Kamis, 28 Januari 2016

Sebatas Tembok Ma’had



Oleh: Harirotul Mahmudiyah


Pagi yang begitu cerah menuntunku berangkat menuju salah satu sekolah unggulan di kawasan ma’had ternama di Mojokerto. Matahari seakan malu menampakkan wajahnya yang begitu elok, seakan menemani setiap langkah kakiku, menuju tiap koridor madrasah hingga sampai di kelas kesayanganku “ELSCIENCE” alias Eleven Science One.
“Assalamu’alaikum ya Ukhti, apa kabar hari ini? Sudah makan, sudah sholat Subuh?” Tanyaku kepada salah satu sahabat terbaikku, Ane.
“Wa’alaikumsalam Ukhti. Alhamdulillah bikhoir. Kalau tanya yang namanya sholat ya jelas sudah dong, dari tuadi malahan, kalau nggak sholat penthungnya Ustadzah Zahro siap menyabet tubuh ini, takzirpun pasti tak bisa kuhindari. Kalau makan, belum waktunya, thoburan dapur itu nanti pulang sekolah, ini tadi cuma makan sepotong roti.” Jawabnya.
“Iya iya. Eh sekarang hari apa ya? Kok tiba-tiba aku jadi amnesia gini?”
“MasyaAllah, sekarang hari Kamis, memangnya kenapa?”
“Eh hari Kamis ya Ukhti? Berarti nanti malam satnight dong? Alhamdulillah.”
Satnight satnight, malam Jum’at tau, bukan malam minggu!”
“Jangan sewot gitu dong Ukh, satnightnya anak ma’had kan Kamis tho Ukhti? Hihihi.”
Hingga bel masuk berbunyi kulihat bibir Ane masih manyun 5cm. Apa ada yang salah dengan kata-kataku tadi, ataukah ia tengah ditimpa masalah serius? Ah nanti saja kutanyakan baik-baik padanya, tak pantas bila kutanyakan saat ini juga, tho Ustadzah Hanum sudah datang.
***
Terik matahari tak menyurutkan semangatku untuk kembali ke asrama damaiku. Selain semangat buat thoburan dapur, juga semangat melewati tembok samping asramaku. Tak ada yang istimewa memang dengan tembok itu, namun dari lubang kecil akibat tembok samping asramaku yang mulai menunjukkan reaksinya akibat penuaan itu semangatku bisa jadi kembali full bagai habis dicharge sehari penuh. Dari tembok itu, hampir tiga tahun belakangan ini kurajut mimpiku, kurajut asaku, kurajut cita-cita dan harapanku, kurajut pula cintaku. Kulihat sepucuk surat nampak belum lama tiba di lubang itu. Alhamdulillah, kutolong sepucuk surat itu dari lumut yang mulai mengering itu. Ku berlari menuju asrama, kuhempaskan tubuhku keatas kasur. Kupeluk, kucium surat itu. Harum, haruuuuuuuuum sekali.
Habibati Najwa tersayang
Assalamu’alaikum Ukhti yang baik, semoga dikau diseberang sana senantiasa dalam lindungan-Nya. Ukhti, afwan baru balas surat Ukhti minggu lalu. Ana disini Alhamdulillah bikhoir. Semangat buat praktek mengajarnya ya? Jangan garang-garang kalau mengajar, dekati muridnya, ambil hatinya, baru sampaikan apa yang harus Ukhti sampaikan. Do’akan ana juga ya Ukhti, Sabtu besok ana juga praktek lapangan. Afwan, ana cuma bisa menyemangati Ukhti dalam balutan do’a, tak lebih dari itu. Semangat ya habibati. Sure you can do! Wassalamu’alaikum Ukhti.
Akhi Zain Al-Khariri

Benar, semangatku kembali membara saat itu juga. Asramaku memang tak jauh dari asrama Akhi Zain, hanya berbataskan tembok tua itu, namun, namanya juga ma’had, jelas dibatasi. Bertemu dengan lelaki sekedar menyampaikan tugas saja tak diperbolehkan, boleh sih, tapi harus siap menanggung malu akibat takzir yang tak biasa. Siap berdiri ditengah lapangan dengan pakaian yang full colour, juga membayar Rp. 1.000.000 untuk pembangunan ma’had, khusus untuk putra putri yayasan seperti Akhi Zain, takzirnya jauh lebih berat, siap dikeluarkan dari ma’had, itulah takzirnya. Makanya, pantang untuk aku dan Akhi Zain bertemu.
Tanganku seakan menari diatas buku tulis itu dengan lagu syahdu khas anak ma’had. Tanganku berlenggak lenggok mengikuti garis buku tulisku. Kutuangkan segala rasaku, segala isi hatiku.
Habibi Zain terkasih
Assalamu’alaikum ya Akhi. Balasan untuk surat Akhi, ada hal lain yang ingin ana sampaikan. Sudah hampir 3 tahun hubungan ini kita jalani. Saling memberikan semangat, motivasi, dan jujur ana semakin mengagumi Akhi. Ana tahu sebenarnya ana tak pantas mempunyai rasa ini. Ana tahu, kalau Akhi juga menyayangi ana. Ana tahu siapa diri ana. Ana juga tahu Akhi adalah cucu dari Kyai Dahlan, pengasuh ma’had ini. Ana takut kalau hubungan ini hanya akan membuat Akhi tak fokus dengan study Akhi. Seperti yang ana dengar akhir-akhir ini, setelah lulus Madrasah Aliyah ini Akhi akan pergi study ke Kairo, Mesir bersama salah satu putri Kyai dari Jombang. Ana terpukul mendengar itu Khi. Ana memang tak sepatutnya merasa terpukul seperti itu, seharusnya ana bahagia mendengar berita gembira itu. Namun, yang membuat ana khawatir adalah mengenai hubungan kita Akhi, apalagi ada yang mengatakan, kelak Akhi juga akan dijodohkan dan dinikahkan dengan putri Kyai itu. Kalau memang benar begitu, ana akan mencoba memahami dan tak banyak berharap kepada Akhi. Mengenai apa yang pernah Akhi katakana dulu, “Semangat menuju Universitas impianmu, 1 tahun lagi Ukhti, kalau dikau sudah lulus S1, kan kujemput dikau dengan cinta dan kasihku karena-Nya.” Ingatkah Akhi dengan ucapan Akhi itu? Apakah itu hanya sekedar ucapan tanpa makna? Kalau tho akhirnya Akhi akan meninggalkan ana di Indonesia. Memang, sekarang saja kita masih disibukkan dengan Ujian praktek, sebentar lagi UNAS dan baru akan melanjutkan study di Universitas pilihan kita masing-masing, namun kepastian itu juga perlu Khi. Apa yang harus ana lakukan Akhi? Apa ana harus melupakan Akhi? Apa juga yang harus Akhi lakukan untuk ana? Afwan, ana terlalu banyak bicara, namun ana butuh yang namanya kepastian supaya ana bisa sedikit bernafas lega. Ana bertanya banyak hal ini untuk kebaikan kita bersama. Supaya tak ada kesalah pahaman antara kita berdua. Sekali lagi afwan Akhi. Do’aku selalu menyertaimu ya habibi.. Wassalamu’alaikum Akhi.
Ukhti Najwa Az-Zahra
Tak kurasa tanganku yang awalnya menari dengan riangnya mengikuti garis buku tulisku berubah menjadi lunglai bersama dengan kucuran air mata yang mengalir dipipiku. Aku tak kuat, apa yang harus aku lakukan? Kenapa juga aku ingat kata-kata itu? Kata-kata yang membuatku khawatir, tak tenang seperti tadi sebelum kuterima surat dari Akhi itu. YaRobb, kuserahkan segala keluh kesahku kepada-Mu, ku hanya mengharap ridho-Mu. Karena hanya Engkau sebaik-baik penenang hidup umat manusia dan karena ridho-Mu pula ketenangan itu kurasa.
“Afwan Ukhti cantik.” Sapa salah seorang di belakangku.
“MasyaAllah, ada apa Ukhti? Ukhti mengagetkanku saja.” Jawabku sambil mengusap pipiku yang basah akibat hujan dadakan dari pelupuk mataku.
“Eh, kenapa Ukhti cantik? Habis nangis ya? Itu loh dari tadi dipanggil sama Mbak Salamah ndak dengar tho? Waktunya makan sudah dari tadi. Tinggal Ukhti saja lho yang belum makan.” Tutur Ane. Maklum lah di tengah perjalanan pulang sekolah tadi Ane sudah menceritakan musababnya kenapa dia tampak lesu waktu di kelas makanya ia sekarang sudah terlihat lebih baik padaku.
“Eng… Enggak kok. Aku nggak nangis, cuma kena debu tadi loh Ukh. Lho, tinggal aku saja tho yang belum makan? Padahal masakannya Mbak Salamah sudah kutunggu dari tadi loh. Aku makan dulu ya Ukh, cacingnya sudah mulai menggerutu nih.” Ucapku sambil membereskan surat yang barusan kutulis lalu bergegas menuju dapur asrama.
***
Suara kokokan ayam baru terdengar, namun aku sudah lebih awal bangun daripada bangunnya ayam yang berkokok itu. Setelah sholat qiyamul lail, sebelum sholat Subuh, ku bergegas menuju tembok samping asramaku, tak lain untuk meletakkan sepucuk suratku itu. Berharap Akhi Zain segera mengambil surat itu nanti pagi, karena hari ini hari libur pasti banyak santri yang berlalu lalang melewati tembok itu.
“Semoga tak ada yang mengetahuinya. Sebab kalau tahu, ah tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya.” Ucapku dalam hati.
***
Siang harinya kudengar riuhnya asrama sebelah.
“Sudah, keluarkan saja dia! Masak main sahwat sama santri putri? Pakai surat lagi! Sudah, keluarkan saja!”
“Tak usah dikasih ampun, dasar tak tahu malu!”
“Apa kamu, cucu Kyai Dahlan tak tahu diri! Mempermalukan kami kaum Adam saja!”
Mendengar kata-kata terakhir itu, boom, rasanya diri ini terhempas sejatuh-jatuhnya ke tanah.
“Surat? Cucu Kyai Dahlan? Asrama sebelah? Akhi Zain, iya Akhi Zain. Kenapa dengan ia? Apa yang sudah ia lakukan? Kenapa sampai segitu marahnya Akhi-Akhi lainnya pada Akhi Zain?” Pertanyaan besar itu terngiang di pikiranku. Hingga akhirnya seluruh santriwan santriwati dikumpulkan ditengah lapangan.
Perasaanku tak karuan. Berharap semoga bukan Akhi Zain yang akan digelandang ketengah lapangan. Tapi apa salah Akhi Zain kalau memang benar Akhi Zain yang tadi dihakimi?
“Assalamu’alaikum para santriwan santriwati PonPes Al-Munawwir yang selalu kami banggakan. Maaf apabila kami, perwakilan dari Ketua Keamanan dan Ketertiban PonPes Al-Munawwir  mengganggu sedikit aktivitas kalian semua. Ada hal yang begitu penting yang ingin kami sampaikan. Dalam hal ini akan langsung disampaikan oleh pengasuh PonPes kita, Bpk Kyai H. Dahlan Al-Munawwir, kepada beliau kami persilakan.” Ucap perwakilan dari Ketua Keamanan dan Ketertiban melalui speaker kebesaran PonPes yang membuat aku sesekali mengusap tetesan air mata yang tak sengaja jatuh dari pelupuk mataku.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sebelumnya saya sebagai pengasuh PonPes Al-Munawwir merasa sangat malu dan kecewa. Saya malu kalau harus mengatakan ini. Saya kecewa dengan perilaku tidak terpuji ini. Sebelumnya pula saya meminta maaf kepada seluruh staff Yayasan PonPes Al-Munawwir, terutama santriwan yang ada di asrama IV Al-Mubarok, saya minta maaf yang sebesar-besarnya akibat ulah cucu saya Zain Al-Khariri yang sangat tidak terpuji ini, melanggar ketentuan tata tertib PonPes Al-Munawwir karena secara diam-diam berhubungan dengan salah satu santriwati. Dengan berat hati dan terpaksa, saya kabulkan permintaan para staff keamanan untuk mengeluarkannya dari PonPes Al-Munawwir, saya akan mengirimnya jauh dari Negeri ini, supaya dia bisa memperbaiki kesalahan terbesarnya ini dan tidak membuat kerusuhan di PonPes ini lagi. Tak perlu menunggu kelulusan madrasah, Minggu besok juga akan saya singkirkan dari PonPes ini.”
“Harus Kyai!”
“Bagus Kyai!”
“Memang itu sudah ketentuan bagi keluarga dari pihak yayasan kalau melanggar peraturan, apalagi cucunya Kyai!”
MasyaAllah, mendengar sorak sorai santriwan itu membuatku menangis sejadi-jadinya, aku baru kali ini melihat wajah Akhi Zain, yang terakhir kali aku lihat saat acara milad ma’had tahun lalu, aku berlari menjauh dari kerumunan santriwati yang berkumpul menyaksikan Akhi Zain, Akhi terbaikku berpakain full colour yang telah siap dikeluarkan dan diterbangkan jauh dari Negeri ini. Aku tak tega melihatnya, aku tak percaya haruskah ini terjadi padaku? Haruskah? Bagaimana dengan hubungan ini? Bagaimana yaAllah? Aku lemas, aku lunglai, aku tak berdaya, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, hingga gelap menyelimuti diriku, akupun tak kuat lagi.
***
“Ukhti? Ukhti? Ukhti bangun Ukhti! Ini Ane, ini Ane!”
Terdengar cukup jauh suara itu. Perlahan kubuka mata. Aku tersadar, aku segera memeluk erat tubuh Ane sahabatku. Kuungkapkan segala rasa yang tengah menyelimuti diri ini melalui kucuran air mata yang seakan tak akan pernah bisa kering ini. Aku mencoba tenang, namun aku tak bisa. Aku kehilangan belahan jiwaku. MasyaAllah, sakit yaAllah, sakit.
“Ukhti Najwa yang punya Allah, yang beriman pada rukun imannya Allah, Ukhti adalah wanita kuat. Ukhti yang ana kenal begitu tegar ketika dapat banyak masalah. Ukhti jangan bersedih.” Ucap Ane yang mulai ikut menangis seakan merasakan apa yang tengah aku rasakan.
“Ukhti, ana memang punya Allah, ana beriman pada rukun imannya Allah, ana masih bisa kuat ketika ana mendapat masalah yang bisa membuat ana memeras otak untuk berfikir sebagai pemecahan masalah-masalah ana tempo hari. Ana juga masih bisa kuat ketika ana mendapat masalah yang bisa membuat ana memeras keringat, tenaga ana sebagai bentuk pembelaan diri ana akan masalah yang sedang ana hadapi hari-hari lalu. Tapi sekarang sudah berbeda Ukhti. Ini tak cukup hanya dengan berfikir memeras otak, memeras keringat dan tenaga untuk menyelesaikannya. Ini masalah jiwa ana Ukhti, ini masalah hati ana, ini masalah diri ana lahir dan bathin Ukhti. Ini sangat berbeda Ukhti tahu itu.” Tegasku runtut.
“Iya Ukhti ana tahu tapi…”
“Afwan Ukhti, apa Ukhti yang tengah duduk diatas kasur itu bernama Ukhti Najwa Az-Zahra?” Tanya salah seorang dibibir pintu yang memutus ucapan Ane.
“Na’am, ana Najwa Ukhti. Ada perlu apa Ukhti mencari ana? Siapa Ukhti?”
“Ana tukang masak ndalem. Afwan Ukhti dipanggil ke ndalem oleh Kyai Dahlan, sekarang juga.”
MasyaAllah, ada apa lagi ini? Apa yang akan Kyai bicarakan bersamaku? Ya Allah, sesungguh-Nya hanya kepada-Mu lah kami kembali. Kuserahkan segalanya pada-Mu yaRobb.
“Baik Ukhti saya akan kesana.”
“Ukhti, baik-baik ya? Apa perlu ana antarkan sampai gerbang depan saja? Ana mengkhawatirkanmu Ukhti.” Tawar Ane cemas.
“Tak usah, aku bisa berangkat sendiri Ukhti. Do’akan ana saja.” Ucapku.
***
“Sudahlah Zain, kau tak perlu seperti ini. Akung memang tak pernah mengajarkanmu hal semacam ini. Akung memang sangat kecewa padamu, sangat-sangat kecewa padamu. Akung terpaksa mengirimmu secepat ini ke Kairo, tak bisa ditunda lagi, sebelum kawan-kawan kau di asrama memberontak lagi. Kau memang mengecewakan mereka juga Zain, sangat mengecewakan.” Kudengarkan ucapan Kyai dari balik jendela ndalem.
“Tapi Akung, apakah harus saat ini juga Zain dikirim ke Kairo? Zain belum menyelesaikan tugas Zain disini Akung.”
“Harus, tugasmu disini sudah selesai. Tak ada yang perlu diteruskan lagi.”
Kukuatkan diri ini menghadapi Kyai. Apapun yang terjadi, semua atas kehendak Allah.
“Assalamu’alaikum.” Ucapku.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Akhi Zain juga Kyai sekaligus menoleh padaku.
MasyaAllah, ini Akhi Zainku, ini penyemangatku selama ini. MasyaAllah begitu gagahnya ia, begitu tampannya ia duh Gusti.
“Afwan Kyai, ada perlu apa Kyai memanggil Najwa kemari?” Tanyaku membuka perbincangan.
“Begini Najwa, saya juga termasuk orang yang kecewa terhadap perilakumu. Saya tak menyangka kamu yang dibilang Ustadz Ustadzahmu santriwati paling jenius dan paling cantik di ma’had ini ternyata salah satu santriwati yang berani melanggar peraturan. Untungnya kamu bukanlah salah satu putri dari staff yayasan, jadi engkau hanya kami takzir uang Rp1.000.000,- Andaikan kau salah satu putri dari staff yayasan, nasibmu tak akan jauh beda dengan Zain. Dikeluarkan dari ma’had secara terpaksa.” Jawab Kyai dengan mata berkaca-kaca.
“Afwan Kyai, apakah keputusan Kyai untuk mengirim Akhi Zain ke Kairo itu tak bisa dipertimbangkan lagi. Berikan kami kesempatan untuk berbicara mengenai masalah ini. Saya yang salah Kyai. Saya yang harusnya dikeluarkan dari ma’had ini.” Kataku memaksa.
“Sudah tak bisa diotakatik lagi mengenai pengiriman Zain, keputusan ini adalah keputusan bersama, bukan hanya keputusan salah satu pihak. Sudah Najwa, sekarang kamu kembali ke asramamu, lanjutkan aktivitasmu. Kau aku panggil kemari hanya untuk menyampaikan takzir yang harus kau bayar, bukan mengenai keberangkatan Zain ke Kairo. Dan ingat, jangan hubungi Zain kembali.” Tukas Kyai seakan ingin marah padaku.

Mendengar kata-kata Kyai yang terakhir itu, benar saja membuat diriku terpukul sekeras-kerasnya, sesakit-sakitnya. Kyai melarangku untuk berhubungan dengan Akhi penyemangat hidupku itu? MasyaAllah, Kyai maupun mereka yang tadi siang menghakimi Akhi Zain itu tak pernah mengerti apa yang kami rasakan dan kami perjuangkan selama ini. Mereka hanya tahu bahwa kami berhubungan untuk pacaran, mengikuti hawa nafsu kami. Salah besar! Disaat salah satu dari kami terkena masalah, tak akan salah satu dari kami hanya diam tanpa memberi solusi. Bertukar pikiran mengenai pelajaran-pelajaran umum serta pelajaran agama yang kami dapatkan setiap harinya. Dulu kalau mereka tahu, aku adalah wanita paling tak mengerti mengenai yang namanya agama, apalagi agama Islam, maklum memang orangtuaku beragama Katolik. Tak pernah kudengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menenangkan seperti lantunan suara Akhi Zain. Lantunan ayat-ayat suci itu masih sangat kuingat, hingga membuat aku begitu mencintai agamaku ini. Bersama siapa aku mempelajari agamaku? Ya bersama Akhi Zain itu kumengupas rahasia tiap inci dari agamaku ini. Kalau saja mereka tahu ini, pasti mereka akan berpikir ulang mengenai keputusan untuk mengeluarkan Akhi dari ma’had. Dia sudah membuat Islamku semakin mendarah daging, dia penuntunku, dia penolongku, melalui dia Allah memberikan hidayah padaku, ya melalui dia.
Aku berlari menuju asrama dengan perasaan yang bercampuk aduk. Aku tak bisa membendung air mata yang terus memaksa untuk keluar dari pelupuk mataku. Sesampai di asrama, kupeluk erat tubuh sahabatku Ane.
“Ukhti kenapa? Ukhti kena marah Kyai? Ukhti diapakan beliau? Ukhti disakiti? Ukhti kenapa? Ayo ceritakan Ukhti!”
“Ana tak kuat Ukhti, ana tak kuat. Ana ingin boyong dari ma’had ini. Ana tak siap kalau harus kehilangan Akhi Zain. MasyaAllah Ukhti, apa yang harus ana lakukan? Ana benar-benar ingin pulang, ingin boyong sebelum Akhi Zain diterbangkan jauh ke negeri seberang. Aku tak ingin melihat kepergian Akhi Zain Ukhti. Besok lusa Akhi Zain akan diarak ke seluruh ma’had ini, sebelum dia berangkat menuju bandara, aku tak ingin melihat momen itu Ukhti. Aku gila Ukhti, aku gila!” Ucapku sambil menangis sejadi-jadinya.
***
Siang berganti sore, sore berganti malam, malam berganti pagi, pagi berganti siang, siang berganti sore, sore berganti malam lagi. Tak terasa malam ini adalah malam terakhir Akhi Zain berada dikawasan PonPes Al-Munawwir tercinta ini. Bodohnya aku, masih menunggu balasan mengenai suratku yang telah membuat semua ini harus kujalani, harus kurasakan pahitnya. Bolak balik kulihat tembok samping asramaku, mungkin saja tiba-tiba ada surat balasan dari Akhi terbaikku itu. Lama kumenunggu hingga aku lelah, aku terlelap dalam gemerlap indahnya malam.
***
Pagi yang cukup cerah memang, namun tak secerah hatiku yang berselimut mendung kedukaan. Aku bergegas melihat tembok itu kembali, namun nihil, tak ada sepucuk suratpun terletak dilubang kecil itu. YaAllah, mungkin memang ini jawaban atas pertanyaanku pada Akhi tempo hari melalui suratku itu. Aku tak boleh banyak berharap padanya, aku harus melupakannya, aku harus melupakan ucapan-ucapannya padaku. YaAllah, aku tak bisa kalau itu yang harus aku lakukan yaAllah.
“Ukhti Najwa baik-baik saja? Hari ini seluruh madrasah yayasan diliburkan, dikarenakan hari ini kita wajib menyaksikan keberangkatan cucu Kyai Dahlan. Kuatkan hati Ukhti, tata hati Ukhti, Ukhti pasti bisa melewati cobaan ini. Ana yakin itu Ukhti.” Tukas Ane menyemangatiku.
“Terimakasih Ukhti.” Jawabku singkat, hingga kudengar,
“Perhatian-perhatian bagi seluruh santriwan santriwati PonPes Al-Munawwir, wajib merapat ke lapangan utama sekarang juga!”
Seluruh santriwati bergegas menuju lapangan utama. Kusiapkan diri ini, kusiapkan hati dan jiwa ini, iya aku harus melupakannya. Aku tak ingin ikut berhambur bersama santriwati, aku ingin sendiri, namun seluruh santriwan santrwatii wajib berkumpul. Baiklah, kulangkahkan kakiku menuju lapangan utama. Berat, terasa begitu berat langkah kaki ini, tak ingin rasanya aku melangkah.
Sesampai dilapangan, kulihat Akhi Zain berdiri tegap ditengah lapangan, tampak siap sekali untuk berangkat.
“Andai kau tahu isi hatiku ini Khi, pasti kau akan berjuang tetap di ma’had tercinta ini. Namun, mungkin ini yang telah Allah gariskan untuk kita. Jujur, aku masih mengharapkan balasan suratku itu.” Ucapku dalam hati.
Matahari sudah mulai menunjukkan kegarangannya. Panasnya begitu menyengat kulit-kulit kami yang semakin memerah. Kini tiba saatnya Akhiku diberangkatkan menuju bandara, menuju Negeri seberang yang mungkin saja membuat Akhi melupakanku. Kutatap wajahnya, Akhi Zainpun menoleh padaku sembari melemparkan senyum manisnya. Senyum yang tak akan bisa kulihat lagi, senyum perpisahan, senyum terakhir yang aku lihat dari wajahnya. YaAllah, pertanda apakah senyumnya itu? Masihkah ada rasa dihatinya untukku? YaAllah, aku dilema, aku benar-benar dilema. Wajah tampan juga tubuh tegap itu semakin menjauh dan hilang ditelan jalan raya yang membawa ia menuju bandara. Akupun kembali ke asrama dengan tangis yang lagi-lagi tak bisa kubendung. Kumelewati tembok samping asramaku, dimana tembok itulah yang menjadi saksi akan indahnya hari-hariku sekaligus buruknya hari-hariku selanjutnya. Tiba-tiba mataku tertuju pada lubang kecil itu.

“MasyaAllah, apakah itu sepucuk surat untukku?” Ucapku pelan, menghentikan langkah kakiku dan menghampiri lubang kecil itu.
“MasyaAllah, ini surat dari Akhi Zainku. Kapan ia meletakkan ini? Sehari semalam hingga pagi tadi sebelum bergegas ke lapangan utama, aku senantiasa mengawasi tembok tua serta lubang kecil ini, namun tak ada satupun benda berada di lubang kecil ini. Apakah ini surat perpisahan? Perpisahan terburuk yang harus aku alami? YaAllah, sesungguhnya Engkau Maha Tahu atas segala yang tidak kami ketahui.”
Aku berlari menuju asrama. Haruuuuum sekali. Bau yang tak akan bisa aku rasakan lagi selanjutnya. Perlahan kubuka surat itu.
Habibati Najwa tersayang
Assalamu’alaikum Ukhti. Semoga Ukhti selalu dalam lindungan-Nya. Ukhti, hilangkan segala keresahan hatimu, kegundahan hatimu, kekhawatiranmu dan segala rasa yang membuatmu kehilangan semangat serta memupuskan semua mimpi juga cita-citamu itu. Afwan Ukhti, ana harus secepatnya meninggalkan Ukhti. Ana menyayangi Ukhti, tulus dari lubuk hati ana. Tapi, apalah daya, ana sudah harus pergi saat ini juga. Mengenai kekhawatiran Ukhti mengenai perjodohan ana dengan putri Kyai itu, jangan kau dengar sayang, itu tak benar. Kami memang sudah berteman lama, namun tak ada rasa yang berbeda saat bertemu dengannya, tak seperti rasaku saat pertama jumpa dengan Ukhti. Ada getaran yang berbeda saat bertemu Ukhti kala itu. Ketahuilah Ukhti, ana sedih ketika melihat air mata Ukhti jatuh saat berada di ndalem tempo hari. Ana merasa sangat bersalah kepada Ukhti. Afwan ya habibati, ana membuatmu menangis, ana membuat hidupmu tak nyaman, tapi ana menyayangimu Ukhti. Mengenai larangan Akung akan hubungan kita, jangan kau risaukan, jangan kau pikirkan berlebih. Ukhti masih ingat ayat Al-Qur’an  yang menerangkan tentang makhluk Allah? Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Laki-laki dengan perempuan, jantan dengan betina, semua berpasang-pasangan, dan Allah tak akan salah menjodohkan setiap makhluknya, Allah tak akan keliru mempersatukan makhluknya. Yakinlah Ukhti, hanya engkau yang ada dalam hati ana. Yakinlah bahwa kisah kita ini akan bahagia pada waktunya. Afwan, ana hanya bisa mendo’akanmu dari jauh. Jarak boleh saja membentang berkilo-kilo mil memisahkan kita, tapi jangan dengan bathin dan do’a kita sayang. Tunggu ana kembali menjemputmu dengan cinta kasih karena-Nya. Ingat kata-kataku ini Ukhti sayang. Ana tak akan lama Ukhti. Ana pergi untuk kembali menjemputmu menuju kebahagiaan. Tunggu ana Ukhti sayang. Ana mencintaimu, ana sungguh mencintaimu. Jangan biarkan air mata kesedihanmu itu menetes lagi, jangan biarkan wajah cantikmu itu berselimut mendung kedukaan, jangan biarkan pipi merahmu itu basah akibat air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata biru indahmu itu. Sekali lagi afwan ya habibati, tunggu ana kembali menjemputmu. Wassalamu’alaikum Ukhti.
Akhi  Zain Al-Khariri
MasyaAllah, air mataku tak terasa menetes lagi. Kali ini tetesan air mata bahagia yang kurasakan. Menghilangkan segala kegundahan hatiku, menumbuhkan semangatku seperti saat-saat kuterima sepucuk surat darimu minggu-minggu lalu. Aku akan menunggumu Akhi, ya, aku akan menunggumu. Selamat jalan Akhi, semoga kau bisa menepati semua ucapanmu itu. Aku menunggumu.

*)Siswa kelas 12-IPA MA. Al-Musthofa,
anggota IPNU Kab. Mojokerto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto