By: Evi Cahyani
Cuaca tak tentu, terkadang panas sangat menyengat,
terkadang pula hujan turun tanpa henti, itulah alam. Namun semua itu membuat
aku tak tenang dengan keadaan benihku. Tapi apalah daya, beginilah hidup, harus
dijalani dengan sepenuh hati. Toh,
pada dasarnya ini juga kenikmatan.
Siang ini, kakiku tak tahan akan tanah yang aku
injak. Rasanya bagaikan berjalan diatas api. Aku berteduh di depan gubuk kecil.
Lumayan bisa terhindar dari panas.
Tak terasa bagitu cepat sore hari telah tiba. Cuaca
sungguh terbalik 360 derajat. Petir, angin, dan hujan berkumpul menjadi satu.
Aku masih berteduh ditempat yang sama, namun apalah daya dinginnya cuaca
merasuk dalam tubuh. Dengan rasa lapar aku mencoba bersabar. Memang sungguh
malang nasib benihku ini.
“Sabar ya nak, ibu yakin kita pasti kuat” gumamku
dengan menyelipkan tangan.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka
disampingku. Terlihat wanita tua dengan tongkatnya, ia menghampiriku. Dengan
cara berjalan membungkuk, ia menyambutku dengan wajah yang ramah. Namun aku
tetap berdiam di kursi panjang. Wanita tua itu masih terus menatap dan
memperhatikanku. Tak kuduga, ia mengambilku dengan tangan kirinya, dan
membawaku masuk ke dalam gubuk kecilnya.
“Pus… kasihan sekali kamu.” Kata wanita tua itu
dengan suara agak serak.
“Meong…” jawabku dengan memandanginya. Sungguh dia
malaikat penolong bagiku. Bagaimana tidak, kemungkinan besar kalau aku berteduh
di tempat lain bisa-bisa aku dibiarkan saja, atau mungkin diusir. Tapi wanita
tua ini lain. Meski tak kenal, namun ia memberiku makan dan memberikan tempat
tinggal untukku. Sekarang aku menikmati santapan ikan asin yang disuguhkannya
padaku. Karena aku lapar, aku makan dengan lahapnya.
“Hai kucing kenapa kamu di sini.” Terdengar suara
itu. Entah aku tak tahu dimana sumber suara itu.
“Aku butuh tempat, cuaca di luar membuat aku
kedinginan. Siapa kamu? Keluarlah!” jawabku.
“Aku tak mau keluar, nanti kamu bisa memakanku.”
“Tidak, aku tidak akan memakanmu. Jangan
mencurigai aku seperti itu. Ayo keluarlah!”
“Temanku ada yang mati dimakan kucing, aku takut
nasibku seperti dia. Untuk itu aku mau kamu keluar dari tempat ini.”
“Baiklah aku tidak akan memakanmu. Percayalah?”
“Untuk apa aku percaya dengan kucing licik seperti
kamu.”
“Atas dasar apa kamu mengatakanku licik, aku tahu
kamu pasti tikus. Memang bangsaku senang memangsa bangsamu. Tapi kali ini aku
janji tidak akan memangsamu karena aku butuh tempat ini. Percayalah denganku.
Kawan!”
“Tapi sayangnya aku bukan tikus. Dan satu lagi,
jangan panggil aku kawan.”
“Baiklah, janjiku tadi berlaku untuk semua hewan
yang masih hidup.”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Baiklah, aku bersembunyi di bawah kursi kayu di
samping batu bata sebelah kananmu.” jelasnya. Aku tolehkan kepalaku ke arah
tersebut.
“Ya ampun, kenapa kamu ketakutan seperti itu.
Ternyata kamu cicak? Malang sekali kamu.” Kataku sambil mendekatinya
pelan-pelan.
“Stop, jangan dekati aku.”
“O’ow, kanapa?”
“Jangan harap aku percaya dengan janjimu.”
“Ya sudah, aku mengerti. Maaf.” Kataku.
Aku membalikkan badanku dan menjauhinya. Hari
sudah malam, aku mencari tempat untuk tidur. Kulihat bayang-bayang di belakang.
Apa itu? Karena aku penasaran kuhampiri bayangan itu. Oh, ternyata wanita tua
itu sedang memendam sebatang singkong dengan abu panas. Akupun bersandar di
sampingnya, tangannya membelai bulu halusku hingga aku terlelap nyenyak.
***
“Kukuruyuk…” suara ayam tetangga terdengar tidaklah pelan. Mataku terbuka
lebar. Nur yang menerangi bumi sungguh indah. Tapi sayang, akibat hujan yang
lebat semalam membuat keadaan gubuk ini semakin lusuh. Ah sudahlah, ini tak
penting. Meski rumah tak seluas istana, tapi hatinya seluas samudra.
Di gubuk ini rasa lapar tak kurasa, rasa nyamanpun kurasa. Kakiku mau
berjalan entah kemana, intinya aku akan mencari makan. Tanpa berpikir panjang
aku langsung keluar rumah. Terlihat di pohon palem ada sesuatu. Sepertinya itu
akan menjadi santapanku pagi ini. Iya, tidak salah lagi aku melihat ekornya.
Dia tak terlalu tinggi di pohon itu, aku pasti bisa menangkapnya. Aku mendekat
pelan dengan tubuh menunduk, sedikit demi sedikit langkahku mendekatinya, jarakku
semakin dekat dengannya. Hitungan ke 3 aku akan menangkapmu, Satu...Dua...Ti...
“Tunggu.” sontak suara mengagetkanku. “Kamu jangan memangsanya. Aku tahu
kamu lapar, lebih baik kamu pergi ke selatan. Di sana ada penjual ikan.” tambahnya.
“Eh ada ayam jago. Kamu yang barusan berkokok ya? Ah sudahlah pertanyaanku
ini nggak usah dijawab. Memang kenapa kamu melarang aku memangsanya. Maksud
kamu aku harus mencuri ke penjual ikan?”.
“Ya iya dong, masak ya iya lah. Mencuri itu kan memang kebiasaan kucing.
Jadi kamu nggak usah sok kaget gitu lah” Kata ayam itu dengan nada tidak
mengenakkan.
“Pus pus pus...” Sahut suara dari dalam rumah. Sepertinya itu suara wanita
tua itu.
“Aku ke dalam dulu ya? Kalau boleh kasih saran, Ayam Jago seperti kamu
tidak pantas bicara lebay seperti itu. Maaf ini hanya saran. Aku harap kamu
tidak marah.” Kataku. Aku membalikkan badan dan lari ke dalam rumah kecil.
Di tempat yang sama seperti kemarin, disediakan pula makanan seperti
kemarin. Hanya saja ukuran ikan asin kali ini lebih kecil. Tak apa lah.
Lumayan, bisa mengganjal perut. Tak lama ikan asin telah ku habiskan. Aku
kembali keluar dan duduk di teras.
Tak terlalu lama aku duduk. Namun kesedihan telah membayangiku. Ada dua hal
kesedihan yang membuat aku terlantar seperti ini. Dan tentunya kesedihan ini
belum juga bisa punah dari hatiku. Aku bingung bagaimana cara mengusir
kesedihan ini agar tidak selalu membayangiku. Kesedihanku yang pertama, karena
manusia yang aku anggap sebagai majikanku. Dia orang kaya. Dari kecil aku
dirawatnya, yang paling menyayangiku adalah gadis kecil berambut pirang yang
biasa dipanggil Lusi. Aku sering dimanja-manja dan diberi makan makanan yang
enak. Memang sih kalau dimandikan aku selalu kabur, tapi bukan karena itu Lusi
mengabaikanku. Karena dia tahu, aku kucing yang takut air. Tapi, sejak hari
ulang tahunnya seminggu yang lalu, dia berubah. Dia diberikan kado Ibunya
seekor kucing Anggora. Lantas, semenjak ada kucing itu, aku mulai diabaikan. Tapi,
dia tidak membenciku. Yang membenci aku itu Ibunya. Aku mendengar dengan
telingaku sendiri, Ibunya tidak suka dengan kucing perempuan, dikarenakan kalau
beranak itu banyak. Aku kan memang bukan manusia yang sekali hamil beranak
satu. Atau kalau anak kembar biasanya dua. Sedangkan aku, sekali hamil muncul 4
anak. Aku rasa bukan hanya Ibunya Lusi saja yang membenci kucing perempuan.
Setelah aku pikir-pikir, sepintar apapun manusia, masih belum bisa berbuat
bijak. Yang paling membuat aku sedih, ketika malam hari aku mau masuk ke rumah,
aku diusir. Ketika aku menyerobot masuk, aku malah di lempar dengan remot TV,
kejadian itu terulang bekali-kali. Masalah makan pun, tak ada yang mengurusiku.
Lusi kini kasih sayangnya telah berganti. Aku merasa bahwa aku sudah tidak
diingankan lagi.
Kesedihanku yang kedua yaitu karena suamiku. Apa dia lupa kalau aku
mengandung anaknya. Sudah seminggu ini aku tak bertemu dengannya. Suamiku yang
dikenal dengan nama Blacky, kini entah dimana. Aku khawatir dia memaduku. Tapi,
apa dia setega itu ya? Em, apa dia lupa akan janjinya kepadaku. Janjinya yang
tak akan meninggalkan aku, selalu menemaniku, dan tidak akan membuat aku sedih.
Tapi sekarang dia malah membuat aku sedih. Apa dia tidak tahu kalau aku rindu.
Hanya bekas cakaran di tanganku inilah aku bisa mengenangmu. Karena cakaran ini
membuat aku ingat ketika kita bercanda. Tanpa sengaja kau mencakarku. Ketika
kau mengetahui itu, kau minta maaf dengan penuh penyesalan seakan dosamu padaku
sebesar gunung. Aku sangat rindu, benar-benar rindu.
“Kucing pembohong.” Sontak suara keras memudarkan lamunanku. Suara itu
terdengar di samping kananku, aku langsung menolehnya.
“Kapan aku membohongimu?” Kataku kepada cicak yang menempel di gedek.
“Jangan pikir aku tidak mengawasimu. Aku tahu tadi kau mau memangsa tikus
kecil di pohon itu kan. Apa kau tidak ingat dengan apa yang kau janjikan
kemarin?”.
“Oh, itu? Ingat”.
“Enteng sekali kau menjawabnya. Aku peringatkan sekali lagi. Jangan pernah
menyentuh tikus kecil itu”.
“Alasannya?”.
“Apakah harus aku kasih tahu?”.
“Tentu, biar aku tahu”.
“Dia tak punya siapa-siapa di sini. Ibunya mati. Yah, senasib dengan
temanku, karena dimakan kucing hitam yang tak punya hati dan perasaan, dan
hidupnya hanya memikirkan isi perut. Kawan-kawan tikus kabur dari sini. Dan
Bapaknya hampir senasib dengan Ibunya. Tapi, Bapak tikus kecil dan kucing
akhirnya mati bersama, karena tertabrak truk saat kucing mengejar tikus sampai
di jalan raya yang jaraknya tidak jauh dari sini. Aku ikut prihatin dengan
tikus. Tapi, aku bahagia karena kucing itu sudah musnah. Tapi, kini
kebahagiaanku hanya terasa 1 minggu. “Kau tahu kenapa? karena kau muncul di
sini!” Jelasnya.
“Tunggu, apa kucing hitam yang kau maksud itu namanya Blacky?”.
“Mana aku tahu. Tidak penting untukku mengetahui namanya”.
“Matanya kuning?”.
“Iya” Jawabnya singkat.
“Ekornya panjang atau pendek atau ekornya melengkung?”.
“Panjang”.
“Apa, panjang. Jangan-jangan...” Hatiku gemetar mendengar penjelasan itu.
Ya, tidak salah lagi. Cicak bilang kebahagiaannya hanya terasa satu minggu.
Sedangkan aku tidak bertemu selama satu minggu.
Keyakinanku semakin kuat. Kepedihanku kini semakin bertambah. Hati
perih, tubuhku melemas. Tak kuasa aku menahan derita batin ini. Tapi, aku
berjanji, aku akan merawat benih ini sampai dewasa. Karena benih inilah saksi
cinta kita.
ceritanya Lumayan bagus tapi kurang seram.
BalasHapusnama : Ega prasetya herlambang
kelas : XI IPS
NO ABSEN: 12
Sudah cukup bagus
BalasHapustapi kurang sedikit menarik karena ceritanya terlalu serius.
(St.Sukmawati I(31) 9a)
ceritanya sangat menarik dan bisa di resapi oleh saya dan buat kamus semoga tambah sukses dan gokil.
BalasHapusnama :Achmad as'ari
kelas :XI IPS
no absen :02
"ceritanya bagus,,,,,,,,tapy cerita yang dibuat kurang menarik hati saya,."untuk kamus semoga sukses
BalasHapusSHINTYA AINI ZURO (XI-IPA)
hay mus ...... ceritanya cukup bagus
BalasHapusnama : dafit prasetya
kls: xI ips
asskum mus, ceritanya bagus tp kurang memuasakan aja
BalasHapusnama : indriana sari
kls: xI ips
no absen : 21
cerita nya sangat bagus dan menarik , ceritanya kurang lucu
BalasHapusnama: lucky diah monica
kelas: IXc
noabsen: 12
Cerita nya sangat bagus,,,, dan bisa menghibur bagi yang membaca nya,,tpi cerita nya kurang seru dikit ,untuk kamus semoga sukses!!!! amin...
BalasHapusNama :Siti Mutiatus Sholikah
Kelas :XI IPA
No Absen:29
cerita nya sangat bagus, tpi kurang menarik pada diri saya,karena cerita nya terlalu dalam/srius, untuk kamus semoga makin kreatif dan tambah sukses !!!!
BalasHapusNama : Ilham Indian Ngabay
Kelas : XI IPA
No Absen : 17
ceritanya bagus, tetapi konfliknya kurang
BalasHapusSiti Maya Indah Sari
9a
Cerpennya asyiiik (shintul XI-IPS)
BalasHapus