Minggu, 12 Juni 2011

Ngidam
Oleh: Abdul Haris*)


Kabar menggembirakan datang dari Pak Sodron ketika mengajar di kelasku.
“Alhamdulillah, anak-anak, istri saya hamil setelah sepuluh tahun lebih saya menanti, akhirnya do’a saya terkabul juga,” kata beliau dengan raut muka yang sangat jelas kalau beliau sedang gembira sangat.
“Wah, selamat, ya, Pak, semoga anak Bapak nanti menjadi anak yang sukses dalam segala hal,” ucapku basa-basiku. Ah, salah. Meski aku basa-basi aku tetap saja turut merasa gembira mengetahui kabar tersebut. Sebab, yang aku tahu orang yang menikah pasti ingin memiliki momongan. Ada yang setahun sudah menggendong anaknya, ada yang kadang dua tahun baru menimang putra-putrinya, atau kalau begitu cepat belum genap satu tahun sudah keluarlah anaknya. Yang terakhir ini pasti karena ‘kecelakaan’. Naudzubillah semoga aku dan teman-temanku nggak ada yang seperti itu.
Sedangkan Pak Sodron harus bersabar selama sepuluh tahun lebih, bukan penantian yang singkat. Tapi apa peduliku ya? aku kan cuma muridnya. Kebetulan saja aku ini murid yang terkenal disayang. Karena seringkali Pak Sodron memuji aku di depan teman-temanku sekelas, bahkan ketika beliau jadi pembina upacara tanpa tedeng aling-aling beliau mengatakan:
“Contohlah Soleh, sudah cakep pintar lagi. Pasti banyak cewek yang kesengsem terhadap cowok seperti ini.”
“Huuuu...” seketika riuh teriakan teman-teman. Sedangkan aku menekuk muka karena malu dan tersipu.
Mungkin saking sayangnya sehingga apa-apa pasti namaku duluan yang disebut. Seperti pagi itu, ketika sekolah tak ada siapa-siapa hanya aku yang datang duluan,
“Leh, aku mau minta tolong.”
“Minta tolong apa, Pak?” kataku sambil menghampirinya.
“Kamu tahu kan istriku lagi hamil.” Aku mengangguk, “Tadi pagi dia kepingin buah srikaya, padahal di sini kan tidak lagi musim. Nah, aku mau ke pasar. Jadi aku titip tugas ke teman-temanmu.”
“Dengan senang hati, Pak. Siap!” kataku tegas. Tak urung Pak Sodron menyunggingkan senyum di bibirnya.
“Ah, kamu ini memang bisa diandalkan, koq,” puji beliau dengan tulus. Sebentar kemudian Pak Sodron mengambil sepeda motornya dan meluncur entah kemana.
Sedangkan aku, langsung masuk ke kelas dan membuka-buka tugas yang dititipkan tadi. Tugas yang mudah. Tapi, aku tak tahu bahwa kejadian ini adalah awal dari kebencianku kepada Pak Sodron.
***
“Leh, aku minta tolong lagi, ya?”
“Minta tolong apalagi, Pak?”
“Aku sungkan, meninggalkan sekolah lagi, makanya aku minta tolong kamu saja.”
“Iya, Pak. Asal saya mampu.”
“Istriku ngidam lagi, kali ini dia minta lontong lodeh. Semalaman tadi aku mencari-cari tapi tidak menemukan juga. Nah, kamu bantu aku mencarikan. Pakai sepeda Bapak. Masalah ijin, nanti aku yang ngurusi.”
“Baik, Pak. Akan saya carikan.”
Jadilah pagi itu aku tidak menerima pelajaran sama sekali, sebab aku mencari lontong lodeh di seantero Mojokerto. Berkali-kali aku sms Pak Sodron bahwa aku belum menemukannya dan mau pulang saja. Tapi, Pak Sodron menyuruh tetap mencari sampai ketemu. Setelah hampir 4 jam aku putar-putar, akhirnya aku menemukan juga warung yang berjualan lontong lodeh.
Huh, sungguh pekerjaan yang menjengkelkan, tanpa teman, tanpa tujuan yang jelas. Aku seperti orang linglung waktu itu. Dalam hati, kalau bukan Pak Sodron yang aku sukai, tak mungkin aku mau melakukan pekerjaan ini.
Sayangnya beberapa hari kemudian kembali Pak Sodron memberi tugas lagi, kali ini beliau menyuruhku mencari buah keres sebanyak-banyaknya, sebab istri beliau ngidam buah itu.
“Aku kasih kamu uang 10 ribu, cari sebanyaknya-banyaknya buah keres. Oke Leh? Nanti ya, kalau pulang sekolah!” Sekali lagi aku tak mampu menolak tugas yang aneh ini. Aku tetap menurut. Tapi, biar lebih cepat aku mengajak Paijo untuk membantuku.
“Ngidam koq aneh-aneh, ya, Leh?” komentar Paijo dalam perjalanan.
“Iya, tuh, apa memang orang hamil pasti seperti itu ya?” tanyaku balik.
“Setahuku, sih nggak semuanya, tapi nggak tahulah, aku kan nggak pernah hamil.” Ujarnya sambil nyengir kuda.
“Hus, ngomong apa kamu!” sungutku pada Paijo.
“Kamu koq enjoy saja sih disuruh-suruh Pak Sodron?” tanya Paijo penasaran.
“Siapa bilang enjoy, aku tersiksa banget, tahu! Kalau saja bukan Pak Sodron pasti aku akan menolaknya.”
“Lho, kenapa kamu nggak menolaknya?”
“Ya, pengin nurut aja. Sama guru kan harus gitu, Jo?” tentu saja aku tidak mengungkapkan bahwa aku mau disuruh karena Pak Sodron suka memujiku.
Hampir 2 jam kami mencari buah keres di pinggir kali dan pinggir jalan di sekitar perumahan tempat tinggalku. Setelah penuh plastik setengah kiloan yang aku bawa dengan buah keres, aku langsung meluncur sendirian ke rumah Pak Sodron yang tidak jauh dari rumahku. Sedangkan Paijo aku suruh pulang duluan.
“Waduh, makasih banget, ya, Leh,” kata Pak Sodron sambil memamerkan deretan giginya yang putih bersih. Huh, entah kenapa sekarang aku muak dengan senyuman Pak Sodron. “Jangan kapok ya kalau aku minta tolong lagi,” tambahnya. Muakku semakin bertambah pula. Dasar!
***
Baru saja aku menalikan sepatu dan mau mengayuh sepedaku, ketika aku dikagetkan kedatangan seseorang di depanku.
“Leh, maaf kalau mengganggu, sekarang juga aku minta tolong kamu ke rumahku,” hem... minta tolong atau menodong?
“Minta tolong apalagi Pak?” sungutku, pasti Pak Sodron tahu raut mukaku, tapi apa peduliku. Toh, dia tak peduli perasaanku. Sebab permintaan tolongnya tak mungkin aku tolak.
“Istriku minta di bacakan Al-Qur’an satu juz oleh muridku yang paling kusayang, kupikir siapa lagi murid yang kusayang kalau bukan kau, Leh.”
“Ya ampun, Pak, koq aneh gitu sih, saya kan harus sekolah,” kataku beralasan. Mungkin kali ini beliau mengerti dilema yang kuhadapi.
“Aku tahu, Leh. Tapi ini bagiku sangat mendesak. Tahukah kamu istriku kalau lagi mengidam tak mungkin aku tolak. Apalagi ini adalah kehamilan yang sangat kami nantikan. Aku takut terjadi apa-apa kalau tidak aku turuti permintaannya.”
“Tapi, Pak...” kataku menggantung.
“Sudahlah, Leh. Aku benar-benar minta tolong. Semoga ini permintaan istriku yang terakhir.”
Akhirnya aku tak mampu menolak. Dan jadilah hari itu aku tidak masuk sekolah tetapi tadarus sendirian di rumah Pak Sodron. Terus terang meskipun aku senang disayang guru, tapi kalau begini terus bisa menghancurkan prestasiku. Dalam hati aku bertekad ini adalah permintaan terakhir yang aku turuti. Habis ini tak ada lagi sayang, tak ada lagi pujian persyetan dengan semuanya kalau menyita waktuku untuk belajar.
Dan, untungnya tak ada lagi permintaan aneh-aneh dari istri Pak Sodron hingga istrinya melahirkan. Tapi, aku sudah kadung tak suka dengan sikap beliau yang suka memanfaatkan murid. Rupanya beliau sepertinya mengerti dengan sikapku sebab tak ada lagi permintaan tolong darinya kepadaku sekecil apapun. Entah siapa yang disuruh olehnya. Aku tak peduli yang penting aku bebas dari tugas yang memuakkan.
***
Aku dapat kabar gembira dari istriku. Dia hamil.
Wow, tak bisa kulukiskan perasaan senangku ini. Setelah lebih sepuluh tahun aku menanti akhirnya Allah mengabulkan juga doa-doa yang kumunajatkan tiap malam. Saking senangnya sampai-sampai aku menyampaikan berita ini ke semua orang. Bahkan sampai ke muridku juga kusampaikan kabar menggembirakan ini. Hem, belakangan aku rasa-rasa terlalu berlebihan kalau muridku kuberi informasi yang nggak penting bagi mereka. Pantas saja tidak ada yang merespon ketika aku bicara hal tersebut hanya satu anak saja yang mengucapkan selamat kepadaku. Ya, dia adalah Soleh murid yang paling berprestasi di kelas XI.
Soleh selalu bisa memikat hatiku dengan prestasi dan perhatiannya kepadaku. Sehingga aku makin sayang kepadanya. Tak ada murid yang sepintar, sesopan dan serapi dia. Tak pernah aku melihat raut muka masam setiap kali aku meminta tolong kepada dia. Asal tahu saja sering aku meminta tolong kepada murid bukan karena aku tak mampu mengerjakan, hanya saja aku ingin menguji muridku sepatuh apa mereka kepadaku. Nyatanya kebanyakan adalah tolakan halus bahkan kasar yang kudapat. Hanya segelintir saja yang mau menerima perintahku dengan senyuman tulus. Dan Soleh mendapat peringkat pertama dalam urusan patuh-mematuhi perintahku.
***
“Mas, entah kenapa ya, aku pengin sekali buah srikaya. Tadi malam kucoba menahan keinginan ini, tapi sampai pagi ini tetap saja aku kepingin.” Kata istriku setelah kami melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah.
“Wah, barangkali ini yang dinamakan ngidam, Dik,” kataku menyimpulkan.
“Mungkin saja, ya Mas. Belikan sekarang ya, aku sudah nggak bisa menahan keinginanku ini.” Rayu istriku setengah merajuk.
Jadilah pagi itu aku mencari jalan keluar bagaimana mencari buah srikaya tanpa meninggalkan tugas mengajar. Aha, ada Soleh. Pasti dia bisa kumintai tolong.
Dan, memang benar ketika aku meminta tolong dia untuk titip tugas ke tman-temannya, dengan antusias dia meluluskan permintaan tolongku. Lega rasanya kalau bisa melakukan dua pekerjaan dalam waktu bersamaan.
***
Pukul 2 malam, aku di atas jok sepeda motor sambil membonceng istriku. Sudah hampir dua jam kami putar-putar keliling kampung, pasar, dan kota Mojokerto. Tadi, pas pukul 24.00 istriku membangunkan aku dari tidur nyenyakku. Raut mukanya hampir menangis.
“Ada apa, Dik?” tanyaku penasaran.
“Mas, aku pengin banget lontong lodeh, bisakah kau mencarikan aku?” katanya memelas.
“Waduh, malam begini, mana ada warung yang buka, Dik?”
“Pasti ada, Mas. Aku ikut ya, aku takut sendirian di rumah.”
Aku tak bisa menolak permintaannya. Jadilah kami keluar rumah menerobos dingin dan pekatnya malam. Sayangnya hingga adzan Shubuh berkumandang tak jua aku menemukan apa yang kami cari.
Esoknya, terpaksa aku minta tolong Soleh lagi. Seperti yang kuduga dia meluluskan permintaanku untuk mencarikan lontong lodeh yang diinginkan istriku. Beberapa kali dia sms minta pulang karena tak juga menemukan warung yang berjualan lontong lodeh. Aku tak memperbolehkan, sebab kupikir istriku nanti akan marah sebab aku tadi telah berjanji akan memperoleh makanan yang diidamkannya.
Ketika Soleh menyerahkan lontong lodeh yang dibelinya. Bukan main gembiranya. Duh, tapi kenapa ya, raut muka Soleh agak masam. Ah, mungkin dia kecapekan di jalan.
***
Istriku ngidam lagi, kali ini sangat aneh permintaannya. Dia minta buah keres seplastik untuk camilan. Bagaimana ini, masak aku harus mencari buah keres. Mau ditaruh mana mukaku. Sudah tua masih mencari buah yang pantas untuk anak kecil itu. Apa aku minta tolong lagi sama Soleh, ya? Hem, apa dia mau ya. Beberapa waktu lalu dia kusuruh dan mukanya masam. Tapi aku minta tolong siapa lagi. Akhirnya....
“Aku kasih kamu uang 10 ribu, cari sebanyaknya-banyaknya buah keres. Oke Leh. Nanti kalau pulang sekolah!” aku mengulurkan uang 10 ribu tanpa meminta persetujuannya. Keterlaluan juga aku ini. Minta tolong tanpa minta pendapat yang dimintai tolong. Tapi, sungguh aku sangat terpaksa melakukannya. Mau bagaimana lagi. Maka, ketika Soleh mengantarkan buah keres itu ke rumahku dengan muka agak menekuk, kuterima saja kekesalannya. Maafkan aku Leh.
***
“Pokoknya, hari ini Mas harus bisa mencarikan aku murid yang paling Mas sayang dan mengaji satu juz di rumah kita,” pagi itu lagi-lagi istriku minta sesuatu yang aneh.
“Murid yang mana, Dik, semua murid ya kusayang. Tak ada yang kubenci.” Jawabku dengan alasan yang memang sebenarnya.
“Pasti ada, kalau tidak salah, itu lho anak yang pernah ke sini mengantarkan buah keres.”
“Oh, dia, nggak bisa, Dik. Dia terlalu sering aku mintai tolong. Aku nggak enak sama dia. Kemarin saja waktu mengantarkan buah keres, mukanya cemberut meskipun berusaha disembunyikannya.”
“Ini permintaan anak Mas, yang ada dalam kandungan. Aku ngidam ini, Mas!” Duh, kalau sudah ada kata ngidam, tak berkutik aku dibuatnya.
Maka, dengan perasaan yang ditebal-tebalkan, aku ke rumah Soleh meminta tolong lagi. Seperti yang telah aku duga, kali ini jelas kelihatan kalau Soleh sangat tidak suka dengan permintaan tolongku. Untungnya dia masih mau menuruti. Sekali lagi maafkan aku, Leh.
Untungnya, itu adalah permintaan terakhir dari istriku, hingga melahirkan tak ada lagi permintaan aneh lagi dari dia. Tentu saja aku tak perlu meminta tolong lagi kepada Soleh. Duh, bagaimana perasaan dia sekarang kepadaku. Tiap kali aku mau berpapasan dengan dia selalu berusaha menghindariku. Di kelaspun Soleh tak pernah bertanya seperti kebiasaannya tempo dulu.
Ini semua salahku, aku bodoh, kenapa aku terlalu egois, kenapa murid yang menurut seperti dia malah kumanfaatkan. Mungkin lebih baik semua masalah ini segera aku selesaikan, biar dia tidak salah persepsi kepadaku. Aku gurunya, aku nggak mau dia memelihara kebencian di hatinya. Aku harus menjelaskan semuanya dan meminta maaf. Aku rasa permintaan maafku tak akan menjatuhkan harga diriku di hadapannya. Ya, besok aku harus memanggil dia. (*) www.catatansangguru.blogspot.com

4 komentar:

  1. dari M. RIZA IRSHAB DILAH
    MAJALAH KAMUS SEMAKIN MEMBUAT KREATIF PARA SISWA DAN MENINGKAKAN MOTIFASI MEMBACA SISWA, JIKA SAJA GAMBAR DALAM MAJALAH KAMUS BERWARNA PASTI LEBIH BAGUS

    BalasHapus
  2. majalah kamus makin oke ja., makin kreatif, n inovatif. Sukses ja bwt kamus.,

    2433 dita altiara dwi o 9c

    BalasHapus
  3. buat kamus moga smakin jos grandos krotos2 , mw tisam bwt XB ttp cllu d hti kue dan arek ARSAFA dan sodara2 PSHT smoga mkin maju maju jayaaaaaaaaaaaaa


    uje syech muslim

    BalasHapus
  4. dari inna safitri XI IPA
    tak ada yang kusayang selain KAMUS Al-Musthofa yang bikin siswanya kreatif dan energik

    BalasHapus

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto