Oleh: Desy Lusiana (XII-IPA)
Story of my life searching for the
right but it keeps avoiding me...
Alunan musik rock-pop yang dinyanyikan
oleh Rihanna, masih terngiang di telingaku. Aku dibangunkan oleh sinar sang
fajar yang menyapaku dengan senyum teriknya. Aku mulai beranjak dari tempat
ternyamanku untuk melanjutkan hari yang telah menantiku. Aku mencintai musik,
bisa dibilang tiada hari tanpa musik.Cita-citaku pun ingin menjadi seorang
penyanyi atau musisi, tidak untuk mendapatkan kekayaan atau ketenaran karena aku
hanya mau menunjukkan kepada mereka kalau aku bisa menjadi yang terbaik.
Aku Melia kini aku menginjak kelas
XI di suatu MA Elite di kotaku, hidupku sama dengan musik, tak semudah membuat
alunan nada yang indah, perlu banyak perjuangan merangkai kata-kata yang indah
untuk dijadikan sebuah maha karya yang tak puas-puasnya untuk didengarkan, dan
kadang setelah semua pengorbanan itu, musik juga kadang dibenci. Itulah musik,
yang selaras dengan kehidupanku.
Aku memang perempuan namun aku
sangat cuek akan penampilan, aku selalu bertata alakadarnya. Karena aku sangat
sibuk dengan banyak kegiatan di sekolah. Tubuhku lebih gemuk dibanding anak
seusiaku mungkin karena aku tidak begitu mempedulikan pola makan, kulitku hitam
karena biasa berada di tempat yang panas dan mungkin karena kebanyakan ikut
ekskul diluar jam pelajaran dan diluar ruangan kali ye? Danselalu terlihat
santai dalam keadaan apapun. Tak satupun yang mendekatiku selain lima temanku
yang memang sudah berteman sedari kecil denganku.
Tak ada laki-laki mendekatiku, dan
itu ku anggap wajar karena memang tak mungkin ada yang mau dengan ku yang seperti
ini, aku tak pernah dipuji dalam hal penampilan. Dan aku menyadari akan hal
itu, banyak yang mencelaku, mencemooh setiap penampilanku yang seperti gembel
atau apalah. Namun dengan membusungkan dada dan menegakkan kepala aku hanya
melempar senyum pada mereka yang membenciku.
Sampai suatu hari karena
kecerobohanku yang lari menuju ke sekolah karena jam menunjukkan pukul 06.45
WIB, yang berarti 15 menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Aku ditabrak oleh
sesosok laki-laki yang tampan dan cool dengan pakaian layaknya seorang guru,
namun dia sama sekali tak terlihat seperti guru, dia lebih mirip artis terkenal
Mario Maurer asal Thailand, aku terjerembab tepat dibawah laki-laki tersebut.
“Maaf, mari saya bantu,” ucapnya
menggoyahkan lamunanku.
“Iya, maaf kak saya buru-buru,” jawabku
sambil menundukkan kepala.
“Jangan buru-buru mangkanya,
hati-hati,” diapun kutinggalkan, aku hanya menjawab dengan senyuman. Dan melanjutkan
berlari menuju sekolah. Untung saja setelah aku menginjakkan kaki di dalam
sekolah bel baru berbunyi. Aku langsung menuju kedalam kelas dan mengikuti
pelajaran disana.
“Untung aja lo gak telat Mel,” ucap
Tiara yang duduk dibangku ku dan sesegera pindah dari sana. Beberapa saat
kemudian datanglah bapak kepala sekolah bersama sosok laki-laki yang tak asing
lagi.
“Itu kan?...” kataku pelan.
“Kece banget tuh cowok? Tapi kok
mau ya jadi guru? Tampang-tampang kayak dia mah lebih pantes jadi artis,” cerocos
Netta.
“Huss, tuh mulut yee,” timpal Lisa.
Pak Kepsekpun mulai membuka
pembicaraan,“Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarrakatuh”
“Wa’alaikum salam Warohmatullohi
Wabarrakatuh,” jawab Para siswa termasuk aku dengan serempak.
”Maaf mengganggu waktunya
sebentar. Tolong didengarkan, saya akan memperkenalkan guru baru disini beliau
adalah guru Olahraga pengganti pak Surya dia juga akan membimbing kalian
dibidang konseling alias beliau juga akan
menjadi guru BK kalian. Silakan pak perkenalan dulu,”lanjut pak Kepsek
“Iya, Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh, perkenalkan nama saya Edwin Pudja Ramadhan, bisa dipanggil Pak
Edwin. Untuk perkenalan selanjutnya saat saya mulai mengajar saja,
terimakasih.Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap guru kecetersebut.
“Baik terimakasih atas waktunya
wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” tutup pak kepsek pagi itu.
“Wih keren tuh guru, kayaknya sih
belum nikah, orang masih muda gitu. Wihh gua mau banget jadi ceweknya.
Kira-kiraa.....” Cerocos Netta.
“Hussss stop diem!!! Pertanyaannya, dia mau
gak jadi cowok loe?” Sahut putri yang disambut gelak tawa kami berlima. Entah
mengapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan sosok laki-laki tersebut.
Namun semua perasaan yang aneh ku coba tepis perlahan agar tidak menjadi beban
fikiran.
Hari-hari selanjutnya berjalan
seperti biasanya hanya saja ada satu hal yang mengganjal dihati, entah apa,
namun ini terasa aneh. Perasaan yang sebelumnya tak pernah kurasakan, kenapa
saat aku bertemu dengan guru yang seminggu lalu baru masuk sebagai guru BK dan
Olahragaku itu aku merasa aneh? Apalagi saat senyum itu dilemparkan padaku, terasa
ada yang berguncang di dada? Apa ini? Namun aku hanya bisa diam karena aku malu
bila curhat keteman-teman tentang apa yang aku rasakan.
Sampai pada satu sore, saat itu
aku pulang terlambat karena harus mengikuti rapat OSIS dahulu, maklumlah aku di
organisasi tersebut punya jabatan menjadi Waketu (Wakil Ketua) jadi aku harus
aktif di organisasi tersebut. Akibat dari pulang telat, aku udah ditinggal sama
Siska, so alamat pulang pakai jasa ojek deh. Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB,
tapi aku belum nemuin ojek, saat lagi bingung-bingungnya, entah ada angin apa
yang membawa Pak Edwin mau memberi tumpangan padaku.
“Melia kan? Kok belum pulang,” ucapnya
mengagetkanku.
“Eh Pak Edwin, i..iya pak saya
nunggu ojek lewat, tapi dari tadi enggak ada. padahal udah hampir 1 jam
nungguin,” jawabku sedikit gugup.
“Yaudah, saya antar ya. Nanti kamu
tunjukin ya arah rumah kamu,” sahutnya.
Serrrrr darahku seakan mengalir
dengan cepat, yang kurasa hanya dag dig dug derrr.. aku mau bilang apa? Nolak
ya sayang banget, kalo mau yaa, mau banget lah J akhirnya ku terima tawaran Pak
Edwin yang tak diduga-duga tersebut.
Saat berada diatas motor bersama Pak
Edwin, entah mengapa mulutku susah sekali dibuka, aku hanya merunduk dan
berharap lekas sampai. Tanganku serasa seperti batu es, dingin banget. Tubuhku
entah mengapa sedari tadi bergetar tak karuan. Kenapa ini? Apa aku mau sakit?
aku hanya diam.
Sampai satu ucapan Pak Edwin
mengagetkanku.“Kamu kenapa diam saja? Kamu sakit?” ucapnya pelan.
“Engg enggak pakk, saya enggak
kenapa-kenapa. Cuman saya lagi kedinginan saja” jawabku terbata-bata.
Entah apa lagi ini, aku kaget
banget saat Pak Edwin tiba-tiba meminggirkan motornya dan dengan sigap mencopot
jaket yang ia kenakan dan memberikannya padaku. “Pakailah, supaya kamu enggak
kedinginan,” ucapnya.
“Enggak usah pak, saya gapapa kok,”sahutku
sambil tetap menundukkan kepala.
“Udah pakek aja, bapak enggak bakal
kedinginan, atau kamu mau bapak turunkan disini?”Ancamnya.
Tanpa pikir panjang, ku kenakan
saja jaket kulit berwarna hitam dengan sentuhan warna putih di bagian-bagian
tertentu tersebut.“Terimakasih pak,” ucapku dengan melempar senyum namun masih
dengan menundukkan kepala.
Beberapa menit kemudian, sampailah
kita pada tujuan.“Ini rumah kamu? Cepat masuk sana, katanya kamu kedinginan,” ucap
Pak Edwin.
“Ini jaketnya pak, terimakasih
sudah mau mengantar saya,” timpalku lembut.
“Iya, sama-sama,” jawabnya.
“Pulang telat lagi ya kalo bisa,”
Tambahnya lirih dan terdengar samar-samar.
Apa maksudnya?“Apa pak?” Tanyaku
penasaran.
“Nggak ada, bapak pulang dulu ya.
Assalamu’alaikum” Tanpa menunggu jawabanku dia pun melesat dengan
cepat.“Wa’alaikum salam J” Jawabku sembari berlari masuk kedalam rumah.
Semenjak saat itu, aku jadi lebih
akrab dengan Pak Edwin. Aku juga sering diantar pulang saat aku pulangnya
kesorean atau udah ditinggal sama Siska. Entah mengapa Pak Edwin selalu
memotivasiku untuk menjadi lebih baik. Semenjak aku mengenalnya, dan lebih
dekat dengannya, aku jadi lebih memperhatikan penampilan, aku sekarang lebih
rajin olah raga, lebih menjaga asupan gizi yang ku makan dan lebih
memperhatikan fashion. Entah kenapa? Sampai akhirnya berat badanku sedikit
susut dan kulitku tampak memutih itu sih yang dibilang sama teman-teman.
Sekarang tiada lagi yang memanggilku buntelan, penggorengan atau apalah.
Prestasiku juga meningkat pesat, awalnya nilai-nilai ulanganku selalu kurang
bagus. Tapi karena semangat dan dorongan darinya aku jadi lebih giat dalam
belajar. Dan akhirnya aku mendapat peringkat kedua di semester ganjil ini.
Selain itu aku sekarang juga diangkat menjadi Gitapati di grup Drumband
sekolah, mungkin karena perubahan tubuhku yang drastis dalam jangka waktu 6
bulan ini. Masih banyak perubahan yang aku rasakan dari perkenalanku dengan Pak
Edwin, mengikuti kontes bernyanyi hingga mendapat juara 1 pun pernah. Itu
karena Pak Edwin tak henti-hentinya memuji dan menyemangatiku ketika aku sedang
melakukan hobiku itu. Aku bersyukur bisa mengenal sosok Pak Edwin.
Sampai 6bulan saat kita sudah
saling kenal dan dekat,untuk pertama kalinya Pak Edwin memberikan aku dua
lembar kertas dilipat rapi dan diberi pita warna biru kesukaanku sebagai
pengikatnya yang ia selipkan diantara buku LKS Penjaskes milikku yang telah
selesai ia nilai. Sampainya dirumah, aku segera masuk dan megunci kamar. Dengan
tubuh yang bergetar hebat, aku mulai membaca isi surat tersebut.
“Assalamu’alaikum Adik Melia.
Yang pertama, saya mau meminta
maaf kepada adik kerena sudah tidak sopan seperti ini, lancang memberikan adik
sepucuk surat ini lewat buku yang adik kumpulkan seminggu lalu. Namun saya
ingin dan harus menyampaikan suatu hal yang tidak bisa dan tidak kuasa saya
ungkapkan secara langsung kepada adik.
Oh iya dik, sebenarnya saya kurang
suka adik panggil saya dengan sebutan Bapak, karena saya masih 23 tahun, lagian
saya kan nggak tua-tua amat kan untuk dipanggil mas oleh adik. Maafkan saya
lancang memanggil kamu dengan sebutan adik disini. Panggil saya mas bila diluar
pelajaran atau jam sekolah.
Dik, ada hal yang harus adik tahu.
Saya suka dengan adik, saya menyukai adik sebelum adik menjadi seperti ini.
Dulu lebih tepatnya setahun lalu sebelum saya menjadi guru disini, saya adalah
mahasiswa di Universitas dekat dengan sekolah ini. Sampai akhirnya saya tahu
tentang adik. Satu tahun saya mencari tahu tentang adik.
Enggak usah tanya bagaimana saya
mengetahui adik, nasi goreng, jus melon, Avril Lavigne, Innocence, Mimpi yang
sempurna, Cinta dalam Hati, Unfaithful, Biru, dan semua kesukaan adik, saya
tahu semuanya. Entah magnet apa yang menarikku untuk lebih mengenal adik.
Sampai akhirnya saya melamar menjadi guru di sekolah adik. Adiklah motivasi
saya, sebelum mengenal adik , saya orangnya pemalas. Tapi entah mengapa setelah
mengetahui tentang adik semangat saya terbakar sampai akhirnya saya bisa lulus
dari Universitas saya dan menjadi guru di sini.
Pasti adik kaget, mangkanya saat
pertama kali adik tahu saya, ingat saat adik tertabrak seorang laki-laki
berpakaian guru 5 bulan 1 minggu yang lalu, awal saya bekerja disini. Itu
memang saya sengaja, agar adik melihat keberadaan saya. Dan saya senang saat
mendapat senyum adik untuk pertamakalinya.
Pasti sekarang adik
bertanya-tanya, apa yang saya suka dari adik? Dan akan saya jawab. Apa yang
saya suka dari adik, pertama, adik orangnya gigih, adik tak pernah mengeluh
dalam hal apapun sekalipun itu merugikan bagi adik, kedua adik orangnya pantang
menyerah. Terlihat pada usaha adik dalam membangun OSIS di sekolah adik.
Ketiga, adik orangnya tegar dan PD, saya tahu gimana rasanya di kucilkan, di
hina dan di hujat karena fisik kita buruk dimata orang lain, tapi adik dengan
ikhlas dan sabarnya hanya membalas mereka dengan senyuman. Dan masih banyak
yang saya suka dari adik.
Adik, saya tidak menuntut adik
harus membalas rasa yang saya miliki tapi saya hanya ingin terus berada dekat
di sisi adik. Saya hanya tak ingin jauh dari adik. Sekalipun adik tidak dapat
saya miliki. Maafkan saya bila ada kata-kata yang menyinggung perasaan adik.
Dari sini saya cukupkan isi surat ini. Tidak usah dibalas surat ini.
Wassalamu’alaikum Adik Melia
Salam
Sayang
Edwin”
Aku seakan melayang, kuhempaskan
tubuhku keatas ranjang, aku hanya diam dan tak percaya dengan isi surat
tersebut. Isi surat itu membuatku tak lapar, bahkan aku tak menyentuh makan
siang dan makan malamku. Aku hanya duduk di balkon kamarku dan terus membaca
isi surat tersebut. Apa ini? Aku masih tak percaya.
Sampai pada keesokan harinya
dimana aku ingin menceritakan ini semua kepada kelima sahabatku, namun alangkah
terkejutnya aku saat mendengar pernyataan Lisa pagi itu.
“Guys aku pengen cerita nih ke
kalian,” ucapku bersemangat pagi itu.
“Gak mau, aku dulu, dengerin ya,
guys. Aku pengen jujur sama kalian dan aku mau minta pendapat sama kalian. To
the point aja yah. Aku.... sukaa samaaa...... guru olahraga kitaaa JPak Edwin,” ucap Lisa dengan
menggebu-gebu.
Glek, rasanya ada yang patah dalam
diri ku, pupus sudah harapanku untuk menjadi nyonya Edwin, aku ga mungkin
nyakitin sahabatku sendiri. Seketika wajahku berubah menjadi pucat pasi,
tubuhku serasa kaku dan mengeluarkan keringat dingin. Aku hanya diam dalam
sesaat.
“Mell, Meliiaaaa!” Panggil Lisa
yang sontak mengagetkanku.
“Mel, kamu kenapa?” Ucap Netta
yang kaget melihat muka ku yang memucat.
“Kamu sakit ya Mel? Oh iya,
katanya kamu juga mau cerita? Cerita apa?” Timpal Putri.
“Enggak kok, nggak jadi. Aku gapapa.
Oh iya lanjutin donk cerita kamu Lis,” jawabku melemah namun masih menyelipkan
senyum pada ucapanku.
“Aku lanjutin ya, aku suka sama
dia nih, Mel kamu kan yang deket tuh sama dia, tolong donk bantuin aku supaya
jadi sama dia” Ucapnya memanja.
“Iya nanti ku bantu” Jawabku
singkat
Bel berbunyi, Pak Edwin pun
memasuki ruang kelas ku karena memang pagi itu ada jadwal Pak Edwin di jam
Pertama. Aku yang semula duduk di bangku temanku langsung beranjak, namun saat
kucoba berdiri aku tak kuasa menopang tubuhku sendiri, mataku terasa berat,
kepalaku pusing sekali, akhirnya aku pun tak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian aku membuka
mataku kembali.
“Kamu sudah siuman dik? Kamu tak
apa? Kamu mau diambilkan apa? Masih pusing? Atau apa?” Ucap Pak Edwin yang nampaknya
sangat mengkhawatirkanku.“Saya tidak apa-apa, dimana teman-teman saya?” Jawabku
dengan nada lemah.
“Teman-teman kamu ada diluar,
mereka mencemaskan kamu, kamu kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanyanya masih
khawatir.
“Tidak apa pak,” jawabku singkat.
Aku masih terdiam, aku masih
terfikirkan kalimat Lisa tadi, apa benar dia menyukai Pak Edwin? Kalo benar,
apa aku tega menyakiti hatinya hanya untuk kebahagiaanku? Ku lirik Pak Edwin
yang terlihat cemas menungguiku di sudut UKS. Dengan usahaku, aku mencoba
bangun dari tidurku. Pak Edwin yang mengetahui kesusahanku, dia dengan sigap membantuku
untuk duduk. Dia melempar senyum padaku. “Bapak bawa Bulpoint enggak sama
kertas,” ucapku lirih
“Ada, nih. Untuk apa?” Jawabnya
sembari mengulurkan secarik kertas dan bulpointnya.
Aku hanya diam dan mengambil
kertas berserta bulpoin yang ia julurkan dan menuliskan suatu alamat yang harus
ia datangi. Aku berikan kertas itu padanya, dan aku memintanya agar membawaku
ke teman-temanku.
Malam harinya, karena aku tidak
diperbolehkan keluar malam karena badanku yang kurang fit, aku mengajak putri
untuk ikut denganku menemui Pak Edwin, sebelumnya aku menyuruh Putri agar bisa
menjaga rahasia ini.
Sesampainya di taman, aku dan
putri langsung menghampiri Pak Edwin, malam itu dia terlihat tampan sekali
dengan menggunakan kemeja biru laut dengan celana kain khas guru, dia mungkin
tidak terlihat seperti guru, namun seperti artis Thailand.
“Busyeettt, nih guru cakep amat
ya, kamu mau ngapain ketemu dia?” Bisik Putri terkagum-kagum saat bertemu Pak
Edwin.“Udah , diem, kamu udah janji kan tadi” Sahutku
“Assalamu’alaikum, ada apa adik
menyuruh saya kesini?” Tanyanya dengan nada sopan.
“Wa’alaikum salam. Pak , kita
harus membicarakan sesuatu, maaf saya mengajak teman saya, karena saya tidak di
perbolehkan keluar sendirian.” Ucapku terputus.
“Saya tidak bisa menjadi bagian
dari hidup bapak, saya tidak bisa menghancurkan perasaan sahabat saya pak”
Sambungku dan tak terasa mengalir lah air mataku.
“Tapi, adik juga menyukai saya
bukan? Semua usaha adik untuk terlihat seperti sekarang itu juga karena saya
bukan?” Tanyanya tak percaya.
“Saya memang suka sama bapak, tapi
saya tidak bisa menyakiti hati sahabat saya sendiri hanya untuk kebahagiaan
saya” Ucapku sesenggukan menahan tangis.
“Tapi, kamu akan lebih egois
karena kamu akan menyakiti dua hati sekaligus Melia. Hatiku dan hati kamu
sendiri!”Jawabnya tegas.
“Mel, kamu gila ya, Pak Edwinitu serius
loh. Apa kamu tega buat nolak dia? Kamu harus tahu kalau sebenarnya Pak Edwin
ini adalah anak dari kakak Ibuku, maaf sebelumnya, aku tak bermaksud menengahi
urusan kalian,dan maafkan aku, maaf Mel, aku enggak pernah bilang siapa dia
sebenarnya. Karena dia sendiri yang meminta agar identitas dia yang sebenarnya
di rahasiakan. Tapikamu harus tahu kalau Pak Edwin selama ini selalu
memperhatikan kamu, dia berjuang keras untuk segera lulus dari Universitasnya yang
udah lebih dari 6 tahun dan segera melamar menjadi guru di sekolah kita, itu
cuma buat bisa ketemu kamu terus Mel. Dia tahu banyak hal tentang kamu tuh dari
aku! Maaf sudah lancang, tapi itu karena aku percaya sama dia kalo dia beneran
sayang sama kamu! Selain dia pengen selalu ketemu kamu, dia juga pengen mengubah
kamu seperti apa yang kamu mau. Dia ingin memotivasi kamu seperti kamu menjadi
motivasi dia Melia....” Kata Putri yang mulai angkat bicara karena dari tadi
hanya terbengong-bengong.
“Beneran Put? Tapi meski begitu
biarkan sajalah, pak, kalau bapak sayang sama Melia, bapak harus melakukan satu
hal yang bisa buat Melia percaya sama bapak!” jawabku dengan suara yang sudah
semakin serak karena sedang menangis juga.
“Apapun akan saya lakukan agar
Adik percaya kalau saya benar-benar tulus dengan adik!” Jawabnya dengan tegas.
“Jadikanlah Lisa sebagai kekasih,
cintai dia dengan tulus pak. Saya tak mau menyakiti kebahagiaan dia. Karena
saya tahu kebahagiaan dia hanya bersama bapak” ucapku dengan jelas.
“Kamu memang sungguh baik hati
Melia. Baiklah kalau itu mau kamu, saya akan menjadikan Lisa sebagai kekasih
saya. Itu tanda kalau saya sangat mencintai kamu. Dan ingat, saya akan tetap
dan selalu mencintai kamu Melia. Aku harap kamu pun begitu.” Jawabnya dengan
rasa kepasrahan.
Akupun berlalu meninggalkan dia,
kutarik tangan Putri dan sesegera mungkin mengajak dia pulang
Dalam perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya bercerita panjang
lebar kepada Putri. Dan dia satu-satunya sahabatku yang mengetahui ini semua
dan ku paksa berjanji agar tidak menceritakan pada siapapun.
Keesokan harinya.
Aku langsung mendengar kabar bahwa
Lisa dan Pak Edwin jadian. Aku hanya tersenyum kecil dan berpura-pura ikut
bahagia dengan kabar tersebut. Aku terus menyembunyikan semua yang telah
terjadi di belakang Lisa.
Tak terasa hampir satu tahun sudah
Lisa dan Pak Edwin menjalin hubungan, dan akupun menginjak kelas XII. Sudah
beranjak dewasa juga kita, Pak Edwin memang sosok yang setia, namun tetap saja,
disetiap ada kesempatan, aku sering kali menemukan Pak Edwin sedang
memperhatikanku. Hanya saja aku tidak pernah mencoba menggubris sikap Pak Edwin
tersebut, agar Lisa tidak curiga dengan apa yang pernah terjadi. Semua rahasia
tertutup rapat sampai saat itu.
Namunpada suatu hari karena kecerobohanku.
Buku Diary ku tertinggal dikelas dan saat itu dikelas hanya tinggal Lisa dan
Putri, mereka berniat mengembalikan itu pada ku, namun pada saat buku itu
diambil, ada kertas-kertas yang jatuh. Ternyata itu adalah surat yang diberikan
Pak Edwin satu setengah tahun lalu.
Lisa membaca isi surat tersebut
dan isi buku Diaryku. Sore harinya dia datang kerumahku dengan mata sembab.
Entah apa yang terjadi, dia memelukku erat dalam bilikku.
“Kamu kenapa? Apa Pak Edwin
nyakitin kamu?” Tanyaku penuh rasa penasaran dan khawatir.
“Kamu jahat, kenapa kamu
merahasiakan ini semua?” Sembari memberikan buku diaryku.
“Jadi kamu ....” Jawabku
terputus.“Kamu kenapa bohong seperti ini padaku? aku sayang kamu, kalau aku tau
kalian sama-sama suka, aku nggak mungkin tega jadi jarak diantara kalian,” ucapnya
sambil memelukku erat.
“Maafkan aku, aku hanya nggak mau
kamu tersakiti Lisa” jawabku dengan nada lemah.
“Udah-udah, nangisnya udah,
sekarang kamu ikut aku,” ucapnya langsung menarikku menuju mobilnya. Dengan
secepat kilat dia membawa mobilnya menuju stasiun.
“Mau dibawa kemana aku?” Tanyaku
penasaran.
“Pak Edwin mau pulang, dan dia
enggak akan kembali lagi,” jawab Lisa dengan nada yang sangat meyakinkan.
Tigapuluh menit berlalu, akhirnya
kita sampai di stasiun itu. Untung saja tidak meleset dari jam pemberangkatan Pak
Edwin, aku berlari sekuat tenaga untuk menemui dia. Aku hendakberucap kalau aku
juga mencintai dia. Dan akhirnya ku temukan dia, ku pegang erat tangannya dan
berkata...“Mas, aku mencintai kamu mas, maafkan aku tak pernah bisa
membahagiakan mas selama ini. Maafkan aku yang telah meragukan mas. Mas tahu
kan kenapa? Mas saya mohon jangan pergi Mas, saya mau Mas disini. Menemani
saya. Saya mohon Mas” ucapku sambil memegang tangannya erat seakan tidak mau
melepaskannya lagi.
“Melia, saya juga masih mencintai
kamu, lama sekali saya menunggu kata-kata yang seperti ini dari bibir kamu,
saya merindukan kamu. Saya juga senang sekali akhirnya kamu bisa memanggil saya
dengan sebutan Mas bukan Bapak. Saya mencintai kamu” Ucapnya dengan nada
yang terdengar bahagia.
“Udah jadian aja, toh kalian
serasi kok J” Ucap Lisa yang sontak membuat Pak Edwin kaget.
“Kamu Lisa, kamu disini juga? Jadi
kamu yang memberi tahu kalau hari ini saya mau pulang untuk menjenguk nenek
saya yang sedang sakit?” Ucap Pak Edwin.
“Jadi, Pak Edwin pulang untuk
jenguk neneknya? Bukan untuk pulang dan nggak kembali?” Tanyaku masih
diselimuti rasa penasaran.
“Iya lah, emang kamu di bilangi
apa sama Lisa? Ha? jangan percaya kamu sama dia :D” Jawabnya disusul tawa Lisa.
“Lisa kamu .. ihhhh jahat iiihhh”
Ucapku sambil mencubit pipi Lisa.
“Tapi seneng kan, ciyee yang baru
jadian ciyee,” ejek Lisa yang membuat pipi ku memerah.
Akhirnya aku dan Pak Edwin
menjalin hubungan, namun tetap hubungan ku dengan dia, kujadikan motivasi agar
aku bisa menjadi lebih baik kedepannya. Sampai akhirnya aku lulus dari sekolah
MA itu, sekolah yang telah menjadi sejarah transformasiku, dari Melia yang dulu
hingga Melia yang telah banyak mengukir prestasi seperti sekarang. Aku lulus
dengan predikat nomor 2 di sekolah. Itu menjadi hal ajaib yang tidak terduga
sama sekali.
Selepasku lulus dari sekolah itu
aku diberikan kejutan oleh Pak Edwin. Dia melamarku tepat di hari ulang tahunku
yang kebetulan jatuh di hari Haflah Akhirussannah (Perpisahan). Aku menerimanya
namun dengan syarat, dia harus menungguku hingga aku menyelesaikan studiku di
Universitas dia dulu. Dan diapun mengangguk tanda setuju. Dialah Motivator dan
Motivasiku, dialah saudara dan temanku, dia kekasih dan cintaku. Itulah aku
dengan cintaku, terlalu banyak akan rintangan dan pengorbanan, namun
pengorbanan yang akhirnya merangkai kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak pernah
terimpikan. Sebelumnya... J
Cinta memang tak ada
habisnya untuk diceritakan. Dalam kisah ini dikisahkan perjuangan serta
pengorbanan untuk menggapai cinta. Jalan cerita sudah disampaikan dengan cukup
bagus. Akan tetapi, konflik yang dihadirkan masih terlalu umum. Terus berlatih
untuk menemukan konflik-konflik yang menarik dari karya penulis ternama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar