Oleh: Harirotul Mahmudiyah
Pagi yang begitu cerah menuntunku
berangkat menuju salah satu sekolah unggulan di kawasan ma’had
ternama di Mojokerto. Matahari seakan malu menampakkan wajahnya yang begitu
elok, seakan menemani setiap langkah kakiku, menuju tiap koridor
madrasah hingga sampai di kelas kesayanganku “ELSCIENCE” alias Eleven Science
One.
“Assalamu’alaikum ya Ukhti,
apa kabar hari ini? Sudah makan, sudah sholat Subuh?” Tanyaku kepada salah satu
sahabat terbaikku, Ane.
“Wa’alaikumsalam Ukhti. Alhamdulillah
bikhoir. Kalau tanya yang namanya sholat ya jelas sudah dong, dari tuadi
malahan, kalau nggak sholat penthungnya
Ustadzah Zahro siap menyabet tubuh ini, takzirpun pasti
tak bisa kuhindari. Kalau makan, belum waktunya, thoburan
dapur itu nanti pulang sekolah, ini tadi cuma makan sepotong roti.” Jawabnya.
“Iya iya. Eh sekarang hari apa ya? Kok
tiba-tiba aku jadi amnesia gini?”
“MasyaAllah, sekarang hari Kamis,
memangnya kenapa?”
“Eh hari Kamis ya Ukhti? Berarti nanti
malam satnight dong? Alhamdulillah.”
“Satnight
satnight, malam Jum’at tau, bukan malam minggu!”
“Jangan sewot gitu dong Ukh,
satnightnya anak ma’had kan Kamis tho Ukhti? Hihihi.”
***
Terik matahari tak menyurutkan
semangatku untuk kembali ke asrama damaiku. Selain semangat buat thoburan
dapur, juga semangat melewati tembok samping asramaku. Tak ada yang istimewa
memang dengan tembok itu, namun dari lubang kecil akibat tembok samping
asramaku yang mulai menunjukkan reaksinya akibat penuaan itu semangatku bisa
jadi kembali full bagai habis dicharge sehari penuh. Dari tembok itu, hampir
tiga tahun belakangan ini kurajut mimpiku, kurajut asaku, kurajut cita-cita dan
harapanku, kurajut pula cintaku. Kulihat sepucuk surat nampak belum lama tiba
di lubang itu. Alhamdulillah, kutolong sepucuk surat itu dari lumut yang mulai
mengering itu. Ku berlari menuju asrama, kuhempaskan tubuhku keatas kasur.
Kupeluk, kucium surat itu. Harum, haruuuuuuuuum sekali.
Habibati Najwa tersayang
Assalamu’alaikum Ukhti
yang baik, semoga dikau diseberang sana senantiasa dalam lindungan-Nya. Ukhti,
afwan baru balas surat Ukhti minggu lalu. Ana disini Alhamdulillah bikhoir.
Semangat buat praktek mengajarnya ya? Jangan garang-garang kalau mengajar,
dekati muridnya, ambil hatinya, baru sampaikan apa yang harus Ukhti sampaikan.
Do’akan ana juga ya Ukhti, Sabtu besok ana juga praktek lapangan. Afwan, ana
cuma bisa menyemangati Ukhti dalam balutan do’a, tak lebih dari itu. Semangat
ya habibati. Sure you can do! Wassalamu’alaikum Ukhti.
Akhi
Zain Al-Khariri
Benar, semangatku kembali membara saat
itu juga. Asramaku memang tak jauh dari asrama Akhi Zain, hanya berbataskan
tembok tua itu, namun, namanya juga ma’had, jelas dibatasi. Bertemu dengan
lelaki sekedar menyampaikan tugas saja tak diperbolehkan, boleh sih, tapi harus
siap menanggung malu akibat takzir yang tak biasa. Siap berdiri ditengah
lapangan dengan pakaian yang full colour, juga membayar Rp. 1.000.000 untuk
pembangunan ma’had, khusus untuk putra putri yayasan seperti Akhi Zain,
takzirnya jauh lebih berat, siap dikeluarkan dari ma’had, itulah takzirnya.
Makanya, pantang untuk aku dan Akhi Zain bertemu.
Tanganku seakan menari diatas buku
tulis itu dengan lagu syahdu khas anak ma’had. Tanganku berlenggak lenggok
mengikuti garis buku tulisku. Kutuangkan segala rasaku, segala isi hatiku.
Habibi Zain terkasih
Assalamu’alaikum ya Akhi.
Balasan untuk surat Akhi, ada hal lain yang ingin ana sampaikan. Sudah hampir 3
tahun hubungan ini kita jalani. Saling memberikan semangat, motivasi, dan jujur
ana semakin mengagumi Akhi. Ana tahu sebenarnya ana tak pantas mempunyai rasa
ini. Ana tahu, kalau Akhi juga menyayangi ana. Ana tahu siapa diri ana. Ana
juga tahu Akhi adalah cucu dari Kyai Dahlan, pengasuh ma’had ini. Ana takut
kalau hubungan ini hanya akan membuat Akhi tak fokus dengan study Akhi. Seperti
yang ana dengar akhir-akhir ini, setelah lulus Madrasah Aliyah ini Akhi akan
pergi study ke Kairo, Mesir bersama salah satu putri Kyai dari Jombang. Ana
terpukul mendengar itu Khi. Ana memang tak sepatutnya merasa terpukul seperti
itu, seharusnya ana bahagia mendengar berita gembira itu. Namun, yang membuat
ana khawatir adalah mengenai hubungan kita Akhi, apalagi ada yang mengatakan,
kelak Akhi juga akan dijodohkan dan dinikahkan dengan putri Kyai itu. Kalau
memang benar begitu, ana akan mencoba memahami dan tak banyak berharap kepada
Akhi. Mengenai apa yang pernah Akhi katakana dulu, “Semangat menuju Universitas
impianmu, 1 tahun lagi Ukhti, kalau dikau sudah lulus S1, kan kujemput dikau
dengan cinta dan kasihku karena-Nya.” Ingatkah Akhi dengan ucapan Akhi itu?
Apakah itu hanya sekedar ucapan tanpa makna? Kalau tho akhirnya Akhi akan
meninggalkan ana di Indonesia. Memang, sekarang saja kita masih disibukkan
dengan Ujian praktek, sebentar lagi UNAS dan baru akan melanjutkan study di
Universitas pilihan kita masing-masing, namun kepastian itu juga perlu Khi. Apa
yang harus ana lakukan Akhi? Apa ana harus melupakan Akhi? Apa juga yang harus
Akhi lakukan untuk ana? Afwan, ana terlalu banyak bicara, namun ana butuh yang
namanya kepastian supaya ana bisa sedikit bernafas lega. Ana bertanya banyak
hal ini untuk kebaikan kita bersama. Supaya tak ada kesalah pahaman antara kita
berdua. Sekali lagi afwan Akhi. Do’aku selalu menyertaimu ya habibi..
Wassalamu’alaikum Akhi.
Ukhti
Najwa Az-Zahra
Tak kurasa tanganku yang awalnya
menari dengan riangnya mengikuti garis buku tulisku berubah menjadi lunglai
bersama dengan kucuran air mata yang mengalir dipipiku. Aku tak kuat, apa yang
harus aku lakukan? Kenapa juga aku ingat kata-kata itu? Kata-kata yang
membuatku khawatir, tak tenang seperti tadi sebelum kuterima surat dari Akhi
itu. YaRobb, kuserahkan segala keluh kesahku kepada-Mu, ku hanya mengharap
ridho-Mu. Karena hanya Engkau sebaik-baik penenang hidup umat manusia dan
karena ridho-Mu pula ketenangan itu kurasa.
“Afwan Ukhti cantik.” Sapa salah
seorang di belakangku.
“MasyaAllah, ada apa Ukhti? Ukhti
mengagetkanku saja.” Jawabku sambil mengusap pipiku yang basah akibat hujan
dadakan dari pelupuk mataku.
“Eh, kenapa Ukhti cantik? Habis nangis
ya? Itu loh dari tadi dipanggil sama Mbak Salamah ndak dengar tho? Waktunya
makan sudah dari tadi. Tinggal Ukhti saja lho yang belum makan.” Tutur Ane.
Maklum lah di tengah perjalanan pulang sekolah tadi Ane sudah menceritakan
musababnya kenapa dia tampak lesu waktu di kelas makanya ia sekarang sudah
terlihat lebih baik padaku.
“Eng… Enggak kok. Aku nggak nangis,
cuma kena debu tadi loh Ukh. Lho, tinggal aku saja tho yang belum makan?
Padahal masakannya Mbak Salamah sudah kutunggu dari tadi loh. Aku makan dulu ya
Ukh, cacingnya sudah mulai menggerutu nih.” Ucapku sambil membereskan surat
yang barusan kutulis lalu bergegas menuju dapur asrama.
***
Suara kokokan ayam baru terdengar,
namun aku sudah lebih awal bangun daripada bangunnya ayam yang berkokok itu.
Setelah sholat qiyamul lail, sebelum sholat Subuh, ku bergegas menuju tembok
samping asramaku, tak lain untuk meletakkan sepucuk suratku itu. Berharap Akhi
Zain segera mengambil surat itu nanti pagi, karena hari ini hari libur pasti
banyak santri yang berlalu lalang melewati tembok itu.
“Semoga tak ada yang mengetahuinya.
Sebab kalau tahu, ah tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya.” Ucapku dalam
hati.
***
Siang harinya kudengar riuhnya asrama
sebelah.
“Sudah, keluarkan saja dia! Masak main
sahwat sama santri putri? Pakai surat lagi! Sudah, keluarkan saja!”
“Tak usah dikasih ampun, dasar tak
tahu malu!”
“Apa kamu, cucu Kyai Dahlan tak tahu
diri! Mempermalukan kami kaum Adam saja!”
Mendengar kata-kata terakhir itu,
boom, rasanya diri ini terhempas sejatuh-jatuhnya ke tanah.
“Surat? Cucu Kyai Dahlan? Asrama
sebelah? Akhi Zain, iya Akhi Zain. Kenapa dengan ia? Apa yang sudah ia lakukan?
Kenapa sampai segitu marahnya Akhi-Akhi lainnya pada Akhi Zain?” Pertanyaan
besar itu terngiang di pikiranku. Hingga akhirnya seluruh santriwan santriwati
dikumpulkan ditengah lapangan.
Perasaanku tak karuan. Berharap semoga
bukan Akhi Zain yang akan digelandang ketengah lapangan. Tapi apa salah Akhi
Zain kalau memang benar Akhi Zain yang tadi dihakimi?
“Assalamu’alaikum para santriwan
santriwati PonPes Al-Munawwir yang selalu kami banggakan. Maaf apabila kami,
perwakilan dari Ketua Keamanan dan Ketertiban PonPes Al-Munawwir mengganggu sedikit aktivitas kalian semua.
Ada hal yang begitu penting yang ingin kami sampaikan. Dalam hal ini akan
langsung disampaikan oleh pengasuh PonPes kita, Bpk Kyai H. Dahlan Al-Munawwir,
kepada beliau kami persilakan.” Ucap perwakilan dari Ketua Keamanan dan
Ketertiban melalui speaker kebesaran PonPes yang membuat aku sesekali mengusap
tetesan air mata yang tak sengaja jatuh dari pelupuk mataku.
“Harus Kyai!”
“Bagus Kyai!”
“Memang itu sudah ketentuan bagi
keluarga dari pihak yayasan kalau melanggar peraturan, apalagi cucunya Kyai!”
MasyaAllah, mendengar sorak sorai
santriwan itu membuatku menangis sejadi-jadinya, aku baru kali ini melihat
wajah Akhi Zain, yang terakhir kali aku lihat saat acara milad ma’had tahun
lalu, aku berlari menjauh dari kerumunan santriwati yang berkumpul menyaksikan
Akhi Zain, Akhi terbaikku berpakain full colour yang telah siap dikeluarkan dan
diterbangkan jauh dari Negeri ini. Aku tak tega melihatnya, aku tak percaya
haruskah ini terjadi padaku? Haruskah? Bagaimana dengan hubungan ini? Bagaimana
yaAllah? Aku lemas, aku lunglai, aku tak berdaya, aku tak tahu apa yang harus
aku lakukan, hingga gelap menyelimuti diriku, akupun tak kuat lagi.
***
“Ukhti? Ukhti? Ukhti bangun Ukhti! Ini
Ane, ini Ane!”
Terdengar cukup jauh suara itu.
Perlahan kubuka mata. Aku tersadar, aku segera memeluk erat tubuh Ane
sahabatku. Kuungkapkan segala rasa yang tengah menyelimuti diri ini melalui
kucuran air mata yang seakan tak akan pernah bisa kering ini. Aku mencoba
tenang, namun aku tak bisa. Aku kehilangan belahan jiwaku. MasyaAllah, sakit
yaAllah, sakit.
“Ukhti Najwa yang punya Allah, yang
beriman pada rukun imannya Allah, Ukhti adalah wanita kuat. Ukhti yang ana
kenal begitu tegar ketika dapat banyak masalah. Ukhti jangan bersedih.” Ucap
Ane yang mulai ikut menangis seakan merasakan apa yang tengah aku rasakan.
“Ukhti, ana memang punya Allah, ana
beriman pada rukun imannya Allah, ana masih bisa kuat ketika ana mendapat
masalah yang bisa membuat ana memeras otak untuk berfikir sebagai pemecahan masalah-masalah
ana tempo hari. Ana juga masih bisa kuat ketika ana mendapat masalah yang bisa
membuat ana memeras keringat, tenaga ana sebagai bentuk pembelaan diri ana akan
masalah yang sedang ana hadapi hari-hari lalu. Tapi sekarang sudah berbeda
Ukhti. Ini tak cukup hanya dengan berfikir memeras otak, memeras keringat dan
tenaga untuk menyelesaikannya. Ini masalah jiwa ana Ukhti, ini masalah hati
ana, ini masalah diri ana lahir dan bathin Ukhti. Ini sangat berbeda Ukhti tahu
itu.” Tegasku runtut.
“Iya Ukhti ana tahu tapi…”
“Afwan Ukhti, apa Ukhti yang tengah
duduk diatas kasur itu bernama Ukhti Najwa Az-Zahra?” Tanya salah seorang
dibibir pintu yang memutus ucapan Ane.
“Na’am, ana Najwa Ukhti. Ada perlu apa
Ukhti mencari ana? Siapa Ukhti?”
“Ana tukang masak ndalem. Afwan Ukhti
dipanggil ke ndalem oleh Kyai Dahlan, sekarang juga.”
MasyaAllah, ada apa lagi ini? Apa yang
akan Kyai bicarakan bersamaku? Ya Allah, sesungguh-Nya hanya kepada-Mu lah kami
kembali. Kuserahkan segalanya pada-Mu yaRobb.
“Baik Ukhti saya akan kesana.”
“Ukhti, baik-baik ya? Apa perlu ana
antarkan sampai gerbang depan saja? Ana mengkhawatirkanmu Ukhti.” Tawar Ane
cemas.
“Tak usah, aku bisa berangkat sendiri
Ukhti. Do’akan ana saja.” Ucapku.
***
“Sudahlah Zain, kau tak perlu seperti
ini. Akung memang tak pernah mengajarkanmu hal semacam ini. Akung memang sangat
kecewa padamu, sangat-sangat kecewa padamu. Akung terpaksa mengirimmu secepat
ini ke Kairo, tak bisa ditunda lagi, sebelum kawan-kawan kau di asrama
memberontak lagi. Kau memang mengecewakan mereka juga Zain, sangat
mengecewakan.” Kudengarkan ucapan Kyai dari balik jendela ndalem.
“Tapi Akung, apakah harus saat ini
juga Zain dikirim ke Kairo? Zain belum menyelesaikan tugas Zain disini Akung.”
“Harus, tugasmu disini sudah selesai.
Tak ada yang perlu diteruskan lagi.”
Kukuatkan diri ini menghadapi Kyai.
Apapun yang terjadi, semua atas kehendak Allah.
“Assalamu’alaikum.” Ucapku.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Akhi Zain
juga Kyai sekaligus menoleh padaku.
MasyaAllah, ini Akhi Zainku, ini
penyemangatku selama ini. MasyaAllah begitu gagahnya ia, begitu tampannya ia
duh Gusti.
“Afwan Kyai, ada perlu apa Kyai
memanggil Najwa kemari?” Tanyaku membuka perbincangan.
“Begini Najwa, saya juga termasuk
orang yang kecewa terhadap perilakumu. Saya tak menyangka kamu yang dibilang
Ustadz Ustadzahmu santriwati paling jenius dan paling cantik di ma’had ini
ternyata salah satu santriwati yang berani melanggar peraturan. Untungnya kamu
bukanlah salah satu putri dari staff yayasan, jadi engkau hanya kami takzir uang
Rp1.000.000,- Andaikan kau salah satu putri dari staff yayasan, nasibmu tak
akan jauh beda dengan Zain. Dikeluarkan dari ma’had secara terpaksa.” Jawab
Kyai dengan mata berkaca-kaca.
“Afwan Kyai, apakah keputusan Kyai
untuk mengirim Akhi Zain ke Kairo itu tak bisa dipertimbangkan lagi. Berikan
kami kesempatan untuk berbicara mengenai masalah ini. Saya yang salah Kyai.
Saya yang harusnya dikeluarkan dari ma’had ini.” Kataku memaksa.
“Sudah tak bisa diotakatik lagi
mengenai pengiriman Zain, keputusan ini adalah keputusan bersama, bukan hanya
keputusan salah satu pihak. Sudah Najwa, sekarang kamu kembali ke asramamu,
lanjutkan aktivitasmu. Kau aku panggil kemari hanya untuk menyampaikan takzir
yang harus kau bayar, bukan mengenai keberangkatan Zain ke Kairo. Dan ingat,
jangan hubungi Zain kembali.” Tukas Kyai seakan ingin marah padaku.
Mendengar kata-kata Kyai yang terakhir
itu, benar saja membuat diriku terpukul sekeras-kerasnya, sesakit-sakitnya.
Kyai melarangku untuk berhubungan dengan Akhi penyemangat hidupku itu?
MasyaAllah, Kyai maupun mereka yang tadi siang menghakimi Akhi Zain itu tak
pernah mengerti apa yang kami rasakan dan kami perjuangkan selama ini. Mereka
hanya tahu bahwa kami berhubungan untuk pacaran, mengikuti hawa nafsu kami.
Salah besar! Disaat salah satu dari kami terkena masalah, tak akan salah satu
dari kami hanya diam tanpa memberi solusi. Bertukar pikiran mengenai
pelajaran-pelajaran umum serta pelajaran agama yang kami dapatkan setiap
harinya. Dulu kalau mereka tahu, aku adalah wanita paling tak mengerti mengenai
yang namanya agama, apalagi agama Islam, maklum memang orangtuaku beragama
Katolik. Tak pernah kudengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menenangkan
seperti lantunan suara Akhi Zain. Lantunan ayat-ayat suci itu masih sangat
kuingat, hingga membuat aku begitu mencintai agamaku ini. Bersama siapa aku
mempelajari agamaku? Ya bersama Akhi Zain itu kumengupas rahasia tiap inci dari
agamaku ini. Kalau saja mereka tahu ini, pasti mereka akan berpikir ulang
mengenai keputusan untuk mengeluarkan Akhi dari ma’had. Dia sudah membuat
Islamku semakin mendarah daging, dia penuntunku, dia penolongku, melalui dia
Allah memberikan hidayah padaku, ya melalui dia.
Aku berlari menuju asrama dengan
perasaan yang bercampuk aduk. Aku tak bisa membendung air mata yang terus
memaksa untuk keluar dari pelupuk mataku. Sesampai di asrama, kupeluk erat
tubuh sahabatku Ane.
“Ukhti kenapa? Ukhti kena marah Kyai?
Ukhti diapakan beliau? Ukhti disakiti? Ukhti kenapa? Ayo ceritakan Ukhti!”
“Ana tak kuat Ukhti, ana tak kuat. Ana
ingin boyong dari ma’had ini. Ana tak siap kalau harus kehilangan Akhi Zain.
MasyaAllah Ukhti, apa yang harus ana lakukan? Ana benar-benar ingin pulang,
ingin boyong sebelum Akhi Zain diterbangkan jauh ke negeri seberang. Aku tak
ingin melihat kepergian Akhi Zain Ukhti. Besok lusa Akhi Zain akan diarak ke
seluruh ma’had ini, sebelum dia berangkat menuju bandara, aku tak ingin melihat
momen itu Ukhti. Aku gila Ukhti, aku gila!” Ucapku sambil
menangis sejadi-jadinya.
***
Siang berganti sore, sore berganti
malam, malam berganti pagi, pagi berganti siang, siang berganti sore, sore
berganti malam lagi. Tak terasa malam ini adalah malam terakhir Akhi Zain
berada dikawasan PonPes Al-Munawwir tercinta ini. Bodohnya aku, masih menunggu
balasan mengenai suratku yang telah membuat semua ini harus kujalani, harus
kurasakan pahitnya. Bolak balik kulihat tembok samping asramaku, mungkin saja
tiba-tiba ada surat balasan dari Akhi terbaikku itu. Lama kumenunggu hingga aku
lelah, aku terlelap dalam gemerlap indahnya malam.
***
Pagi yang cukup cerah memang, namun
tak secerah hatiku yang berselimut mendung kedukaan. Aku bergegas melihat
tembok itu kembali, namun nihil, tak ada sepucuk suratpun
terletak dilubang kecil itu. YaAllah, mungkin memang ini jawaban atas
pertanyaanku pada Akhi tempo hari melalui suratku itu. Aku tak boleh banyak
berharap padanya, aku harus melupakannya, aku harus melupakan ucapan-ucapannya
padaku. YaAllah, aku tak bisa kalau itu yang harus aku lakukan yaAllah.
“Ukhti Najwa baik-baik saja? Hari ini
seluruh madrasah yayasan diliburkan, dikarenakan hari ini kita wajib
menyaksikan keberangkatan cucu Kyai Dahlan. Kuatkan hati Ukhti, tata hati
Ukhti, Ukhti pasti bisa melewati cobaan ini. Ana yakin itu Ukhti.” Tukas Ane
menyemangatiku.
“Terimakasih Ukhti.” Jawabku singkat,
hingga kudengar,
“Perhatian-perhatian bagi seluruh
santriwan santriwati PonPes Al-Munawwir, wajib merapat ke lapangan utama
sekarang juga!”
Seluruh santriwati bergegas menuju
lapangan utama. Kusiapkan diri ini, kusiapkan hati dan jiwa ini, iya aku harus
melupakannya. Aku tak ingin ikut berhambur bersama santriwati, aku ingin
sendiri, namun seluruh santriwan santrwatii wajib berkumpul. Baiklah,
kulangkahkan kakiku menuju lapangan utama. Berat, terasa begitu berat langkah
kaki ini, tak ingin rasanya aku melangkah.
Sesampai dilapangan, kulihat Akhi Zain
berdiri tegap ditengah lapangan, tampak siap sekali untuk berangkat.
“Andai kau tahu isi hatiku ini Khi,
pasti kau akan berjuang tetap di ma’had tercinta ini. Namun, mungkin ini yang
telah Allah gariskan untuk kita. Jujur, aku masih mengharapkan balasan suratku
itu.” Ucapku dalam hati.
Matahari sudah mulai menunjukkan
kegarangannya. Panasnya begitu menyengat kulit-kulit kami yang semakin memerah.
Kini tiba saatnya Akhiku diberangkatkan menuju bandara, menuju Negeri seberang
yang mungkin saja membuat Akhi melupakanku. Kutatap wajahnya, Akhi Zainpun
menoleh padaku sembari melemparkan senyum manisnya. Senyum yang tak akan bisa
kulihat lagi, senyum perpisahan, senyum terakhir yang aku lihat dari wajahnya.
YaAllah, pertanda apakah senyumnya itu? Masihkah ada rasa dihatinya untukku?
YaAllah, aku dilema, aku benar-benar dilema. Wajah tampan
juga tubuh tegap itu semakin menjauh dan hilang ditelan jalan raya yang membawa
ia menuju bandara. Akupun kembali ke asrama dengan tangis yang lagi-lagi tak
bisa kubendung. Kumelewati tembok samping asramaku, dimana tembok itulah yang
menjadi saksi akan indahnya hari-hariku sekaligus buruknya hari-hariku
selanjutnya. Tiba-tiba mataku tertuju pada lubang kecil itu.
“MasyaAllah, apakah itu sepucuk surat
untukku?” Ucapku pelan, menghentikan langkah kakiku dan menghampiri lubang
kecil itu.
“MasyaAllah, ini surat dari Akhi
Zainku. Kapan ia meletakkan ini? Sehari semalam hingga pagi tadi sebelum
bergegas ke lapangan utama, aku senantiasa mengawasi tembok tua serta lubang
kecil ini, namun tak ada satupun benda berada di lubang kecil ini. Apakah ini
surat perpisahan? Perpisahan terburuk yang harus aku alami? YaAllah,
sesungguhnya Engkau Maha Tahu atas segala yang tidak kami ketahui.”
Aku berlari menuju asrama. Haruuuuum
sekali. Bau yang tak akan bisa aku rasakan lagi selanjutnya. Perlahan kubuka
surat itu.
Habibati Najwa tersayang
Assalamu’alaikum Ukhti.
Semoga Ukhti selalu dalam lindungan-Nya. Ukhti, hilangkan segala keresahan
hatimu, kegundahan hatimu, kekhawatiranmu dan segala rasa yang membuatmu
kehilangan semangat serta memupuskan semua mimpi juga cita-citamu itu. Afwan
Ukhti, ana harus secepatnya meninggalkan Ukhti. Ana menyayangi Ukhti, tulus
dari lubuk hati ana. Tapi, apalah daya, ana sudah harus pergi saat ini juga.
Mengenai kekhawatiran Ukhti mengenai perjodohan ana dengan putri Kyai itu,
jangan kau dengar sayang, itu tak benar. Kami memang sudah berteman lama, namun
tak ada rasa yang berbeda saat bertemu dengannya, tak seperti rasaku saat
pertama jumpa dengan Ukhti. Ada getaran yang berbeda saat bertemu Ukhti kala
itu. Ketahuilah Ukhti, ana sedih ketika melihat air mata Ukhti jatuh saat
berada di ndalem tempo hari. Ana merasa sangat bersalah kepada Ukhti. Afwan ya
habibati, ana membuatmu menangis, ana membuat hidupmu tak nyaman, tapi ana
menyayangimu Ukhti. Mengenai larangan Akung akan hubungan kita, jangan kau
risaukan, jangan kau pikirkan berlebih. Ukhti masih ingat ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang makhluk Allah? Allah
menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Laki-laki dengan perempuan, jantan
dengan betina, semua berpasang-pasangan, dan Allah tak akan salah menjodohkan
setiap makhluknya, Allah tak akan keliru mempersatukan makhluknya. Yakinlah Ukhti,
hanya engkau yang ada dalam hati ana. Yakinlah bahwa kisah kita ini akan
bahagia pada waktunya. Afwan, ana hanya bisa mendo’akanmu dari jauh. Jarak
boleh saja membentang berkilo-kilo mil memisahkan kita, tapi jangan dengan
bathin dan do’a kita sayang. Tunggu ana kembali menjemputmu dengan cinta kasih
karena-Nya. Ingat kata-kataku ini Ukhti sayang. Ana tak akan lama Ukhti. Ana
pergi untuk kembali menjemputmu menuju kebahagiaan. Tunggu ana Ukhti sayang.
Ana mencintaimu, ana sungguh mencintaimu. Jangan biarkan air mata kesedihanmu
itu menetes lagi, jangan biarkan wajah cantikmu itu berselimut mendung
kedukaan, jangan biarkan pipi merahmu itu basah akibat air mata yang terus
mengalir dari pelupuk mata biru indahmu itu. Sekali lagi afwan ya habibati, tunggu
ana kembali menjemputmu. Wassalamu’alaikum Ukhti.
Akhi Zain
Al-Khariri
MasyaAllah, air mataku tak terasa
menetes lagi. Kali ini tetesan air mata bahagia yang kurasakan. Menghilangkan
segala kegundahan hatiku, menumbuhkan semangatku seperti saat-saat kuterima
sepucuk surat darimu minggu-minggu lalu. Aku akan menunggumu Akhi, ya, aku akan
menunggumu. Selamat jalan Akhi, semoga kau bisa menepati semua ucapanmu itu.
Aku menunggumu.
*)Siswa kelas 12-IPA MA. Al-Musthofa,
anggota IPNU Kab. Mojokerto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar