Oleh: Desy Lusiana (XI IPA)
Aku ingin menceritakan sepenggal kisah
tentang diriku, tentang aku yang hidup dengan jantung seorang pria. Jantung itu
selalu berdegup ketika aku sedang sedih, ketika aku sedang sendiri. Namaku
Olivia, dulu aku pengidap penyakit jantung, entah apa yang membuat jantungku
tak bisa normal seperti orang-orang awam. Setiap hari aku hanya bisa terkulai
lemas di atas ranjang sambil menunggu ada pendonor yang
mau merelakan jantungnya untukku.
Tiada hari yang istimewa untukku.
Semuanya membosankan, setiap hari aku hanya ditemani laptop, alat-alat tulis,
gitar dan sebagainya. Hanya tulisan-tulisan dalam diariku, coretan-coretan kecil
dimana-mana, lagu-lagu ciptaanku dan semua hasil karyaku tanpa bercurah. Aku
memang bisa dibilang pandai dalam bidang tulis-menulis. Tapi aku tak pernah
ingin menunjukkan hasil karyaku kepada orang lain. Akupun memiliki semua yang
aku inginkan hanya satu yang aku tidak punya, yaitu kebahagiaan.
Suatu hari, aku nekat keluar rumah
dengan keadaanku yang tidak stabil. Aku berjalan menyusuri jalanan mulus
melewati komplek tempat aku tinggal. Belum jauh dari tempat tinggalku rasanya
kaki ini sudah mulai tak kuat menompang berat tubuhku, nafasku mulai tak
beraturan. Aku duduk di tepi jalan, sambil membiarkan kakiku berselonjor ditepi
trotoar.
Tiba-tiba ada yang datang, dia
memanggilku dari kejauhan “Oliv, Oliv!” serunya sambil berlari menghampiriku,
aku yang sedang merehatkan tubuh hanya bisa menengok dan tak menghiraukannya.
Aku lihat dia tengah berlari ke
arahku, “Hai kamu Oliv kan? Putrinya bapak Frans?” tanyanya ketika sudah
dihadapanku, aku yang merasa tidak asing dengan wajahnya, namun aku lupa akan
namanya segara menjawab, “Iya saya sendiri, maaf Anda siapa ya?” jawabku seraya
mencoba berdiri, tapi mungkin karena tubuhku menolak hampir saja aku terjatuh
untung saja dengan sigap dia memegang tanganku agar aku tidak jatuh.
“Aku Fariz, apa kamu sudah lupa? Aku
teman kamu waktu di kampung dulu? Ingat?” jawabnya sambil menuntunku dan
membawaku kembali kerumah.
“Oh putranya om Heru? Iya saya ingat,
bagaimana kabarmu Riz? Dan kamu sekarang tinggal dimana?” tanyaku disela
nafasku yang tersengal-sengal.
“Alhamdulillah, baik kok. Kebetulan
aku baru pindah ke rumah yang berada di depan rumah kamu.”
“Eh iya kamu ngapain disini Oliv, kamu
kan sedang sakit, sebaiknya kamu istirahat di rumah, nggak baik jalan-jalan
gini, apa lagi kamu sendirian!” Sambungnya.
“Aku bosan di rumah Riz, ayah dan
ibuku selalu melarangku main keluar rumah, yah akhirnya aku keluar tanpa
sepengetahuan mereka, by the way, makasih ya sudang menolong aku.” Timpalku.
“Iya sama-sama Liv, sudah kewajiban
aku buat menjaga kamu dari dulu, iya kan?” jawabnya sambil terus menopangku
agar tidak jatuh dan mengantarkanku pulang.
Fariz adalah anak dari sahabat ayahku
ketika dulu kami masih tinggal di desa. Dia juga yang selalu menjagaku setiap
saat. Tujuh tahun yang lalu kami pindah ke kota karena kantor ayah memindahkan
tempatnya bertugas. Jadi kami menetap di kota dan kini Fariz ikut ke kota
karena dia kuliah dan kebetulan ayahnya sedang mengembangkan bisnis
di sini. Jadi dia pindah bersama keluarganya ke kota dan kebetulan rumahnya di
depan rumahku. Dia diberi amanat oleh ayahku yang kini sedang berada di luar
kota untuk bekerja. Mungkin beliau khawatir pula dengan aku. Tapi tak apalah
toh ini demi kebaikanku pula.
Sesampainya di rumah ternyata ibu
menunggu di depan pintu dengan raut wajah yang sangat tegang, ketika melihatku
di bopong oleh Fariz, ibu langsung menghampiriku dengan perasaan cemas. Fariz
pun berpamitan karena harus membantu ayah dan ibunya membenahi barang-barang.
“Saya pamit bu, tadi kan baru datang,
mau bantu papa sama mama dulu, besok saya ke sini lagi!” serunya.
“Iya Nak, terima kasih sudah mengantar
Olivia pulang!” Jawab ibu yang dibarengi senyum manis.
“Sama-sama bu.” Dia melempar senyum
dan berlalu.
Ibu yang sedari tadi khawatir langsung
membawaku ke kamar.
“Kamu kemana saja Oliv, ibu khawatir
sama kamu! Kalau kamu mau keluar bilang sama ibu, lagian kamu kan belum sehat
betul sayang.” Tanyanya penuh kecemasan.
“Maafkan aku Ibu, aku kayak gini
karena aku bosan di kamar terus, aku bosan jalani hidup seperti ini, harus
selalu menunggu, menunggu dan menunggu. Oliv capek bu!” jawabku.
Ibu lalu memelukku. “Maafkan ibu nak,
maafkan ibu yang tidak bisa memberimu kebahagiaan”. Kamipun larut dalam
kesedihan.
Keesokan harinya aku di kagetkan
dengan adanya boneka kucing Doraemon yang tiba-tiba ada di sampingku, aku lihat
tidak ada nama pemberinya
Tok tok tok...
Terdengar suara ketukan pintu kamarku,
aku pun bangun dan membukakan pintu itu.
“Pagi manis!” suara itu mengagetkanku,
dan ternyata dia adalah Fariz.
“Haduh Fariz, kebiasaan deh. Ada apa?”
tanyaku,
“Nih buat kamu, gimana bonekanya?
Suka?” tanyanya kembali sambil memberiku sebuah bunga mawar cantik.
“Oh, jadi kamu yang ngasih aku boneka
itu? Makasih ya Fariz aku suka banget, tahu aja kalau aku suka banget sama Doraemon.”
Jawabku sembari memberi senyuman manis.
“Iya dong aku nggak akan lupa kesukaan
sahabatku yang manis ini” jawabnya sambil membalas senyumku. Dia memandangiku
lama dari biasanya, tatapan matanya berbeda dari tatapan mata biasa. Aku yang
sadar akan tatapan mata itu segera mengajaknya masuk dalam kamar. Kami
berbincang-bincang lama sekali sambil melepas rindu. Wajar saja setelah 7 tahun
kami tidak bertemu, kami sangatlah rindu.
“Itu gitar? Kamu bisa mainnya apa?” tanyanya
sambil menunjuk gitarku yang tersandar di
sisi tempat tidurku yang lain.
“Bisa dong, kalau kamu?” jawabku
sambil mengangkat gitar itu dan memberikannya pada Fariz ”pasti bisa dong! Kita
nyanyi bareng yuk!” jawabnya. Kemudian dia mulai memetik satu persatu senar
gitar itu dengan lembut.
Seluruh jiwa ku persembahkan untukmu
Sepenuh cintaku merindukan dirimu
Seutuh gejolak membakar hatiku
Seperti cahaya hadirmu di duniaku
Seperti ribuan bintang yang menghujam jantungku.”
“Kau membuatku merasakan indahnya
jatuh cinta
Indahnya dicintai
Saat kau jadi milikku
Kau takkan kulepaskan
Dirimu oh cintaku
Teruslah kau bersemi didalam lubuk
hatiku.”
Kamipun terhening setelah menyanyikan
lagu favorit.
“Ternyata lagu favorit kita sama Riz”
ucapku sambil melempar senyum kepadanya dia hanya tersenyum dan melanjutkan
memetik gitarku melantunkan lagu santai yang membuatku larut dalam iramanya.
Hari-hariku tak lagi sepi semenjak
Fariz menemaniku. Dia selalu menghiburku, dia selalu memberiku kejutan-kejutan
manis. Dia seperti malaikat yang diturunkan oleh Tuhan untuk bahagiakanku. Aku
tak lagi merasa sakit sendiri, dia menjadi semangatku untuk melawan penyakit
ini. Meskipun dokter belum menemukan pendonor. Dan hidupku juga divonis tak
akan lama lagi. Namun aku tak takut di situ ada Fariz yang membuat hari-hariku
penuh dengan kebahagiaan dan lebih bermakna.
Suatu ketika, Fariz diajak oleh
papanya untuk ikut mengembangkan bisnis di luar negeri dan menetap disana, aku
ingin sekali ikut, karena aku tidak ingin kehilangannya untuk kedua kali.
“Fariz aku ikut!” teriakku sehingga
membuatnya menoleh dan menitikkan air mata.
“Tidak Oliv, kamu harus di sini, kamu
harus menjalankan pengobatan di sini, aku mau kamu sembuh!” jawabnya. Kemudian
aku menangis, dia pun menghampiriku yang terkulai lemas berpeluh-peluh.
Dan dia memelukku, “Aku mencintaimu
Oliv, aku akan kembali untukmu!” ucapnya sambil memelukku erat-erat.
“Aku juga mencintaimu,” tiba-tiba,
dadaku terasa sakit sekali rasanya aku tak bisa menahannya.
“Aaakkkhhh” teriaku sekenanya, entah
apa yang terjadi sesaat kemudian aku tak sadarkan diri.
Beberapa hari kemudian aku siuman. Aku
tak tahu di mana keberadaanku sekarang, orang yang pertama kali aku lihat di sampingku
ialah ibu.
“Ibu aku di mana?” tanyaku dengan
suara yang sangat berat, karena aku merasa lemas sekali.
“Kamu dirumah sakit sayang, kamu telah
mendapat donor jantung, kamu akan sehat kembali sayang!” ibu melempar senyum
disela tangis bahagianya. Aku hanya bisa membalas senyum itu. Lalu teringatku
dengan Fariz.
Dimana dia? Kenapa dia tidak ada
bersama keuargaku dan keluarganya yang sedang berada disini?
“Fariz dimana bu? Kok dia tidak ada di
sini? Apa dia benar-benar keluar negeri meninggalkanku?” tanyaku penuh rasa
ingin tahu.
“Dia sudah beristirahat dengan tenang
Nak, dia yang mendonorkan jantung buat kamu!” jawabnya. Aku yang masih lemah
hanya bisa menangis, aku mencoba berteriak namun aku tak sanggup. Aku hanya
bisa menangis, aku mencoba mengikhlaskannya.
Ibu yang dari tadi melihatku termenung
dan menangis, dia hanya bisa melihatku.
“Oh iya sayang, sebelum Fariz
mendonorkan jantungnya untukmu, dia menitipkan ini pada ibu untuk kamu!” sambil
memberikan sepucuk surat dari fariz untukku.
“Olivia,
sekarang kamu pasti sudah sadar kan? Alhamdulilah, aku senang mengetahui ini.
Meskipun aku tak lagi bisa berada disampingmu lagi, tapi percayalah Oliv,
jantungku akan selalu menjagamu. Dia yang akan menggantikanku ketika kamu
sendiri, ketika kamu sedang sedih. Dan ingatlah Oliv, ketika kamu mengingatku,
jantung itu akan berdegup, ketika kamu merasa kesepian jantung itu akan berdegup,
ketika kamu merasa sedih jantung itu akan berdegup. Maka kamu akan merasa kalau
aku akan selalu ada disampingmu walau ragaku tak menemanimu. Dan bila kau
merinduku, ambil gitarmu, lantunkan lagu menghujam jantungku. Maka kau akan
merasakan kehadiranku di sampingmu. Karena hanya kamu yang mampu menghujam
jantungku.
I Love you
Olivia, I Love You.
Aku
mencintaimu”
Salam kasih
Fariz
Itu pesan terakhir yang aku dapat dari
Fariz. Dan aku akan berusaha untuk selalu menjaga jantung ini. Aku akan merawat
jantung ini dengan baik.
Itu yang selalu membuatku semangat dan
terus bersyukur dengan di berikannya kesempatanku untuk tetap menjalani hidup
didunia ini.
Terima kasih Fariz, ragaku mungkin tak
lagi ada jikalau jantungmu tidak ada diragaku. Kukan selalu menjaganya.
Komentar:
Ceritanya
berkesan dengan adanya pengorbanan tokoh Fariz, dalam cerita ini dijelaskan
pesan moral secara tersirat bahwa pengorbanan tidak selalu menyakitkan, akan
tetapi dari pengorbanan mampu memunculkan kebanggaan, kebahagian, dan
ketenangan. Hanya yang menjadi masalah kenapa tidak dijelaskan sebab Fariz
mendonorkan jantungnya. Ditambah lagi Ide cerita yang berkesan ini tidak
didukung dengan penggunaan gaya bahasa dan diksi variatif sehingga bahasa yang
dipilih terlihat monoton. Terus berlatih dan gunakan kritikan sebagai motivasi
untuk terus maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar