Minggu, 19 Juli 2009

NGANTUK LAGI… NULIS LAGI…
Oleh: Abdul Haris


Terik matahari di atas Masjid Al-Musthofa menyengat menyapa siswa-siswi MTs/MA. Al-Musthofa yang baru saja tiba di sekolahan. Daun-daun kering berguguran tak kuat menahan hembusan angin kencang dari arah pabrik Tjiwi Kimia. Debu beterbangan seakan-akan menyambut para siswa dengan wajah ceria mereka.
Tapi tunggu sebentar, ternyata tidak semuanya wajah mereka ceria, apa mungkin uang sakunya kurang ya atau hilang? Atau jangan-jangan mereka belum mengerjakan PR nih. Ah…tak tahulah tapi yang pasti terdengar sayup-sayup celoteh salah seorang anak yang bermuka muram tadi.
“Tahu nggak Met, sebetulnya aku malas sekali tiap hari Rabu untuk masuk.” cerocosnya.
“He…m.” yang diajak ngomong cuma berdehem.
“Aku paling benci jika sudah melihat hari, eh ternyata hari Rabu.”
“Oh…ya?”
“Aku jadi protes nih sama kalender, kenapa sih mesti ada hari Rabu, koq nggak langsung saja setelah hari Selasa langsung Kamis!”
“What’s?” Melati mendelik
“Betapa bahagianya ya jika hari ini berganti jadi Kamis saja”
“Ha…h?”
“Met…kamu ini diajak ngomong dari tadi nggak nyambung banget sih, masa jawabnya cuma he..m, oh ya, what’s, ha..h, dengar nggak sih, kamu kesurupan ya?” Mawar kelihatannya berubah wajah nih. Tapi tetap saja jelek lha wong dari muram sekarang jadi marah, gimana nggak jelek.
(“Mas pengarang ini juga udah tahu Mawar marah masih dijelekin juga.”, ei..ts pengarangnya dimarahin juga nih. “Ya iyalah Mawar khan cantik koq dibilang jelek, aku mundur jadi pemeran utamanya nih.” I…iya deh kamu cantik meskipun marah, jadi takut nih pengarangnya. Lanjutin ceritanya)
“Lho apa nggak kamu War, yang kesurupan, datang-datang nggak ngucapin salam, eh malah marah-marah tidak karuan pake marahin hari lagi, kamu khan tahu dari dulu setelah hari Selasa ya Rabu, masa’ langsung Kamis, ada-ada saja!” Melati ikut marah juga kelihatannya.
“Habisnya Met, aku paling bete kalau sudah ketemu hari Rabu.” kelihatannya agak mereda marahnya Mawar.
“Memangnya kenapa?” tanya Melati.
“Begini nih ceritanya Met, kamu ingat khan hari ini jam pertama pelajaran apa?” Mawar balik tanya.
“T I K” jawab Melati. “Terus apa salahnya dengan pelajaran tersebut?”
(Eh Mawar sebenarnya ngomong sama siapa sih, yang diajak ngomong Met, koq yang jawab Melati. Nggak tahu ya Meta tuh singkatan dari Melati Puspita, nah lho)
“Nah, bukan pelajarannya yang bermasalah, tapi gurunya tuh yang bikin masalah. Masa’ kamu nggak merasa sih akhir-akhir ini, Pak Sodron tiap kali masuk kelas apa coba yang dia lakuin?” Mawar tanya lagi.
“Mengucapkan salam” jawab Melati polos dengan wajah tanpa dosa. Inocent banget.
“Aduuuu..h, lama-lama aku jadi bete juga nih ngomong sama kamu.” kelihatannya Mawar mau marah lagi nih.
“Memang benar khan. Kalau pertama masuk harus mengucapkan salam” bela Melati.
“Ya benar tapi bukan itu maksudku, Rabu kemarin masih ingat khan kamu, tanganku sampai nggak bisa digerakkan gara-gara kecapekan menulis di papan” kelihatannya mulai jelas nih permasalahannya.
“O..h itu tho maksudmu, jadi kamu benci hari Rabu karena kamu selalu disuruh Pak Sodron untuk menulis di papan?” Melati mulai ngeh.
“Na…hh pinte…rrr itu baru temanku yang cantik dan pinter.” puji Mawar.
Wajah Melati alias Meta berubah jadi merah dadu. “A..h Mawar bisa aja muji” bisik Melati dalam hati.
Tuu…ng tii….ng tung ting tung neng, tuu…ng tii….ng tung ting tung neng, tuuuuut. Suara bel masuk berbunyi pertanda pelajaran akan dimulai. Tapi sebentar nih masa’ bunyi bel ada tuuuuutnya sih? Oh…tahu saja pembaca nih, yang tuuuut tadi kentutnya Mawar saking betenya. He…he…he…
Semua siswa masuk dengan rapi ke dalam kelas. Tak ketinggalan Mawar dan Melati mereka berdua dengan anggunnya (ceile…) memasuki kelas.
Tidak sebarapa lama tampaklah sesosok tubuh tinggi besar dengan wibawa tak dibuat-buat memasuki kelas XIb dan…
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” suara pelan nan merdu terdengar dari bibir Pak Sodron.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab anak-anak serempak bagaikan koor penonton Mamamia. Tapi….
“Wabarakatuh!” Terdengar suara lengkingan dan kempreng. Karuan saja seisi kelas menoleh ke arah sumber suara mengejutkan tersebut. Dan….
“Ha…ha…ha…, Mawar ngantuk.” Paijo nyeletuk.
“Wah…ada orang ngigau nih!” seru yang lain, Paiman maksudnya.
Semakin gaduh, tidak terkendali suasana bagaikan warga Canggu rebutan minyak tanah.
“Sudah-sudah tidak usah diributkan, berdo’a dulu, habis itu langsung pelajaran. Paidi, ayo dikomando untuk berdo’a.” suruh Pak Sodron kepada Sang Ketua Kelas.
“Siaaap grak, berdo’a mulai.” lantang sekali ya suara Paidi. Ya iyalah khan barusan dapat senyuman Melati. Gadis idamannya tuh!

Beberapa menit kemudian terdengarlah suara serempak anak-anak melantunkan do’a dengan khusyu’nya berharap nilai bagus kali ya. Sedangkan Pak Sodron dengan tertunduk kelihatan ikut berdo’a, tapi tunggu dulu setelah anak-anak selesai berdo’a heninglah suasana dan yang terdengar:
“Groo…kk…groo…kk…groo…kk…groo…kk” nyaring sekali suara dengkuran tersebut dari siapa lagi kalau bukan dari guru tercinta ini. Sejurus kemudian berteriaklah salah seorang anak:
“Pak…Pak Sodron do’anya sudah selesai.” Melati ternyata yang berteriak.
Tergeragap Pak Sodron sambil mengusap air liurnya.
“Aduh...maaf anak-anak begitu syahdunya kalian berdo’a sampai sukma Pak Sodron terbang ke alam gaib.” bisa saja ya Pak Sodron beralasan.“Mawar, ke sini tolong tuliskan bab II tentang pembuatan Mail Merge ini ya.” Pak Sodron melambaikan tangan ke Mawar. Yang dipanggil tentu saja memanyunkan bibirnya pertanda tidak senang.
“Koq saya lagi sih Pak, kemarin saya khan sudah” elak Mawar
“Nggak bisa War, Pak Sodron suka tulisanmu yang bagus itu, gampang dibaca oleh temanmu, ayolah Pak Sodron khan minta tolong.” bujuk Pak Sodron.

Begitulah, akhirnya Mawar memang benar-benar menulis di papan. Dalam hati Mawar merutuki nasibnya yang malang tersebut (kayak siswa tiri saja ya). Satu halaman selesai, dua halaman terlampaui, tiga halaman tangan Mawar mulai kesemutan, empat halaman tulisan Mawar bagaikan benang kusut. Selama menulis Mawar tak henti-hentinya mengutuk guru yang satu ini, enak banget ya jadi guru, sudah dibayar tinggal datang, eh tugasnya menulis untuk murid malah dibebankan kepada muridnya juga, tidak dapat komisi lagi, apalagi bonus.
“Groo…kk…groo…kk…groo…kk…groo…kk” terdengar lagi suara dari samping Mawar tepatnya dimeja guru. Mendengar hal tersebut Mawar semakin mendongkol. Sudah nggak mengeluarkan tenaga untuk menulis, ini malah enak-enakan merajut mimpi di hadapan (eh disamping ding) muridnya. Kayak kerja rodi saja. Awas, nanti kalau aku sudah lulus nggak akan aku mau jadi menantunya! (Waduh berlebihan War, siapa tahu anaknya ganteng “Biarin pokoknya aku nggak mau berhubungan lagi dengan dia kalau sudah lulus nanti, mas pengarang ini nggak kasihan ya sama aku dikasih peran begini”)
“Jreng…jreng…jreng” bel berbunyi tanda ganti pelajaran ini artinya siksaan untuk Mawar berakhir. (bel koq berbunyi jreng…jreng ya, maklum saja deh biasa, Al-Musthofa khan sekolah gaul he…he…he…)
Tampak Pak Sodron masih saja terlena dengan tidurnya. Dengan hati-hati sekali Mawar membangunkannya meski dalam hati masih dongkol.
“Pak…bangun jamnya sudah habis.” lembut sekali suara Mawar padahal rasanya ingin sekali marah lho.
“Wua…aah sudah selesai ya, aduh maaf ya, sampai ketiduran.”
“Anak-anak keterangannya Rabu depan saja ya, Trims ya War. Sekian dari saya, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” kali ini suaranya memang benar-benar kompak memenuhi seisi ruangan kelas XIb.
Ketika istirahat tampak Mawar bermanyun ria di serambi Masjid nunggu giliran wudlu sambil nyerocos ngalor ngidul apalagi kalau nggak ngomongin peristiwa tadi.
“Nah benar khan, Met aku lagi yang disuruh. Makanya aku benci banget dengan hari Rabu. Pegang nih tanganku masih terasa panasnya nulis tadi.” suruh Mawar. Yang disuruh nurut aja megang tangan Mawar, ya biar bisa dibilang simpati gitu.
“Aduh kenapa ya sekolah ini nggak mecat saja tuh guru biar nggak nyiksa muridnya terus. Ngatukan lagi” masih saja Mawar menumpahkan kekesalannya. Tak urung pembicaraan tersebut menarik perhatian dua biji mata yang sedari tadi melihat dan dua buah telinga yang sejak tadi mendengarkan obrolan Mawar dengan Melati.
“Maaf, mbak kalau boleh tahu siapa ya yang sedang dibicarakan?” tanya anak tersebut. Bunga Cyntia, namanya. Koq tahu? Ya tahulah didadanya khan ada papan nama!
“Eh…anu Pak Sodron, memangnya kenapa? Apa di kelas mbak, Pak Sodron juga begitu, suka nyuruh nulis muridnya, suka tidur de el el?” Mawar balik bertanya.
“Iya mbak, justru saya juga kebagian tugas seperti itu, tapi saya enjoy aja tuh.” kata Bunga.
“Lho koq bisa? Apa mbak tidak marah sama tuh guru yang suka nyuruh-nyuruh tersebut” tanya Mawar.
“Awalnya sih gitu mbak, tapi setelah saya tahu siapa sebenarnya Pak Sodron, saya malah bangga bisa membantunya dalam melaksanakan tugas mengajar.”
“Lho Koq” mulut Mawar membentuk huru O besar
“Tahu nggak mengapa Pak Sodron sampai begitu?” Bunga mencoba bertanya.
“Ya nggak tahu sih, soalnya dulu Pak Sodron tuh guru idolaku, datangnya tepat waktu, mengajarnya enak, sama anak juga penyabar, tapi entahlah sudah dua bulan ini beliau koq berubah 180 begitu.” ujar Mawar.
“Nah itulah mbak, mengapa saya merasa bangga jika disuruh menulis oleh beliau. Aku sih sama dengan mbak paling bencii..ii banget sama guru yang suka menyuruh muridnya nulis dipapan sebab menurutku itu khan kewajiban guru tapi khusus untuk Pak Sodron adalah kecualinya. Sebab aku tahu persis mengapa beliau berubah jadi seperti sekarang.”
“Memang apa sebabnya?” Mawar jadi penasaran rupanya.
“Begini mbak, sejak dua bulan lalu istri Pak Sodron yang biasa membantunya mencari nafkah di pabrik kena serangan stroke. Jadi otomatis pendapatan keluarganya menurun. Sedangkan biaya perawatannya khan mahal.”
Degg… dada Mawar terasa sesak. “Te..terus mbak” bibir mawar sekarang berbentuk  (kotak), lebar sekali.
“Apalagi putranya yang masih duduk di MTs. ikut-ikutan sakit typhus menjadi bertambah beratlah beban Pak Sodron.”
Nguing…nguing…. kepala Mawar ikutan terasa pening. “La…lalu” sekarang bibirnya jadi huruf U.
“Nah karena orang tua dan saudara Pak Sodron di luar Jawa praktis Pak Sodron sendirian yang menanggung beban tersebut. Mulai dari belanja, memasak, mencuci, dan mencari uang. Sedangkan tetangganya kadang-kadang saja ikut membantu maklumlah mereka sama-sama sibuk”
Ting…ting…ting…tuing…mata Mawar berkunang-kunang. Tangannya berpegangan tembok.
“Sejak pagi hingga malam beliau mencari uang, pagi ke MI, siang ke MA. ini sedangkan malamnya nanti hingga pukul 22.00 beliau nyambi jadi tukang parkir di alon-alon Mojokerto. Padahal pukul 04.00 pagi beliau harus sudah bangun untuk menyiapkan segala keperluan keluarga.”

menyerang. Sekarang badannya yang bersandar tembok.
“Makanya mbak kita do’akan ya semoga keluarga beliau cepat sehat dan bisa normal kembali. Sedangkan kita yang menjadi muridnya marilah ikhlas membantunya. Jangan lupa ya mbak nanti do’anya setelah shalat Ashar, mbak…mbak aduh mbak bangun. He…teman-teman tolong mbak ini pingsan” teriak Bunga.
Seketika Mawar dibawa ke ruang UKS, selama limabelas menit dia pingsan. Selama itu pula jiwanya seakan menyaksikan dan merasakan sendiri betapa beratnya beban yang ditanggung Pak Sodron. Betapa bodohnya aku, selama dua bulan tidak tahu menahu kabar yang begitu penting dari gurunya. Egois banget aku. Begitulah perasaan Mawar. Dan setelah terbangun:
“Pak Sodron maafkan muridmu, maafkanlah aku yang tak tahu diri ini” isak tangis mengiringi penyesalan Mawar. Melati juga ikut nangis, Bunga jadi ikutan nangis. Duniapun ikut menangis, menangisi penderitaan Pak Sodron. “Ah…semoga semuanya cepat berakhir pak.” do'a Mawar dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto