Oleh: Abdul Haris
Menjadi pegawai negeri?Siapa pula yang
tidak mendambakan, aku rasa hanya orang yang fikirannya kurang waras saja yang
tidak mau. Atau bisa jadi orang tersebut memang wiraswasta murni atau mungkin
juga kesempatan dia sudah tertutup karena berkali-kali ikut tes tidak lolos.
Aku rasa aku orang paling beruntung (ini
untuk menyembunyikan kesombonganku bahwa aku ini orang pintar), sebab hanya
satu kali ikut tes langsung dinyatakan lulus dan dalam waktu singkat KTPku
berubah menjadi Pegawai Negeri Sipil pada kolom pekerjaannya.
Siapa pula yang tidak bangga,
orangtuakupun bisa membusung dada karena salah satu anaknya bisa menjadi PNS
tanpa pakai ini-itu. Aku rasa kau cukup mengerti dengan kalimat “ini-itu”. Yah,
begitulah negeri kita Indonesia apalagi pada tahun 90-an, Indonesia adalah
sarang penyamun berdasi yang tak pernah kehabisan akal untuk mengeruk
keuntungan dari rakyatnya sendiri. Hei, kita hentikan saja pembicaraan ini, toh
bagi kita tak pernah ada gunanya membincang hal demikian sebab kita tak pernah
bercita-cita untuk berani mengubahnya. Bukan begitu?
Mulailah perjuanganku dari jalur
mengajar diuji kikhlasannya. Menjalani profesi Oemar Bakri, ikhlas, adalah kata
yang harus tersemat, ini jika sang Oemar Bakri adalah guru honorer atau swasta
murni.
Akupun begitu, hampir sepuluh tahun
berjuang jadi guru, berkutat dengan kekurangan adalah hal biasa yang tak boleh
dikeluhkan. “Dron, Emak rasa kamu cari pekerjaan lain saja, ingat sebentar lagi
kamu menikah, mau kamu kasih apa anak istrimu nanti, kalau gajimu tak menentu
seperti sekarang,” ujar Ibu suatu ketika.
“Injih, Mak, Sodron akan berusaha,
do’a restunya, ya?” jawabku tak membantah. Ibu hanya manggut-manggut. Ibu benar
juga aku memang takut jika aku sudah beristri nanti apa dia rela aku ajak dalam
kekurangan terus?
Entah memang usahaku yang keras atau
berkat doa restu Ibu, nyatanya usahaku tidak sia-sia. Namaku muncul sebagai
salah satu peserta tes PNS pada salah satu halam surat kabar yang aku beli pagi
itu.
“Hem... bagus, Dron, dengan begini Ibu
menjadi tenang. Istrimu kelak tidak akan menuntut karena kamu telah menafkahinya,”
ujar Ibu setelah aku tunjukkan pengumuman itu.
***
Bukan keputusan sekejap, ketika aku
memutuskan mengikuti tes PNS, bukan menolak atau aku tidak siap malu seandainya
aku ikut tes kemudian tidak lolos. Urusan malu bagiku nomor kesekian toh selama
ini aku menjadi guru dengan gaji yang jauh dari kata cukup sudah semestinya
membuat aku malu, nyatanya aku tak pernah peduli dengan hal tersebut, sebab
menjadi guru saja sudah merupakan kebahagiaan yang tak terkira bisa mengamalkan
ilmu, bahkan tidak dibayarpun aku tetap akan menjadi guru dan inilah yang aku
sebut ikhlas.
Karena ikhlas pula ketika kawanku
mengajak ikut tes serta-merta penolakan yang dia dapat.
“Ayolah, Dron, siapa tahu dengan ikut
tes nasib kita akan berubah, toh ikhlas masih bisa kamu sandang nanti!” bujuk
temanku itu.
“Maaf, Jo, aku rasa keikhlasanku nanti
jadi remang-remang, sebab bagaimanapun dengan menjadi PNS sedikit banyak aku
akan mengharap imbalan yang dinamakan gaji,” aku tetap ngotot tidak mau.
“Okelah, kalau kamu tidak mau nggak
pa-pa, tapi besok aku kamu antar ya daftar ke kantor Dinas Pendidikan
Kabupaten?”
Mau nggak mau aku mengangguk juga,
bukan kenapa-kenapa tapi Paijo ini adalah teman karibku.
Namun, sebagaimana yang kau dengar dan
kau alami sendiri, manusia hanya sebatas punya rencana, tapi Allah SWT yang
lebih berhak mengaturnya.
Di kantor dinas ketika melihat
berjubelnya orang mendaftar tes, hatiku menjadi tertarik. Dalam fikiran aku
ingin menguji diriku, apakah aku nggak bisa mengalahkan mereka untuk meraih
tiket yang dinamakan CPNS.
“Jo, pendaftaran ini berakhir kapan?”
“Kenapa, kamu mau daftar juga?” aku
hanya diam.
“Kalau iya, cepetan aja, mumpung masih
pukul sepuluh, sebab hari ini terakhir, dan pukul empat belas nanti pendaftaran
ditutup, nih catatan syarat-syaratnya,” aku meraih kertas di tangan Paijo,
sejenak dahiku berkerut. Dasarnya aku suka tantangan, melihat daftar syarat
tersebut kayaknya asyik juga kalau aku menyelesaikannya dalam satu hari, tiga
jam malahan.
“Aku pinjam motormu, kamu di sini
saja, aku mau mengambil persyaratannya,” bergegas aku ke parkiran. Secepat
kilat aku pulang, entah syetan mana yang mengajakku, motor aku geber 90 km/jam
satu hal yang tak pernah aku lakukan. Seperempat jam aku sampai di rumah, Ibuku
yang melihat aku seperti kesyetanan heran juga.
“Dron, ada apa ini, Nak, koq
sepertinya kamu sangat tergesa-gesa,” raut keheranan sangat terlihat di wajah
ibu.
“Nggak ada apa-apa koq, Mak, minta doa
restunya saja, nggeh?” jawabku sambil menyalami beliau dan langsung menggeber
motor kembali. Tak aku pedulikan rasa penasaran ibu, sebab aku harus ke kantor
desa minta beberapa berkas yang harus di tanda tangani Kepala Desa.
Untunglah, aku mujur, kantor desa yang
biasanya sepi hari itu perangkat kumpul semua. Berkas surat aku dapatkan tanpa
kendala berarti. Seketika aku kembali ke Kantor Dinas, Paijo masih setia
menungguku.
“Hei, benar nih berkas-berkasmu sudah
lengkap? Koq singkat banget kamu pulang.” Tampak sekali kalau Paijo keheranan,
persis seperti ibuku tadi.
“Tenang saja, kita lihat di dalam, apa
berkasku nanti kurang di hadapan petugas pendaftaran,” aku hanya tersenyum
simpul sambil masuk ke dalam, jam masih menunjukkan pukul setengah dua belas. Hanya
saja antrian begitu panjang, apa cukup waktuku untuk antri. Ah, aku serahkan
saja semua pada Allah SWT.
***
Begitulah, episode demi episode aku
lalui, dari mulai pendaftaran, tes hingga berdebar-debar menunggu pengumuman.
Aktifitas mengajar aku jalani seperti biasa. Kepala sekolah tak pernah
mengetahui aku ikut tes PNS, sengaja kurahasiakan sebab kepsekku ini tipe pemimpin
yang tak pernah menyukai anak buahnya yang ingin menjadi PNS, baginya menjadi
PNS adalah pekerjaan orang yang malas berpikir. Mungkin seringnya aku didoktrin
beliau sehingga aku jadi ikut benci sama profesi PNS. Sekarang kau jadi tahu
bukan, kenapa aku menolak ketika Paijo mengajak aku ikut tes?
Pengumuman itu membawa dua macam
kekagetan. Kaget pertama adalah namaku tercantum di dalamnya. Satu hal di luar
dugaan, sebab aku hanya berbekal pengetahuanku dari sekolah PGA (Pendidikan
Guru Agama)ku dulu dan sedikit dari pengetahuan semasa kuliah. Bukannya
menyombongkan diri rasanya memang soal-soal tes kemarin banyak yang mudah tentu
saja aku gampang menjawabnya.
Kaget yang kedua Paijo tidak termasuk
nama yang ada dalam koran tersebut, berkali-kali aku cari namanya tapi memang
dia bukan termasuk peserta tes yang lolos. Padahal persiapan dia menghadapi tes
ini begitu intens, dia telah siap segala-galanya. Benar! Allah
Maha Penentu segalanya.
Kini SK CPNS sudah di tangan,
sayangnya aku ditugaskan di tempat terpencil, Lumajang, bukanlah tempat yang
dekat dari daerah asalku, Mojokerto. Sebuah MTs Negeri yang jangan dibayangkan
sebuah sekolah yang sempurna. Gedung yang hampir roboh, sarana-prasarana yang
minim. Gurunya? Hem... sebagaimana yang sering kau dengar, datang sering
terlambat, pulang lebih cepat bukanlah isapan jempol, mengajar ditinggal ke
kantor, ini masih untung kadang malah ditinggal keluar untuk ngopi.Melihat hal
demikian aku bertekad akan memberi contoh.
Sehari-dua hari, sebulan dua bulan aku
masih konsisten. Berangkat paling awal pulang paling
akhir. Heran, teman-teman guru tak ada yang terpengaruh, mereka masih berkutat
pada kebiasaan lama. Hanya satu saja guru yang terpengaruh.
“Heran saya, sama guru-guru sini,
hampir dua bulan saya berusaha memberi contoh, tapi nyatanya hanya Pak Paiman
saja yang mau berubah,” ujarku pada temanku tersebut pada suatu pagi ketika
guru belum ada yang datang.
“Ah, bukan terpengaruh Pak Sodron,
hanya saja selama ini saya nggak punya teman untuk berbenah,” Jawab Pak Paiman.
“Tapi saya khawatir, lama-lama Pak Sodron sendiri yang akan terpengaruh,” kata
Pak Paiman melanjutkan.
“Insya Allah, saya akan tetap seperti
ini,” jawabku sekaligus kutekadkan dalam hati.
Nyatanya tekad itu hanya mandek dalam
hati, sebab tiga bulan kemudian aku mulai malas berangkat pagi-pagi, aku sering
meninggalkan kelas untuk mengobrol dengan teman-teman guru di kantor, bahkan
aku mulai berani keluar menuju warung di seberang jalan.
Lebih parah lagi, jadwalku yang
semestinya 6 hari kerja, aku mampatkan menjadi tiga hari. Hal demikian, sebab
sejak awal aku diplot menjadi Wakil Kepala bidang
kurikulum. Sedangkan tiga hari aku gunakan pulang ke kampung halaman mengunjungi
istriku yang sejak awal tidak mau mengikutiku di rumah dinas.
Tak ada yang protes, sebab guru-guru
yang lain juga aku atur sedemikian rupa sehingga hari kerja mereka paling
banyak empat hari. Tentu saja mereka gembira. Suatu siasat licik yang
membahagiakan.
“Terima kasih Pak Sodron, berkat
pengaturan jadwal Pak Sodron, saya jadi punya lebih banyak waktu untuk keluarga
dan bekerja di sawah,” kata salah satu guru yang dulu paling aku benci karena etos
kerjanya yang paling payah.
“Mas, setahuku kerjamu paling sedikit
kan lima hari kerja, koq sekarang empat hari kamu bisa leha-leha pulang
kampung?” istriku bertanya-tanya. Rupanya ia merasa nggak enak juga.
“Kenapa, kamu nggak suka ketemu aku
lebih lama?” jawabku bersungut-sungut.
“Bukan begitu, rasanya nggak enak
saja, pean ini khan dibayar pemerintah yang uangnya dari rakyat, masak tega sih
mas, pean mengkhianati rakyat sendiri?” istriku tak kalah sengitnya.
“Halah, dik nggak usah ngomong terlalu
tinggi lah, toh nyatanya kamu senang juga kan aku bisa pulang lebih lama?”
“Ya iya juga sih, tapi dipikir lagi
lah, aku takut gaji yang kita makan nantinya malah nggak barokah.” Kata istriku
sambil ngeloyor pergi. Hah, peduli amat, toh bukan aku sendiri yang berbuat
demikian.
***
Hari-hari berjalan seperti biasanya,
kerjaku masih tiga hari saja. Akhirnya setelah hampir setahun SK penetapan
PNSku turun dan aku diharuskan mengambil ke Surabaya. Bersamaan dengan itu
rupanya Pak Paiman SKnya juga baru turun. Akhirnya setelah rundingan, kami memutuskan
untuk berangkat bersama.
Hari Senin kami berangkat setelah
pamitan pada Kepala Sekolah. Mestinya hari itu aku dan Pak Paiman jamnya full.
Tapi gampanglah, toh aku bisa menitipkan tugas pada kawan-kawan guru. Hal yang
sudah biasa, mereka juga sering titip tugas padaku jika berhalangan masuk atau
ada kepentingan lain.
Dengan semangat ’45 kami berangkat
mengendarai motor bututku. Daerah pegunungan dengan jalan yang berkelok-kelok
adalah hal biasa yang aku temui. Tapi entah mengapa baru beberapa kilo aku
berangkat di sebuah tikungan, hampir saja aku tertabrak sebuah truk yang
ugal-ugalan, seandainya aku tidak berhenti dan menepi mungkin sudah
berkeping-keping tubuh kami tergencet truk itu.
“Aduh, hati-hati Pak Dron,” teriak Pak
Paiman.
“Sudah, Pak, truk itu saja yang
ngawur!” jawabku nggak terima.
“Gimana kalau saya saja yang
menggantikan membonceng,” aku mengangguk tanpa banyak alasan.
Sekitar tiga kilo aman-aman saja aku
duduk di belakang, namun tanpa diduga ada sebuah lubang lebar di depan, Pak
Paiman hampir saja tak menguasai setir, untung saja dia segera membelokkan
sepeda dan mengerem mendadak sebab kurang beberapa centi kami akan tercebur ke
jurang.
“Waduh, Pak Paiman koq tambah parah,
nih. Saya ganti aja, Pak!” Pak Paiman tak menjawab tapi dia langsung turun dan
menyerahkan setir kepadaku, kelihatan sekali ia gemetaran.
“Mungkin tadi kita lupa berdoa, Pak.
Ayo kita berdoa bersama-sama semoga perjalanan kita lancar sampai tujuan.”
Usulku, Pak Paiman kemudian memimpin kami berdoa.
Syukurlah sejak kami berdoa sampai
Surabaya tidak ada kejadian berarti, dan SK aku ambil dan aku terima dengan
hati berbunga dan sulit untuk menggambarkan. Sebab sejak itu aku resmi menjadi
PNS, suatu jabatan prestisius yang tidak semua orang bisa
merasakan.
Aku tetap menyetir dan tak ku izinkan
Pak Paiman untuk menggantikanku. Sayangnya kurang lebih 10 kilometer sampai
rumah dinas hujan deras tiba-tiba mengguyur. Untungnya aku sudah mempersiapkan
dua mantel hujan. Kami memakainya dan meneruskan perjalanan.
Jalanan menanjak, tanpa penerangan,
hanya dari lampu motor, sesekali kilat menyambar, tak menyurutkan niat kami
agar cepat sampai rumah. Tanpa aku duga di depan ada longsoran tanah yang
membuat jalanan licin, setir tak bisa aku kuasai, motor oleng, dan tak bisa aku
tahan jatuh berdebum ke tanah. Untung tidak sampai masuk jurang, mesin motor
langsung mati, lebih beruntung lagi aku tetap berdiri tanpa lecet sedikitpun.
Tapi, Pak Paiman mana.
“Pak, Pak Paiman, pean dimana?” aku
teriak-teriak. Namun tak ada sahutan. Hatiku cemas, jangan-jangan Pak Paiman
terlempar ke jurang.
“Pak Paiman...,” aku terus berteriak
dan mencarinya di sekitar jatuhku tadi. Untunglah hujan mulai reda dan langit
agak terang, waktu itulah aku menemukan mantel hujan yang membungkus rapat Pak
Paiman, tak ada gerakan, jangan-jangan Pak Paiman pingsan, atau lebih parah
lagi dia meninggal.
“Paaak... Pak Paimann...” Aku langsung
bergegas lari menghampiri, ini menakutkan, aku tidak siap melihat teman akrab
mati dihadapanku. Masih tak ada gerakan, namun aku reflek membuka mantel itu
tak beraturan. Agak susah juga, mantel ini membelit tubuh Pak Paiman dan aku
tak kuat mengangkat tubuh gemuk Pak Paiman.
Akhirnya setelah susah payah mantel
itu terbuka juga, senyuman Pak Paiman langsung menghias bibirnya, aku jadi
lega, rupanya Pak Paiman masih hidup, tidak ada gerakan tadi karena memang
mantel membelit tubuhnya begitu rapat akibat jatuh terguling tadi.
***
Karena kejadian ini, kami berdua
merenung. “Sepertinya kejadian demi kejadian hari ini adalah cara Allah
mengingatkan kita, Pak?” kataku pada Pak Paiman setelah sampai rumah.
“Maksudnya,” Pak Paiman tak mengerti.
“Yah mungkin, ini akibat kinerja kita
selama ini yang seenaknya, main atur jadwal padahal kita kan wajib masuk selama
enam hari.”
“Ah, iya saya mengerti, benar juga
kata Pak Sodron, beberapa bulan ini saya juga merasakan kegelisahan yang sama
Pak, kita ini PNS tapi kok ya meneruskan tradisi jelek
PNS-PNS lain selama ini.” Pak Paiman mulai faham.
“Begitulah, Pak, kita baru mendapat SK
saja sudah seenaknya bekerja, apalagi nanti kalau sudah lama, apa nggak tambah
runyam!”
Selanjutnya kami terus berdiskusi, dan
menghasilkan keputusan, mempunyai SK PNS bukanlah pekerjaan yang bisa
dipermainkan seenaknya. Ada amanah yang berat dan harus kami jalankan dengan
sepenuh hati dan tentu saja ikhlas yang tidak dibuat-buat.
Sungguh pekerjaan yang tidak mudah,
karena hanya kami berdua yang mempunyai komitmen tersebut
diantara belasan guru yang ada di sekolah kami. Jadwal aku atur ulang dan aku
masuk enam hari full.
Berbulan-bulan tetap tak ada perubahan
yang berarti, gebrakan kami tetap dicibir, pindah tugas adalah solusi
yang terbaik, syukurlah keinginan itu terkabulkan dua tahun kemudian.
Aku pindah sekolah dengan senyum
optimis, begitupun Pak Paiman yang pindah tugas di lain tempat. Senyum kami
mengembang, biarlah madrasah yang aku tempati pertama kali ini berubah seiring
berjalannya waktu, dan aku yakin suatu saat itu akan terjadi.
Sedangkan
tempatku yang baru, aku yakin ada tantangan yang menghadang, bisa jadi
masalahnya sama, atau mungkin beda. Tapi bukankah hidup itu bisa berwarna jika
kita menemui tantangan. Yang penting aku tetap amanah menjadi PNS tidak untuk semena-mena apalagi seenaknya. (bisa ditemui di
www.catatansangguru.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar