Oleh: Ainun Ainiyah (IXD)
Percikan
logat api naga berdecak pada setiap sudut angkasa. Kedua bola hitam putih itu
menyorot tirai tirai cahaya emas. Sesaat cahaya itu tergelincir. Namun,
cahayanya mengekal. Merangkak terbirit birit di bawah tanah ilalang. Burung
pipit berterbangan, mengikat pusaran pusaran rumit tak karuan bak benang kusut.
Baskara itu perlahan lahan cahayanya temaram ke paraduannya.
Saat
mentari tertidur tersedu, putri malam terbaring sendiri tersedu. Mencangar
gerang merangkaki dinding buta. Merindukan pelangi sutra senja. Mengharapkan
1001 podium mimpi untuk Sang Ayah. Setiap aku melangkah selalu bergandeng
dengan tangan mungilmu. Aku ingin berjalan seperti angin. Memberi semilir cinta
untuk Ayah.
Malam
yang penuh mimpi. Langkahku di setiap jalan terlucut debu. Ayah bersendu sendiri jemu. Bersandar pada dinding anyaman
bambu. Nampak rasa lelah para dirinya. Membanting tulang di setiap pagi hingga
malam demi semangkuk nasi. Tubuhnya kurus, hanya berisi tulang dan berbalut
kulit. Mimpinya, menjadikan bintang bintangnya berada dalam kebahagiaan. Aku
meliriknya dari sudut mataku. Di balik daun pintu setengah terbuka, tubuhnya
rengkik kelelahan. Sungguh, keteguhan cintanya sangat tulus. Tak dapat diukur
oleh alat apapun.
***
Butiran
embun embun itu menetes di rerumputan. Di atas batu rerumputan ini terdapat
kelopak mawar tersellip embun. Perlahan lahan ufuk orange mulai Gemelitir angin
berhembus dingin, menusuk pori pori kulit. Namun embun dingin itu tidak
melebihi kakiku yang lumpuh.
‘Aku
merangkaki dinding buta. Mencoba menemukan setitik cahaya. Selama darah ini
mengalir, tetap ku coba untuk membongkar dinding itu. Menikmati kehangatan rawa
di antariksa.’
Julihat
sepang kupu-kupu berkejaran. Terbang menembus kabut. Ia bergerak sampai di
ujung puncak. Menikmati nektar-nektar bunga. Aku mencoba untuk tersenyum manis.
Berbuat lugas apa adanya.
Ayah
membiarkanku berguling di atas rerumputan basan. Tubuhku baralas selembar tikar
lais. Lama aku berfikir, apakah hidupku akan terus seperti ini?. Hanya bisa
melamun dan bersikap posesif kepada Ayah?. Aku ingin membuka lembaran-lembaran
baru, serta puing puing kebahagiaan. Membuka podium kesuksesan untuk Ayah.
Ayah
mengajakku keliling desa. Menggendongku tanpa rasa letih. Tangannya menunjuk
pada keindahan permadani alam. Tubuhku ia letakkan di atas tanah lapang.
Merangkak terbirit-birit di bawah hamparan angkasa.
“Ayo
melangkahlah Nak. Jemputlah angan dan impianmu. Lihatlah!, Lembah, gunung,
sungai, mereka saling menjaga mimpi. Orang yang memiliki kekurangan bukan
berarti segala kehidupannya kurang. Rencanakan impianmu sebaik mungkin, dan
laksanakan sebaik mungkin. Impian tidak akn terwujud jika tidak kau
laksanakan.” Wejangan yang diberikan Ayah.
Hatiku
getir setelah mendengar wejangan Ayah. Menghanyutkan alur nafas setiap gumpalan
darah. “Aku tidak sekolah, bagaimana aku bisa pandai?. Aku adalah orang yang
tidak berpendidikan.” Ayah menyahutnya “Tidak. pendidikan tidak 100% menjamin kesuksesan. Banyak orang di luar
sana yang jenius. Berlagak sepandai-pandainya manusia. Menjadi orang
berpendidikan. Tetapi, hidup mereka belum tentu akan sukses. Keyakinan dan
kesungguhan adalah gerbang untuk menakapi gerbang kesuksesan.” Aku menjawab
“Baik Ayah, aku tidak akan menyurutkan langkahku, demi meraih mimpiku”. Aku dan
Ayah kembali pulang ke gubuk kami.
Senja
itu jatuh pada ruang jingga. Sungguh begitu besarnya ciptaan Sang Mestro Agung.
Aku berfikir waktu berputar begitu cepat. Berapa kebaikan serta keburukan yang
aku jalani setiap hari? Menikmati kehangatan kasih sayang di dalam ruang
jingga. Merindukan orang-orang tersayang yang pada akhirnya waktu akan
memisahkan kita.
Sunyi.
Imajinasiku mulai berkeliaran. Aku berdoa saat cahaya itu padam “Semoga esok kian rahnat Tuhan
memberkati hidupku. Memberikan secercah cahayanya untuk menjalani keterangan
jalan hidup .” Menari bersama angin. Perahu-perahu puisi meriak di setiap
fikiranku. Jemari-jemari lentik menulisnya dalam kertas-kertas rapuh. Berlayar
dalam sahaja dengan ribuan asa. Semua ku untai dalam estitika kata, menebar
cinta dalam kata-kata.
Matahari
belum terbenam!. Tapi waktu akan terus berputar. Perjalanan demi perjalanan
harus ku tempuh. Ayah adalah cahayaku. Tiada kata “Putus Asa” meraih
“Cita-cita”.
Batu
itu menjerit, tersandung langkah kakiku. Aku tak bisa berdiri. Aku menangis
menyerah. Berputus asa mengapa aku menjadi orang cacat?. Sampai kapan aku
merenggut kepedihan ini?. Aku rasa Tuhan tidak adil. Sampai aku menunggu pijar
pijar itu jatuh di ruang jingga. Hatiku ternyak. Betapa baiknya Tuhan memberi
matahari kepada kehidupan bumi. Tuhan Maha penyayang, dia masih memberikan
kehidupan bagi InsanNya demi meraih mimpinya. Mataku telah tertutup oleh
dinding-dinding buta.
Ayah keluar dari rumah, mencariku di setiap sudut pantai. “Ayah...
Ayah... Aku disini...” Tanganku melambai lambai sebagai isyarat. Ayah berlari
kencang. Langkahnya semakin dekat. Dan semakin dekat.
“Apa kamu baik-baik saja Nak?”.
“Aku tidak apa-apa Ayah.”Jawbabku
dengan tersenyum manis.
“Maafkan Ayah lupa untuk menjagamu.
Membiarkanmu sendiri di depan pantai.” “Itu bukan salah Ayah. Itu pintaku Ayah.
Biarkan aku menikmati keagungan Tuhan. Melihat hamparan angkasa bak permadani.
Intan-intan permata menusuk tilgram senja. Berumpun di ruang jingga.”
Tangan besi Ayah itu menggendongku di
sepanjang pesisir pantai. Getaran-getaran kelumpuhan ini membekukan kepedihan
yang mendalam. Sudah 17 tahun aku hidup lumpuh. Tuhan belum memeberiku
keajaibannya. Aku tak mau hidup lumpuh
hingga berumpun tua. Harapan dan doa yang aku kuatkan.
Deburan ombak purus saling berkejaran
mencumbu pantai. Awan-awan itu berganti menjadi suasana gelap. Hanya ada satu
rembulan bertabur gemerlap bintang. Lukisan yang samar di tengah bulan. Nampak sosok
perempuan berjubah putih. Tersenyum manis untukku. Perempuan itu memang Ibuku.
Seseorang yang mengorbankan jiwanya demi kelahiran anaknya. Menyeret sejarah di
zamam dulu. Ku ingin merasakan kehangatan dekapanmu. Namun, aku hanya bisa
melihatmu pada keindahan dewi malam.
***
Sang surya masih . Mataku menyorot
setiap sudut dinding pantai. Jejeran pohon kelapa menjulang langit. Di ujung
barat nampak bebatuan besar menjulang. Sedangkan di ujung utara nampak
gunung-gunung berdiri kokoh.
Ayah sibuk menyiapkan kereta kuda kami
untuk merantau ke desa sebrang. Mengunjungi makam Ibu yang sudah tua. Kami
rindu padanya. “Nak, ayo berangkat.” Ajak Ayah. “Baik Ayah.”
Kami berjalan menyusuri pedesaan. Desa
yang indah, rindang, dan sejuk. Para pekebun sibuku menjalankan rutinitas
mereka sebagai pendarah dingin. Pundak mereka menggendong keranjang-keranjang
besar. Tangan-tangan mungilnya memetik setiap ujung daun teh.
Aku melihat orang yang terjatuh di
sampingku. Wanita tua. Kulitnya keriput. Matanya agak samar-samar. Aku meminta
ayah berhenti untuk menololng wanita itu. “Nenek, mari saya bantu.” Tanganku
mengulur, memberi bantuan agar nenek itu bangkit. “Siapa namamu cu?” tanya
nenek itu. “Nama saya Ainun. Saya tinggal di desa sebrang situ Nek.” Kami
bersalaman dan perkenalan. “Terima kasih Cu, kamu memiliki hati yang murni.
Meski kamu cacat, kamu bisa menolong nenek. Tuhan akan memberikan keajaiban
untukmu Cu.” Doa Sang Nenek. “Amin. Terima kasih Nek. Saya pamit dulu mau ke
makam Ibu saya.” Pamitku. Nenek itu menghilang di belakangku setelah aku
menunjuk makam Ibu ketika di tengah-tengah pembicaraan. Aku berdiri
kebingungan. Biarlah, aku melanjutkan perjalananku.
Nampak batu nisan bertulis “Rukmini”
dari kejauhan. Batu nisan diam, tergocap terbelah menjadi dua. Bunga-bunga di
atas tanahnya nampak kering keemasan. Aku mnghampirinya dalam jangkauan
pandanganku. Langkah kami semakin dekat. Menuju batu nisan itu. Kami duduk di
atas tanah kering terbelah-belah. Lafadz doa kami lantunkan khusus untuknya.
Rukmini. Malaikatku. Pelita kasih sepnjang hidupku. Airmata membanjiri wajah ku
dan Ayah. Keikhlasan untuk kepergiannya. Doa kami akan menyinari tanahmu Ibu.
Senja malaikatku
Berpijak jajak seribu cita
Bermusam sendu-sendu cinta
Wajahnya menjelma pancaran cahaya
Tertidur pulas di dalam putri malam
Sutra putih itu,
menghangatkan kerindangan senja
Terbayang pada ruang jingga
Untaian sajak rindu untuk Ibuku. Setiap waktu,
alunan melodi kata-kata mulai terbentuk. Menjadi suatu syair. Mengekspresikan
berbagai fenomena. “Nak, ayo pulang. Hari sudah sore.” Ayah menuntunku naik ke
kereta kuda. Lirikanku tetap tertuju pada nisan Ibu. “Sudahlah Nak, ikhlaskan
Ibu. Ibu tidak butuh kesedihan dan tangisan. Ibu butuh doa kita. Hapus
airmatamu itu. Berjanjilah pada Ibu, besok kau akan menjadi anak sukses. Ibu
sudah tersenyum tenang.” “Iya Ayah. Aku bisa. Dan aku pasti bisa.”Jawabku.
Disitulah dalam hatiku tertegun, menciptakan ikhtiar menuju kesuksesan. Janji
sejatiku, pasti akan terwud itu.
Di tengah perjalanan, bintik-bintik air
hujan menetes kelopak mataku. Serbuk-serbuk itu makin lama makin deras membuat
tubuh Aku dan Ayah basah kuyup. Kami bersinggah sejenak di pos rindang.
“Apa kamu kedinginan Nak?” Tanya Ayah.
“Tidak Ayah. Aku baik-baik saja.”
Serambi menunggu hujan reda, tanganku
menulis bait-bait puisi. Panorama zamrud keindahan alam dari pos ini.
Di Bawah Tilgram Ruang Jingga
Dunia
bermusam durja
Menghantui gambaran sosok bayangnya
Membangunkan
keteguhan citra
Harum
seharum kenanga
Sporadis
berubah menjadi awan hitam
Menutupi Sang dewi malam
Tenggelam
dalam keegoisang
Loyalitas
memikat di setiap warna jejakku
Memberikan
ta’rif kehidupan
Membuka
jendela hati
Terbujur
kaku dalam fatamorgana cinta
Tergulir
semak belukar
Hanya
airmata mengalir
bersama
serpihan luka menganga
Membuka
lara ...
Meskipun
waktu berlalu
Jauh
di belakang waktu
Memendam
seribu kata
Dalam
rindu kelam
Tiba
waktunya, hanyalah luka
Hanyalah
goresan namamu termaktub
Dalam
ulu sanubariku
Badai
hujan telah reda. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Tangan Ayah menggendong
tubuhku duduk di haluan depan.
“Apa
yang Kamu tulis tadi?” tanya Ayah.
“Sebuah
lantunan bait-bait puisi.” Jawabku.
“Ayah
bangga dengan kamu. Pantang menyerah meraih mimpi. Tetap semangat!. Ayah selalu
berdoa agar kamu tidak lumpuh. Tuhan pasti akan memberikan keajaibannya.”
“Aku
akan meraih 1001 mimpiku untuk Ayah.”
Di
tengah obrolan kami, nampak seorang pria melambaikan tangannya. Sepetinya dia
adalah seorang pekebun.
“Ada
apa Pak? Apa Anda butuh bantuan?” tanya Ayah pada seorang lelaki separuh baya
“Iya.
Tolong antarkan Saya pulang. Rumah Saya tidak begitu jauh dari sini.”
“Baik. Dengan senang hati. Ayo naik Pak.”
Mata orang itu melirik Tubuhku. Diriku
menjadi takut. Apa yang ada di pikirannya?
“Apa tidak di bawa ke dokter Pak?”
“Tidak. Saya tidak punya biaya.
Memeroleh uang saja pas-pasan, hanya untuk membeli semangkuk nasi sehari. Saya
bisa merawatnya setiap hari.”
“Kebetulan, Saya tukang pijat. Saya bisa mengobati anak
Bapak tanpa biaya. Saya ikhlas menolong.”
“Alhamdulillah. Terima kasih Pak. Besok
Saya ke rumah Bapak bisa?”
“Bisa. Berhenti Pak, itu rumah Saya,
kelewatan. Terima kasih bantuannya Pak.”
“Iya, jangan sungkan. Rumah Saya di
depan pantai itu. Mari Pak!” pamit Ayah
“Baik. Jika ada waktu saya
bersilahturahmi ke rumah Bapak.”
“Dengan senang hati.”
***
Usai
sembayang Subuh, Ayah membangukanku, menggendongku turun di halaman rumah. Meletakkan
tubuhku di bawah pohon trembesi. Membiarkan tubuhku berguling-guling, menikmati
sentuhan lembut rumput basah.
“Peganglah
Pohon Trembesi itu pelan-pelan Nak. Ambilah
embun sejuk dari rerumputan dan sekakanlah ke kakimu. Jalanlah, sosonglah Ayah.
Ayah yakin putra Ayah bisa berjalan.”
Berkali-kali
usaha telah gagal. Aku sudah mencobanya, tapi tidak bisa. Kakiku begitu kaku
dan tidak bisa di gerakkan.
Beliau
sibuk merajang rumput-rumput itu di atas sebilah kemuadian memasukkannya ke
dalam ember, memberi segelas air pada kuda itu. Kuda itu meringkik menyambut
kedatangan tuannya. Kakinya menendang lantai waktu dia mengusir pikat tali di
tubuhnya.
Setiap
pagi rutinitasku bergulingan di atas rerumputan tebal. Mencoba melangkah demi
langkan memegang pohon Trembesi. Namun kakiku tetap terbujur kaku dalam
kelumpuhan.
Kami pergi ke rumah Bapak Shobirin.
Tukang pijat yang akan mengobati kakiku. Menyusuri sepanjang jalan.
Tebing-tebing munusuk cakrawala. Jalan dipenuhi berbatu-batu besar. Membuat
jalan semakin terjal. Di kanan dan kiri adalah jurang menganga. Di bawah tebing
curam di tengah jerat serasah, menatap jauh ke atas ke arah batang-batang pohon
sambil mendengarkan suara desau angin yang menggelinjang menerpa
ranting-ranting pepohonan.
Jalan
yang terbentang berakhir. Sampai di latar rumah Pak Shobirin, kami di sambut
dangan hangat. Tuan rumah menggendongku dan meletakkannya di kursi. Istri Pak
Shobirin bergegas membuatkan minuman
untuk kami.
Tangan Pak Shobirin mulai memijat
kakiku. Mulutnya berumik-umik membacakan mantra.
“Terasa sakit?”Pak Shobirin mengurut
kakiku. Ia memnjatkan doa meminta mukjizat kesembuhan padaku yang lumpuh.
“Tidak Pak.” Tuturku.
Sungguh,
ini kali pertamanya kakiku merasa lemas. Setelah di pijat, perlahan-lahan Pak
Shobirin meyuruhku berjalan. Subhanallah. Tubuhnya bersujud memanjatkan rasa syukur atas kejadian ini.
Hatinya berbunga-bunga melihat anaknya bisa berjalan. Air matanya mengalir dari
pelupuknya, bergembira melihat penantian 17 tahun akhirnya anaknya bisa
berjalan.
Hari
sudah sore, kami bergegas untuk pulang. Ayah melecut kuda begitu kencang. Ku
pegang pundak Ayah erat-erat agar tidak jatuh. sebaris area lahan hutan yang
letak geografisnya sedikit curam melingkari tepian pegunungan tidak dikenal
sebagai hutan lebat. Entah saat itu kondisiku
tak sadar. Saat itulah kereta kuda terdampar dalam jurang.
Ketika
aku sadar, aku telah berada di rumah nenek tua. Seorang wanita tua yang pernah
aku tolong. Ku buka mataku yang sangat berat. Di sekeliling banyak warga
menangis. Aku berjalan mencari Ayah. Di mana Ayah?.
Seseorang
mengantarku pulang. Dia menawariku untuk bekerja di perusahaaannya. Setelah
kejadian kecelakaanku itu, ia membaca buku harianku yang berisi sajak-sajak
puisi. Menulis. Itu adalah hobiku. Saat lumpuh yang aku perjuangkan adalah
menulis. “Penulis adalah mimpiku”. Meski lumpuh aku juga bisa menulis. Berbagi
pelajaran hidup serta kerak kehidupan.
Aku
dan lelaki itu membicarakan karya sastra. Berbagai penawaran ia tawarkan
padaku. Jika aku menerimanya, aku bisa menjadi penulis. Jujur, dia tertarik
membaca karya-karyaku.
Lama
aku berfikir, aku meminta restu dulu dari Ayah. Hatiku risau tentang keadaan
Ayah. Apa yang terjadi padanya?. Aku bergegas pulang membawa kereta kuda kami
yang mumur. Para warga membantu membenahi kereta kuda, agar aku bisa pulang.
Langkan
demi langkah menuju setiap sudut ruangan. Di daun pintu setengah terbuka, Ayah
menyambut kepulanganku. Aku menemuinya. Diriku lemas, melihat kelumpuhan baru
di keluarga kami. Kedua kaki Ayah telah tiada. Aku melihat ada dua kayu alat
penyangga menjulur di kakinya.
“Kemarilah
Nak!. Sosonglah Ayah. Ayah senang kamu sekarang bisa berjalan. Kamu bukanlah
anak yang lumpuh lagi. Hapuslah kata-kata itu dari benakmu. Putri Ayah sudah
bisa berjalan di hamparan tanah. Kau berhasil!. Kaulah kedua kaki Ayah yang
baru.”
Ayah
masih berdiri di atas tanah kerontang yang diinjaknya. Petir dalam waktu
sekelebat menyambar. Hujan terdengar deras menggucur di atas talang. Membasahi
semua yang terbuka di bawah langit. Aku menangis berdiri dengan tangan
terentang di depannya. Beliau berjuang keras mengangkat kakinya. Tubuhnya goyah
di atas kakinya. Air matanya menetes bercampur dengan air hujan yang membasahi
pipi Beliau. Beliau tampak ingin melangkah.
“Victoria!
Ayo lakukan. Putri Ayah mempunyai kelebihan. Kau memiliki dua buah kaki yang
sempurna!. Lihatlah Nak!. Meski Ayah tak mempunyai kaki Ayah tetap berdiri
tegak.”
Aku
berlari mendekapnya erat-erat. Kedua alat penyangga terlepas dari ketiak Ayah.
Tubuhku menopangnya agar bisa berdiri. Tubuhnya semakin kurus. Kakinya sudah
tak dapat merasakan tanah di bumi. Ayah dan aku menangis, entah karena
kesembuhanku, atau kelumpuhan baru di keluarga kami.
“Ayah,
bersediakah Ayah ikut denganku di Ibukota?. Melihat puncak perjuanganku selama
ini?. Aku akan selalu merawatmu di sana. Inilah hasil dari perjuanganmu Ayah,
membuahkan hasil yang manis. Karyaku menjadi sorotan publik. Kini, aku menjadi
penulis Ayah!.”
“Ayah
bangga padamu. Jika kau meminta Ayah ikut ke Ibukota Ayah mau. Engkau berhasil
meraih mimpimu. Sukses tak datang dari apa yang diberikan orang lain padamu,
tapi dari keyakinan dan kerja keras dirimu sendiri. Tiap orang pernah jatuh dan
gagal, tapi kamu bisa memilih untuk bangkit lagi atau terus menangisi apa yg
terjadi. Jangan menyalahkan orang lain atas kegagalanmu. Kegagalan hanya proses
menuju keberhasilan, orang lain pasti ada andil dalamnya.” Cetus Ayah.
“Iya
Ayah. Doamu mujarab. Tuhan telah mengabulkannya. Keteguhan cinta Ayah
membangunkan mimpiku. Skenario hidup tidak dapat di tebak begitu saja sperti
kata Ayah. Dulu, aku sering merutuki diri sendiri. Namun, dengan perjuangan
Ayah, kini aku bisa membuka istana kesuksesan. Terima kasih Ayah.”
Tubuh
Ayah ku gendong di atas kereta kuda. Ku beri bantal tipis agar tubuhnya tidak
sakit. Serambi menunggu hujan reda, aku menyiapkan barang-barang untuk ku bawa
ke kota.
Aku
duduk di atas kereta kuda kami berdua bersama Ayah. Ku ambil cambuk dan memecut
perut kuda. Mengitari gedung-gedung di Ibukota bersama Ayah. Aku mengajak Ayah
di gedung pertemuan konfensi pers. Dalam
sekejap, banyak insan yang mengagumi karyaku.
Senyuman
dalam diri Ayah menebar dalam titik perjuangannya. Terharu sekaligus bangga
melihat kesuksesanku. Semilir cinta ku berikan padamu Ayah. Sekarang, waktunya
aku membahagiakannya. Menjawab doa dan segenap harapan yang ia panjatkan. Keregguk
kasih sayangmu Ayah.
‘‘Orang
menjadi benar benar sangat luar biasa ketika mereka mulai berfikir bahwa mereka
bisa melakukan sesuatu. Ketika mereka mempercayai diri sendiri, mereka
mendapatkan rahasia sukses pertama.
Ingat ! Jika ingin hasil yang berbeda, lakukan sesuatu yang
berbeda.Kini, aku dapat belajar arti kehidupan. Ayah adalah malaikat kiriman
Tuhan untukku. Cahaya itu tetap bersinar dimatanya.’’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar