Jumat, 09 Mei 2014

Jahitan Ibu



Oleh: Lirohmatin W. (XII IPA)


Meski 2 hari berlalu, aku tetap saja membisu, ibu hanya memandangku entah tak berani berkata ataukah gengsi belaka “Makan ndok” hanya perkataan itu saja yang terucap dari bibir ibu sesekali melirikku. Kekecewaanku pada ibu, membuatku begini. Lupa akan kehormatanku pada orang tua, pikiran kalut, emosiku tak bisa dikontrol dalam keadaan seperti ini.
“Ibumu mana, mengapa baju pesanan saya tidak diantar kerumah? Besok lusa akan saya pakai! Tolong beritahu ibumu, jangan sampai aku datang yang kedua kalinya,” kata ibu itu dengan tampang juteknya. Aku hanya menganggukkan kepala dan memberikan senyum simpul padanya.
Pesan orang tadi kuberitahu pada ibu, meski dengan wajah cemberut, setengah ditekuk dan keterpaksaan yang masih penuh kejengkelan bersemayam dihatiku. Tak biasanya ibu terlambat mengerjakan pesanan, mungkin karena repot mengurus adik yang sakit sehingga kain polos masih membentang diatas kursi.
Terdengar olehku suara mesin jahit dimalam sunyi. Aku lihat dibalik pintu, tampak seorang wanita berusia kepala tiga yang akan menginjak kepala empat dengan giatnya mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan waktu terang. Ditahannya rasa kantuk itu, kulihat berkali-kali ia menguap, tampak jelas terlukis rasa lelah menyelimuti wajahnya. Diimingi kenikmatan apapun, dia tak akan merespon karena lelah telah berstempel ditubuhnya. Aku terbangun karena hisapan nyamuk menyerang kulitku hingga berubah menjadi benjolan.
Tadi siang memang ibu mondar-mandir dari ruangan khusus menjahit menuju kamar adik. Dibersihkannya muntahan adik yang tiba-tiba keluar dari mulut mungilnya. Panas tinggi yang tak juga turun membuat ibu mengkhawatirkan adik meski obat penurun panas sudah diberikan.
Tak terpikir olehku jika pagi ini ibu tak meletakkan sesuatu diatas meja belakang untuk mengganjal lapar. Roti ataukah gorengan yang biasa aku lihat tak kucium baunya. Bertumpu diatas mesin jahit dan memejamkan mata sembari sedikit mendengkur, kulihat wajahnya yang begitu lelah dipagi berembun.
Dua jam berlalu setelah sholat subuh, didalam lemari kulihat sebungkus mie instan. Tak apalah, meski tidak begitu kenyang diperut, setidaknya bisa menghilangkan lapar yang kemarin malam belum terisi apapun.
“Mbak belikan aku kelapa muda, tenggorokanku kering, lidahku pahit, biasanya ibu membelikanku diwarung Mbak Nina,” pinta adikku yang masih begitu lemas diatas ranjang.
Apakah aku mempunyai uang, aku ingat-ingat dimana ya uang itu kuletakkan tak mungkin juga bila aku meminta ibu. Helaan nafas panjang keluar dari hidungku, uang yang hanya satu lembar lima ribuan basah karena tercuci seragam sekolah disaku. Kukeringkan uang itu didepan kipas angin. Meskipun belum kering betul setidaknya mata uang tidak berkurang.
“Nina aku beli satu, dibungkus saja, nggak usah pakai es batu. Maaf uangnya sedikit basah,” Kataku pada sahabat sejak SD
“Tak apalah nantikan bisa kering sendiri. Sore jam 5 aku kerumahmu. Nanti tunggu aku ya?”, katanya sambil memberikan kelapa muda padaku. Kuanggukkan kepala sebagai tanda kebolehan.
Awan putih berubah menjadi mendungpertanda hujan akan tiba dibumi ini. Mataku tertuju pada ibu yang masih bergelut dengan mesin jahitnya yang sedikit lagi akan rampung dibuat. Langsunglah ibu menutup rambutnya dengan kerudung putih. Seputih uban yang tumbuh dirambut gelombangnya. Padahal Bu De atau kakak dari ibu belum beruban. Tapi mengapa ibu yang masih berumur tiga tahun lebih muda dasi Bu De yang justru memiliki uban. Bahkan kalau kulihat lebih banyak dari umurnya yang masih 37 tahunan.
Aku lihat ibu dibalik pintu kamar, keraguan dan kegelisahan tergambar diwajahnya. Rintik-rintik hujan membasahi jalan berdebu yang membuat orang bergegas mengambil baju. Baju yang masih bergantung pada jemuran. Dengan berfikir sejenak diambilnya sepeda milikku dan dikayuhnya kearah timur.
Hujan yang tadinya hanya seperti cipratan air yang jumlahnya tak terhingga. Kini menjadi begitu lebat disertai angin. Jika hujan begini aku dan adik selalu didekat ibu. Tak berani kemana-mana. Kemana saja ibu berjalan selalu aku ikuti. Sebetulnya berat hatiku saat tadi ibu melangkah keluar rumah. Lantunan adzan maghrib terdengar sayup-sayup ditelingaku. Kuambil lilin dan korek api setelah sholat kutunaikan. Karena sudah kutebak lampu akan padam, suara petir menggelegar, kekhawatiran yang sudah muncul sedari tadi kini semakin menjadi.
“Nin, aku titip adikku sebentar, aku keluar dulu, tolong berikan obat diatas meja itu setelah makan. Jika dia bangun ya, sudah kusiapkan semuanya,kataku
“Mau kemana, aku takut sendirian, lagipula inikan masih hujan” jawabnya sambil melirik pada jendela
“Sebentar saja tolong ya?”kataku mengharap
“Ya!” diangguknya kepala dengan suara lirih.
Kukenakan jas hujan pada tubuhku, karena tak ada sepeda lagi, terpaksa aku harus berlari. Kuterpa hujansekuatku meski hati ini ketakutan. Air yang menggenang setinggi mata kaki di jalan membuatku semakin berat melangkah. Kutoleh ke kanan kiri begitu sepi jalan terlihat.
“Dimanakah ibu berada?” pertanyaan yang membuat gelisah. Tertuju mata ini pada sebuah pos ronda didekat pohon mangga besar. Terlihat seorang ibu bergetar bibirnya, menggigil badannya, duduk diatas pos yang terbuat dari bambu tanpa sinaran lampu.
“Mengapa ibu tak menyuruh aku saja yang mengantar baju ini?” kataku
“Tak apa, mengapa kamu kemari? Siapa yang menjaga adikmu?” Tanya ibu
“Adik dengan Nina,jawabku singkat

Ya Allah mengapa aku ini, hanya masalah sepele aku mengundang kepedihan, mengapa aku menyakiti wanita tegar ini. Lunas sudah kepenatan yang ia rasa. Lupakah aku akan kasihnya, setiap kali aku minta dia beri. Setiap kali aku menangis dia hibur walau hidup ini tak segampang aku menyalahkannya. Aku jarang dimarahi, ingat aku dengan teman sebelah yang setiap hari sudah kenyang akan amarah ibunya. Tapi aku malah lupa akan cita-citaku untuk membahagiakannya.
“Ibu maafkan aku, kesalahanku ini tak diampuni Allah jika tidak mendapat maaf dari ibu. Aku tahu pasti sakit batin ibu, melihat aku seperti ini, meskipun ibu sabar dan tidak marah padaku, pasti ada sebersit luka dihati ibu” kupeluk tubuh dinginnya. Meski air hujan membasahi wajahnya, tapi air mata itu terlihat mengalir dipipinya. Hatiku miris tatkala melihat ibu menangis. Aku ingin menangis, menangis dalam pelukanmu ibu. Kukayuh sepedaku, dan menyuruh ibu sebentar menunggu.
Aku bekerja sendiri dirumah sederhanaku, semua kubereskan, terlihat ibu terbaring lemas dan tampak kedinginan dibalik selimut merah. Aku lelah, hingga tak kusempatkan perutku terisi, belum lagi tugas sekolah yang terabaikan, ditambah baju kusut yang kupakai tak semnpat disetrika, sedikit tak pantas dilihat.
Benar saja guru mengeluarkanku karena tak mengerjakan PR. Sedikit kecewa Ari padaku, karena tak biasanya aku  seperti ini. Hingga mengisi tinta dalam spidol ia tak konsen. Taskulah yang jadi korbannya,tasku, kamu ini bagaimana sih, huh!kataku kesal. Hanya tangis yang kulakukan diluar kelas, perut keroncongan, lelah, kesal menjadi satu. Aku pulang dengan mata sebam, ibu melihatku sekilas. Kulangsung tidur ingin melupakan penatnya hatiku.
Aku dibuat terkejut oleh mereka saat aku terbangun sore itu. Ibu menangkap kekesalanku, dibuatnya tas dari sisa-sisa pecahan kain. Begitu indah dilihat mata. Bahkan tak ada tandingnnya dibanding tas mahal yang digantung ditoko pinggir jalan raya. Orang yang membuat ibuku sakit, tiba-tiba datang meminta maaf dengan membawa  tas baru mirip tasku yang terkena tinta tadi.
“Tak usah heran, ini aku Ari yang menyuruh ibu membelikan tas, aku tahu kau yang kemarin melempar baju pesanan ibu tanpa pamit dan kau yang menulis ini yang kau tempelkan didepan pintu rumahku” kata Ari dengan menunjukkan kertas manila.
“ angan pernah pesan pada ibuku lagi, sebelum Anda menghargai hasil kerja orang lain, upah yang Anda berikan tak sebanding dengan pengorbanan ibuku!” kalimat yang kutulisdiatas kertas manila putih.
“Tak apa, lakukan saja, jika itu membuat hatimu puas. “ kata teman sekelasku yang selama ini begitu baik padaku. Tak sempat kumengira, orang yang berwajah keriput itu adalah ibunya. Ari, dia yang menyemangatiku untuk terus belajar. Aku sudah dia bantu. Aku sedih dia hibur. Dia seperti kakakku, menjaga seperti malaikat. Tanpa pamrih, tak ada anak manapun yang menggangu jika aku didekatnya. Mungkin benar dialah malaikat yang dihadirkan untuk menjagaku.
Kuterima dua tas yang begitu berarti. Terutama pemberian ibu yang penuh pengorbanan, lewat tangan dan pikiran kreatifnya, ibu bisa membuat tas secantik itu. Bahkan bisa menghidupi kita berdua tanpa laki-laki disampingnya. Ketegaranmu tak kutemukan dari kebanyakan ibu-ibu diluar sana. Kau cantik, kau sabar, kau korbankan kecantikanmu demi anakmu ini. Wajahmu terlihat tua dari umurmu karena kau memikirkan anakmu ibu. Kuanggap paling bodoh diriku, jika detik ini tak menyadari bahwa aku telah memiliki wanita mulia, begitu mulianya hingga bisa menyinari hidupku dengan tuntunanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto