagianya hati Sella sekarang. Memang cinta sejati takkan bisa terpisahkan.
Setiap Keberhasilan membutuhkan usaha,
Dan usaha membutuhkan kesabaran serta do’a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto