Oleh: Umi
Fadilah (XIIPA)
Waduh,
sorry ya, aku harus pulang, CHSI (Catatan Hati Seorang Istri) sudah mau main,
nih!” teriak Wella pada temannya yang sedang bercengkrama.
“Ups, iya nih, Ramayana sebentar lagi
kan juga mau main!” timpal yang Dela.
“Halah kalian kok sukanya sinetron untuk
orang dewasa, aku nih, penggemar GGS (Ganteng-Ganteng Srigala), keren-keren lho
pemainnya!” ejek Zalia pada kedua temannya.
Yup, apalagi perbincangan yang paling
asyik di tengah-tengah obrolan kita kalau tidak membicarakan sinetron.
Olahraga? Males dong, wong prestasi bangsa kita tak
pernah beranjak dari angka belasan. Mau ngomong politik, bosan
kan, melihat orang selalu bertengkar dan korupsi. Bicara kebudayaan,
apanya yang dibicarakan lha wong kita-kita nggak pernah mengerti tema apa yang
lagi hangat diberitakan. Apalagi ngomong pelajaran, waduh tambah puyeng, di
rumah kan waktunya bersantai, begitu jawaban kita.
Satu episode selesai, penasaran kita
semakin membuncah sehingga esoknya jangan sampai terlupa untuk melihatnya.
Pesan ke mama, ke papa, kalau ada, ke nenek bahkan ke pembantu (kalau punya
sih) agar mengingatkan pada jam sekian lebih sekian kita harus diingatkan bahwa
sinetron kesayangannya akan segera main.
Satu cerita telah selesai, muncul lagi
pengganti yang semakin menggiurkan, akhirnya pantat kita akan selalu tertancap
pada tempat duduk yang sama.
Efek dari kegiatan yang dianggap bermanfaat
ini, kita semakin terpesona dengan televisi. Kotak ajaib ini dengan secara
sadar membius kita agar jangan pernah meninggalkannya. Ujung-ujungnya bagi
pelajar, belajar terbengkalai, meski belajarpun tapi masih juga ingatan tertuju
pada sinetron yang kemarin dilihatnya. Bagi ibu rumah tangga, tak ada kegiatan
lain yang lebih penting selain menonton televisi. Tak peduli nasi belum ada,
sayur belum masak, lauk belum diberi bumbu.
Bagi Bapak-bapak acara jam’iyahan
tahlil, istighosah, yasinan lebih mudah ditinggalkan ketimbang menonton
film/sinetron kesayangan. Nggak lengkap rasanya kalau sehari saja mata tidak
menonton televisi.
Sekarang kembali kepada Shobat Kamus
semua. Berapa jam waktu dihabiskan di depan televisi? What’s! 6 jam! Bukan
angka yang sedikit untuk ukuran kita yang semestinya lebih banyak berkutat pada
buku.
Sekarang bandingkan dengan kegiatan
kita lainnya, belajar di sekolah maksimal cuma 7 jam. Itupun terpotong dengan
jam istirahat. Kalau waktu membantu ibu paling cuma 1 jam, sedangkan waktu
bermain kita lebih dari 6 jam, bukan? Apalagi jika dibandingkan dengan sholat
kita. Seandainya sholat kita lengkappun tak akan menghabiskan waktu sampai 20
menit.
Ternyata Shobat, jika kita mau
berfikir lebih banyak dalam kehidupan kita yang digunakan untuk hal yang
bermanfaat. Lebih banyak untuk senda gurau, bermain, dan tidur. Jika demikian,
masih pantaskah kita menginginkan menjadi orang sukses, tentu jauh panggang
dari api.
Jika tidur masih bisa ditolelir,
belajarlah mulai sekarang untuk tidak memaafkan diri sendiri yang selalu
memanfaatkan waktu senggang hanya dengan melihat televisi. Mending jika yang
kita tonton adalah acara berita atau pengetahuan umum. Sedangkan kita selama
dengan tulus ikhlas pikiran kita diracuni oleh sinetron-sinetron sampah yang
tanpa permisi menyelusup ke dalam rumah kita mencuci otak kita dengan berbagai
budaya yang sama sekali tidak sesuai dengan adat ketimuran dan juga agama.
|
Misal, kepatuhan kita pada guru-guru,
ternyata rasa hormat kita kepada orang yang telah mentransfer ilmu mereka
kepada kita semakin hari semakin berkurang. Tak ayal kita justru menganggap
guru adalah teman akrab kita. Ketemu di jalan kita say hello bukannya
ucapan salam. Itu masih mending, lebih seringnya kita malah pura-pura nggak
tahu bahwa ada guru yang akan berpapasan dengan kita.
Di kelas, tak ada lagi sekat antara
guru dan murid. Shobat sering bukan mendengarkan celotehan teman-teman kita
yang tanpa beban dosa mengejek guru-guru yang sedang mengajar, bahkan ada yang
berani menggoda mereka sehingga guru mendapat ‘kecelakaan’ kecil, kita menertawakannya.
Dan kita puas telah menggoda guru kita.
Sadar tidak, itu adalah perilaku yang
identik dengan adegan di sinetron-sinetron Indonesia. Dan secara mentah-mentah
kita menirunya seakan-akan itu adalah sebuah kewajaran dan memang harus kita
lakukan karena kita kan masih remaja. Naudzubillah.
Begitulah sinetron telah
mengacak-ngacak akhlak dan norma-norma kita. Menembus dinding kesadaran kita,
merombak tatanan sopan santun yang sudah mapan menjadi tatanan yang dianggap
modern tapi malah membuat lingkungan masyarakat semakin amburadul.
Maka, mulai saat ini kuatkan dalam
hati kita tidak lagi menonton sinetron yang jauh dari dunia nyata. Menjauhi
tontonan yang tidak bermanfaat. Membuang jauh-jauh acara yang hanya menonjolkan
penentangan agama dan melanggar syariat. Menutup mata serta telinga terhadap
acara lelucon jorok, mengetengahkan kekerasan fisik. Agar hati kita kembali
menjadi bersih dan jauh dari kontaminasi budaya maksiat. Segera buang televisi
ke dalam sampah.
Kenapa, berat! Tentu saja hal ini akan
menjadi sesuatu yang berat kita lakukan jika tidak ada tekad baja untuk
mencobanya. Setidaknya setelah membaca artikel ini Shobat semua menjadi
berfikir, sudah benarkah pilihan tontonan Shobat selama ini. Jika ternyata
salah, maka mulai saat ini cobalah lebih selektif untuk memilih dan
memilah acara. Agar informasi yang Shobat terima adalah informasi yang
memperkaya pengetahuan kita. Sehingga tidak ada lagi slogan, WAJIB
MENONTON SINETRON! Selamat mencoba!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar