Oleh: Ainun Ainiyah (IX-D)
Dunia bermasam kemasygulan. Gambaranmu
pucat pasi. Saling bertukar amanah, berbagi sehangat kasih sayang.Tanpa
kusadari, engkau sering bertutur “Afwan
Ukhti ... Afwan Akhi ...” Serasa
tertusuk jarum disetiap sudut. Tapi, kau tidak takut menghadapinya. Bagaikan
malaikat titipan Tuhan. Setiap jam, menit, detik mengandung mudarat,
tersembunyi di balik ke aliman dirimu.
Selukis, engkau goreskan tinta merah.
Seraya, ada gunting dalam lipatan yang kau sembunyikan. Ada kebohongan besar
yang mungkin hanya Tuhan dan engkau yang tahu. Sehelai kertas putih suci
tercoret namamu bercorak segumpalan darah.
“Akhi
... Kenapa kau ni? Apa kau sakit? Eh, nak tengok gambar kaulah...’’ Ujarku
berbahasa Melayu. Aku bukanlah orang asli Indonesia, melainkan perantau.
“Iya lihat saja, tuh di depan,” dia hanya diam 1000 bahasa.
“Waahh ... apaan ni? Apa yang kau
maksud? Teman-teman tak mencantumkan temanya kok kamu ada temanya? Tema
Kematian lagi!!! Jangan ngawur!?,” pikiranku penuh tanda tanya.
“Babahin, suka suka ana,” sembari tersenyum menutupi mulutnya di balik
giginya yang gingsul.
Tepat pada fajar itu, kau telah hafidz
Qur’an sebanyak 6 juz. Subhanallah, sungguh berapa kali kau menghibur kami?
Berapa kali kau mengajari kami? Berapa kali kau mendaras Firman Allah? Berapa
kali kau bersholawat? Semua itu termaktub dalam lembaran suci Sang Malaikat
Rakib dan Atid, wahai lelaki Sholeh.
Suasana nampak begitu sepi. Kanan kiri
sekolah hanyalah sebuah sungai dan tanah tersirat. Tiga ponokawan
melanglang menuju hulu sungai. Di bawah teriknya matahari di siang bolong. Saat itu, dia mendesak dua temannya yang juga
teman sekolahku. Kedua sohibnya adalah teman satu Ma’had.
“Ayo mancing rek ...” ajak dia.
“Ayo Zam, kau bawa pancing ya...” tutur
keduanya sohibnya sambil membawa sebatang pepas bambu guna untuk menombak ikan.
Mereka memancing di samping sekolah
yang kebetulan para pelajar sudah pulang ke rumah masing masing. Alur air
sungai tak seperti biasanya. Dulu, nampak bebatuan besar-besar sehingga kali
nampak dangkal. Sekarang, para bebatuan dimakan butiran pasir, membuat kali terkesan
keruh serta curam. Di bawah jembatan tua, terdapat 2 sungai berbeda arus. Dua
bengawan ini memiliki model air berbeda. Keduanya saling menghantam
seperti halnya musuh. Kejernihan serta balam-balam memiliki sifat yang berbeda.
Sporadis menjadi awan
hitam. Kini duka menyelimuti awan, bersama keributan angin badai. Tergelincir
di hulu sungai yang menenggelamkan jiwa sang sahabat. Di bawah tumpukan seroja.
Tenggelam selama berjam-jam menuju awal kehidupan baru. Di balik sarung kotak-kotak terdapat kesyahidan
dalam kematiannya. Berceceran darah muncul di setiap pangkal tubuhnya. Berlukis
sebuah gravity seperti yang ia gambarkan. Segumpal darah,
di bawah namanya. Meninggalkan senyuman indah pada semua orang. Memberikan
tanda-tanda secara perlahan. Tanpa ada air serta kotoran yang membekas dalam
tubuhnya. Ciuman Ibunda selembut sutra sebagai tanda perpisahan.
Darah membuntal tubuhmu. Ratusan helai
kapas bersama selimut bercorak garis-garis tak mampu menghentikan darah.
Masyaallah, keajaiban Allah. Ratusan keping darahmu keluar dan tak berbau
busuk.
Semula, tak ada seorangpun percaya, tangisan
kawan-kawan menjerit mengalahkan puluhan klakson. Deretan serambi masjid
bertumpuk asap duka. Tangisan tak dapat ditahan. Penyesalan, pengorbanan,
berbagi, serta kasih sayang hanyalah kenangan musnah.
“Tak mungkin! Kenapa Allah
mengambilnya dulu? Kami sayang padanya! Ya Allah, jika kau berkehendak berilah
dia kesempatan hidup lagi!”
“Sabarlah... Allah menyayanginya.
Setiap makhluk hidup pasti akan mati. Takdir hidup tak tertulis sesuai apa yang
kita hendaki, Allah memiliki rencana lain. Sabarlah, Istighfar Nak... Doakan
saja... kita yang masih hidup hanya bisa mendoakan,” nasihat Ibu guruku yang
ikut menangis, berusaha menenangkanku.
Mulut kami serta isak tangis
mengiringi lantunan doa. Keikhlasan serta keridhoan harus ditegakkan. Namun itu
masih sulit bagi kami. Dia adalah Sohib baik kami. Setelah istighosah, kami pergi ke rumah duka. Sepanjang jalan
bercecer derai tangisan kami.
Dia Pergi pada saat tidak bersama
keluarga serta teman-teman. Dalam sekejap mata kau hilang. Di benakku mungkin
hanyalah fatamorgana. Tetapi berbalik arah menjadi fakta.
Hemistik kematian
berkumandang di mana-mana. Semut
bergerombol memenuhi rumah duka ingin melihat proses pemakaman. Doa di
setiap nafas pelayat mengaliri jalanmu. Hanya selembar 3 lapis kafan dan kapas di hidung yang menemani
tidur nyenyakmu. Tetesan air mata membanjiri wajah pelayat. Mataku hanya bisa
melihat jasadmu dari kejauhan. Terbaring tenang di atas ranjang. Tubuhmu
tertutup oleh kain hijau bertulis lafadz “Lailahaillallah” dalam keranda yang
kau tumpangi. Semerbak bunga-bunga bertaburan di atas jasadmu menghiasi
nestapa, alam barumu.
Wasiat yang kau berikan “Aku sayang
kalian. Aku ingin kalian semua pintar ngaji. Aku ingin kalian kompak,” banyak
yang kau ajarkan padaku. “Lelaki itu tak boleh kasar pada perempuan. Karena
wanita bagaikan sosok Ibu”. Kau juga mengajarkanku nada-nada indah banjari
mulai nada rendah hingga nada tinggi.
Kenangan terindah, kita berjalan-jalan
mengelilingi kota. Memutari kota sebanyak 7 kali, semacam thawaf. Hal itu
membekas dalam hatiku yang pilu. Memunculkan epiema di
setiap sendi. Peristiwa itu adalah kenangan terakhir ketika canda, tawa, sedih,
lelah, pusing kita ledakkan bersama-sama,
di bawah sengatan panasnya matahari.
Muncul keegoisan serta loyalitas pada setiap kawan.
Kesuksesanmu dalam mengajari kawan-kawan
bermain banjari sukses. Engkau pasti bangga. Di sini kawan-kawan sudah lancar
bermain banjari. Setiap acara-acara tertentu mereka perform.
Setiap jam kosong kau mengajarkan kawan kawan hal positif. Merubah jati diri
mereka, yang awalnya menjadi pemalas, kini menjelma rajin.
Kesyahduanmu melafadzkan firman Allah
menakjubkan hati. Kemerduan Sholawat menjadi andalan kita. Di mana setiap waktu
hanya mencari Ridho Sang Ilahi, Dialah Sang Mestro Agung, Nasib memang tak
selalu yang di inginkan. Apa yang bisa kita buat? Akankah melawan takdir Ilahi?
Tidakkk !!! Inilah ketetapan Sang Illahi.
“Nihil!” itulah cerminan dalam
benakku. Terkadang keluar tangisan, kerinduan, Serta rindu akan
candamu.Kegundahan selalu terfikir melukis pancaran gambaranmu, membekas dalam
diri kita.
Hampa ...
Mumur
...
Ternyata semenjak kau mangkat, baru
tersasa bagaimana rasanya ditinggalkan sosok Sahabat. Suasana menjadi berubah
total. Wijdan terkadang masih tak percaya akan kepergianmu. Teringat sosok
citra jasadmu. Janji tekad menuntut ilmu di Kairo Mesir hanya tinggal kenangan.
Kau sudah berangkat. Tak lupa, engkau juga meminta restu Ibu dan Ayah,
membahagiakan di dunia dan akhirat.
Moralitas kehidupan dunia hanyalah bersifat fana. “Aku lebih suka
kehidupan di akhirat yang baqa’, daripada kehidupan dunia hanyalah penuh dengan kemaksiatan, yang nanti
akhirnya juga akan hancur.” Itulah
prinsip hidupmu. Selama ini terselip dalam jiwamu. Memang seluruh makhluk
digolongkan dalam kehancuran, ketiadaan, dan fana.
Waktu terus berlalu, jauh di belakang waktu.
Kini hanyalah amal teman sejatimu.
Selamat tinggal Shobat . Tenanglah di pusara rumah barumu.
Aku sadar, kau tak butuh tangisan, hanya doa dan keikhlasan yang engkau
perlukan.
Komentar Bu Tutus
Cerita yang dihadirkan cukup ringan yaitu tentang
persahabatan, namun dikemas dengan bahasa yang menarik. Dari dialog maupun
cerita yang digambarkan mengandung nilai moral positif yang diharapkan mampu
diserap pembacanya. Akan tetapi, dalam cerita tersebut beberapa istilah asing
yang masih sulit ditafsirkan pembaca. Alangkah lebih baik, jika istilah
tersebut diberi rujukan agar pembaca mudah memahami isi cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar