Selasa, 07 Desember 2010

Karena Cintakah Itu?
Oleh: Farida Fatma (IXC)


Aku Nia. Aku tak pernah mengenal cinta. Sejak kecil, tiada cinta yang tertanam dihatiku, dan aku membenci cinta. Sebab cintalah yang memulai dunia ku hancur hanya karena atas nama cinta.
Ibuku pernah bilang “Cinta itu indah tapi kadang juga menyakitkan.” Ayahku juga pernah berkata “Cinta itu bagai lautan, kadang tenang kadang ada ombak yang bergoyang-goyang menghancurkan ketenangan itu.” Aku menganggap semua anggapan Ibu dan Ayah salah, apalagi mereka pernah berkata “Cinta itu segalanya. Lakukanlah segala hal atas nama cinta, agar yang kita lakukan akan abadi selamanya di atas kata cinta”. Tapi, jika segala hal dilakukan atas nama cinta mengapa harus berpisah? Mengapa harus ada sebuah penyesalan?
Ibu dan Ayah mengucapkan janji suci di atas nama cinta, tapi mereka mengingkarinya. Janji suci yang pernah terucap kini tinggal janji biasa, sebuah “Janji palsu di atas nama cinta.” Apa yang dinamakan kata janji suci di atas nama cinta yang disebut keabadian?
Sejak aku berumur 4 tahun. Ibu dan Ayah bercerai, oleh sebab itu aku hidup terombang-ambing. Kadang tinggal dengan Ibu, kadang juga tinggal dengan Ayah bahkan aku pernah dititipkan pada nenek dan juga pembantu rumah tangga Ibu dan Ayah dulu. Mengapa anak yang menjadi korban saat kedua ego itu muncul? Mereka tidak pernah memikirkan perasaan anak-anak yang menjadi korban, yang mereka fikirkan hanya kebebasan dari tali yang mengikat tubuh mereka dan sangkar yang dianggap neraka saat ego itu muncul.
Kini aku dewasa, aku sudah berumur 17 tahun. Dan hari ini hari ulang tahunku. Aku tahu siapa yang akan mengucapkan “Selamat ulang tahun” terdahulu, kalau bukan Kevin siapa lagi? Dia adalah sahabatku sejak SD sampai sekarang. Dialah yang mengerti hari-hariku. Di depan rumah Kevin aku duduk di taman, menungggunya untuk berangkat sekolah. Aku masih membayangkan dan berandai-andai bahwa Ibu dan Ayah mengucapkan selamat ulang tahun dan membawa kue tart dan menyanyikan sebuah lagu. Tapi, tiba-tiba bayanganku hilang dan sirna saat kedua mataku tertutup tangan halus.
“Kevin udah ah bercandanya!” Kataku mengeluh
“Kejutan..!” Kata Kevin membuka mataku.
“Selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat ulang tahun, kami kan doakan” sebuah lagu di nyanyikan Mama dan Papa Kevin dan Kevin pula. “Happy birthday Nia !” ucap Tante Desy dan Om Ilham.
“Trima kasih tante… om … Kevin … !” Kataku dengan menangis.
Kejadian ini pasti berulang disetiap ulang tahunku. Tante Desy dan Om Ilham sudah kuanggap orang tuaku. Mereka selalu membuatku bahagia. Ibu dan Ayah tak pernah memberiku kejutan seperti ini jangankan kejutan ucapan ulang tahunpun jarang. Mereka seolah-olah melupakan hari kebahagiaanku dimana aku mendapat tambahan usia.

“Nia, kamu senang nggak dengan kejutan di rumah tadi?” tanya Kevin tiba-tiba saat di kelas.
“Tentu senang dong ! makasih ya,” jawabku senang.
“Ini pakai!” kata Kevin mengulurkan sebuah kain.
“Untuk apa ?”
“Pakai untuk tutup matamu. Aku ingin memberi kejutan lagi” katanya.
“Kejutan lagi?” kemudian Kevin menuntunku berjalan, setelah sampai
“Surprise!” terlihat Kevin, Tia, Mila dan Elo membuat kejutan kecil di kantin. Tia, Mila dan Elo adalah sahabatku juga sejak di SMP. Sebuah kado mungil dari Kevin diberikan padaku. Ketika ku buka…
“Liontin?” tanyaku heran.
“Aku pakaikan!” kata Kevin memakaikan liontin itu.
“Cie… Cie … Kevin!” ejek Mila.
“Tau nih Kevin sama Nia makin cocok aja!” sindir Elo.
“Elo, diam! kasihan Nianya tuh wajahnya merah dan Kevin sama aja,” ledek Tia menambahi ledekan Mila dan Elo.
“Kalian ini resek deh!” kata Kevin membela diri.
***
Sekarang aku tinggal dirumah sendirian hanya ditemani Nenek dan Bik Imah yang merawatku sejak kecil. Malam bergelayut perlahan. Nenek dan Bik Imah sudah tidur, diam-diam aku keluar rumah untuk mencari udara.
Di taman kota aku duduk sendiri. Aku melamunkan Ibu dan Ayah rujuk kembali.
“Semoga tuhan membalas semua yang terjadi kepadaku suatu saat nanti”
HPku berbunyi. Ibu? ternyata Ibu menelfonku, pasti mengucapkan selamat ulang tahun dan berkata “Ibu akan pulang besok” pikirku sejenak.
“Halo, Ibu,” kataku bahagia.
“Halo sayang, maaf ya Ibu tidak bisa pulang besok karena Ibu ada pekerjaan mendadak sayang! Oh ya happy birthday”
“Oh…” jawabku kecut.
“Tapi kamu tenang sayang, Ibu akan kirimkan kado dan uang buat kamu besok!” kata Ibu semakin membuatku kesal.
“Aku nggak butuh kado dan aku nggak butuh uang Bu! yang…” tiba-tiba kata-kataku terputus.
“Sayang sudah ya Ibu mau rapat direktur. Happy birthday, cepat tidur selamat malam.” Suara Ibu terputus. Aku tak tahu harus bagaimana. “
“Yang aku inginkan cuma kehadiran Ibu bukan kado atau uang bu!” kataku lirih pada diriku sendiri”
“Selamat malam,” kataku perlahan nyaris tak terdengar.
“Semoga tuhan membalas semua yang terjadi”
Hpku berbunyi lagi, Ayah!
Pasti tak akan sama dengan Ibu! pikirku dalam hati.
“Halo Ayah!” kataku bersemangat
“Halo sayang maaf ya, Ayah terlambat kirim kado dan uang buat kamu. Ayah lupa dengan ulang tahun kamu.”
“Nggak papa”
“Happy birthday! Ayah tak bisa jenguk kamu karena Ayah banyak urusan yang harus Ayah kerjakan. Besok uangnya Ayah transfer. Ok!”
“Tapi Yah! aku nggak pengen kado sama uang Yah!” kataku membentak Ayah
“Lalu kamu pengen apa?” tanya Ayah
“Nia pingin… !” kataku terputus kembali.
“Udah ya sayang, Ayah nggak ada waktu ngomong sama kamu. Happy birthday,” suara Ayah terputus. Kemudian aku menangis dan kuputuskan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku langsung menghambur ke dalam kamar. Aku menangis sepuas mungkin. Dan malam itu juga aku lampiaskan kekesalanku pada Ibu dan Ayah.
Beberapa minggu kemudian, Ibu tidak pulang karena harus pergi keluar kota dan Ayah tak pernah menjengukku. Aku sering melamun dan berfikir sampai-sampai aku jatuh sakit.
“Nia, kita kerumah sakit ya?”ajak nenek saat aku sedang terbaring lemas di kamar.
“Nggak mau nek!” jawabku kecut
“Tapi non, kasihan non. Lihat, non tubuhnya panas dan wajah non pucat” sahut Bik Imah di sampingku.
“Aku nggak mau !” bentakku
“Aku mau tunggu Ayah dan Ibu pulang, baru aku mau chek up!” tambahku kembali. Nenek dan Bik Imah hanya diam, mereka tidak berani melawan keputusanku. Lalu mereka keluar. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri.
Malam yang sunyi membuatku bisa mendengar segalanya. Suara-suara hewan malam yang bersahut-sahutan dan suara burung malam yang terus berbunyi membuatku merasa ditemani dimalam sunyi itu. Dari balik daun pintu aku mendengar seseorang berjalan di ruang tengah. Kemudian aku mengintipnya. Nenek? pikirku heran. Segera aku ambil telfon rumahku dan mendengarkan pembicaraan nenek, entah dengan siapa.
“Halo Lia” kata nenek membisik
“Iya Bu, ada apa?” tanya Ibu biasa. Ternyata nenek menelfon Ibu.
“Anakmu Nia sakit!”
“Sakit? Sakit apa?”
“Ibu tidak tahu! kayaknya sudah parah banget”
“Kenapa tidak di bawa ke rumah sakit!”
“Dia tidak mau, dia mau tunggu kamu pulang dan Ayahnya datang”
“Ya sudahlah bu, besok! oh tidak, minggu depan saja aku pulang!”
“Tapi, Lia. Dia butuh kamu” kata nenek berusaha membujuk Ibu.
“Ibu dulu yang mengurus Nia. Saya mau makan malam dulu dengan klien !”
Aku tak mendengar Ibu bersuara lagi, aku hanya menangis. Kemudian di telfon aku mendengar suara nenek lagi. Aku hanya diam. Nenek berbicara dengan Ayah tapi jawabnya sama dengan Ibu. Kututup gagang telfon, dan kurebahkan tubuhku kembali. Ibu dan Ayah benar-benar telah menelantarkanku.
Matahari begitu cerah, aku coba menyemangati diriku untuk berangkat sekolah. Terlihat di depan rumah ada Kevin, aku mengintipnya dari balik jendela. Nenek melihatku dari daun pintu, kemudian beliau masuk dan ikut merapikan buku-bukuku.
“Kamu yakin mau sekolah sayang?” tanya nenek cemas.
“Aku nggak papa nek! nenek nggak usah cemas kan ada Kevin yang akan menjaga aku” jawabku dengan suara lembut. Nenek hanya tersenyum masam. Terlihat dari sorot matanya yang keriput tersimpan sejuta kekhawatiran akan keadaanku. Segera aku menemui Kevin yang menungguku di motornya.
“Kevin, jaga Nia ya! soalnya badannya makin panas!” pesan nenek pada Kevin
“Iya nek, aku akan jaga Nia!” jawab Kevin mengulurkan helm padaku.
“Udah ya nek! aku berangkat dulu!” kataku mencium tangan nenek.
Motor Kevin berjalan perlahan. Tubuhku begitu hangat dan kepalaku terasa terbebani oleh besi yang berat. Perlahan, tanganku memeluk tubuh Kevin dan kurebahkan kepalaku yang pusing di bahu Kevin! Kevin hanya diam. Ia hanya menatap dari kaca spionnya. Dan salah satu tangannya ikut menggenggam tanganku.
Sesampainya di sekolahan, Tia, Mila dan Elo menyambutku ramah.
“Halo Nia? Cie… tangannya masih gandengan aja sama Kevin!” ejek Mila dengan tersenyum. Aku tak sadar kalau tanganku masih di gandeng Kevin. Kemudian cepat-cepat aku lepas gandengan Kevin.
“Kenapa dilepas Nia! kalian cocok kok!” ledek Elo dengan senyum-senyum.
“Udah ah! bercandanya. Aku mau ke kantin mau ikut nggak? Aku traktir deh!” kataku mengalihkan perhatian.
Sesampai di kantin, kepalaku tiba-tiba pusing, penglihatanku kabur. Yang kulihat hanya pandangan buram. Yang kurasa aku ingin berteriak. Terlihat sekilas Kevin menatapku tapi tatapan itu begitu berarti.
“Nia mau pesan apa?” tanya Tia.
“Teh hangat aja!”
“Kamu Kevin?” tanya Tia kembali.
“Jus avokad!” jawab Kevin singkat.
Pandanganku tak kabur lagi, tapi kepalaku masih sakit. Ku coba tepis rasa sakit itu dengan membalas tatapan Kevin.
“Nia…” Kata Kevin dengan berpindah duduk di sampingku.
“Ya… !”
“Apa mungkin persahabatan bisa menjadi cinta ?” tanya Kevin membuatku kaget.
“Kenapa tanya begitu ?” tanyaku padanya.
“Karena aku punya perasaan lain sama kamu yang aku rasakan adalah cinta !” kata Kevin dengan menggenggam tanganku.
“Cinta? apa itu juga yang aku rasakan saat ini. Aku juga merasakan hal yang sama. Kamu tahu aku membenci cinta karena cinta itu telah membuat Ayah dan Ibuku berpisah tapi, tanpa cinta aku tak kan lahir.” kataku tiada henti
“Aku pernah menurunkan sebuah cinta. Kadang aku ingin merasakan itu tapi bila cinta itu membuatku bahagia. Tapi, jika cinta itu membuatku sakit, aku tak mau merasakanya. Sedikitpun!” tambahku kembali.
“Tapi, aku akan buat cinta itu indah dan akan membuat rasa cinta itu bahagia” jawab Kevin dengan tersenyum.
“Aku mau merasakan cinta asal rasa itu membuatku bahagia” kataku dengan tersenyum dan menghempaskan kepalaku di bahunya. Kepalaku bertambah pusing, pandanganku kembali kabur. Terlihat samara-samar bahu Kevin ada darahnya. Belum sempat aku berkata aku langsung tak sadar diri.
Ku buka mataku perlahan. Yang kudengar hanya suara-suara tak jelas. Yang kucium hanya aroma obat-obatan dan yang kulihat hanya gambar buram. Kemudian kupejamkan kembali mataku. Di sampingku ada Kevin. Di sofa ada Ayah dan Ibu yang tidur, dan sofa lainnya ada nenek, Tia, Mila dan Elo. Tak beberapa lama kemudian aku sadar bahwa aku tadi bermimpi dan ketiduran. Perlahan dan pasti aku buka mataku. Yang ku lihat hanya Kevin. Ketika aku bangun Kevin menyambutku dengan menciptakan bulan sabit di bibirnya.
“Kamu udah siuman?” tanya Kevin dengan tersenyum.
“Mana lainnya? kamu sendiri? Mana Ayah dan Ibu? aku mau pulang!” Kataku bertanya tiada henti.
“Sut” jawab Kevin dengan menutup mulutku dengan jari telunjuknya dan masih mengibarkan senyumannya.
“Nenek dan Bik Imah pulang, kasihan nenek, dia kecapean. Tia, Mila dan Rio baru saja pulang. Ayah dan Ibumu belum datang!” jelas Kevin
“Berapa lama aku tertidur di sini?”
“3 hari!”
“Tiga hari? Ayah dan Ibu belum menjengukku? Keterlaluan!” kataku kasar. Kevin mencoba menenangkanku tapi emosiku tak bisa kutahan lagi. Akupun pingsan gara-gara emosiku yang tak stabil dengan kondisi tubuhku.
Malam datang. Ayah dan Ibu belum juga datang. Di luar ada Nenek dan Bik Imah. Kevin masih sibuk dengan telfonnya. Aku sedikit-sedikit mendengar pembicaraan Kevin. Kukira ia berbicara dengan orang tuanya, jadi tak terlalu kupermasalahkan.
Esok harinya, Ayah dan Ibu datang. Mereka berbarengan datang menjengukku. Kukira ini titik cerah dari perceraian mereka, ternyata aku salah. Diam-diam Ibu dan Ayah bertengkar masalah tak bisa merawatku. Aku dengan jelas mendengar pembicaraan mereka, karena mereka berbicara dengan keras di kamar rawatku.
“Yah! Ibu! jangan bertengkar!” bentakku
“Nia, kamu sudah bangun nak?” kata Ibu kaget dengan bentakanku.
“Nia maafin Ayah dan Ibu ya sayang” pinta Ayah duduk di sampingku.
“Iya sayang. Kami terlalu sibuk dengan pekerjaan kami. Maafkan Ibu dan Ayah ya!” kata Ibu
“Nia akan selalu maafkan Ibu sama Ayah karena Nia tahu, kalian kerja untuk hidup Nia!” jawabku memegang tangan Ibu dan Ayah.
“Kamu mikir apa?” sehingga kamu sakit ?” tanya Ibu dengan menangis.
“Nia mikir Ibu dan Ayah! Nia pingin Ayah dan Ibu rujuk!” jawabku dengan menaruh harapan pada Ibu dan Ayah.
“Tidak mungkin, kami sudah punya calon masing-masing!” kata Ayah menggeleng.
“Iya sayang permintaan kamu terlalu jauh!” kata Ibu ikut membantah.
“Kalian jahat! kalian tidak mau mengerti perasaanku! tiap malam Nia kesepian. Nia iri dengan teman-teman Nia yang punya keluarga yang utuh! Nia pengen kayak dulu! kalian egois. Nia adalah korban dari keegoan kalian. Nia benci dengan Ayah dan Ibu” Kataku dengan menangis histeris. Keduanya langsung meninggalkanku, tinggal aku sendirian meratapi nasib ini. Kurasakan elusan lembut. Aku menoleh, ternyata nenek.
“Nia, nenek memahami perasaanmu, tapi tentu kamu harus tahu bahwa Ibu dan Ayahmu sudah punya pasangan masing,” nenek tetap mengelus rambutku. Aku hanya mendesah.
“Sekarang kamu telah dewasa tentu kamu harus mulai bisa menerima keputusan orang tuamu itu,” aku tak tahu kata-kata nenek selanjutnya sebab setelah ityu aku tertidur.
***
Matahari bersinar lembut membelai kulit yang dingin akibat malam sunyi. Kini harapan itu hanya sebuah mimpi. Tapi aku beruntung kini aku mempunyai keluarga yang ramai. Mama, Ayah, Ibu, dan Papa, adalah orang tua yang ku sayangi. Mesti Ayah dan Ibu menikah lagi tapi, tak mengurangi kasih sayang mereka padaku. Sekarang aku mulai merasa, karena cintalah semua bisa terjadi dan Kevin? untunglah cinta bisa aku rasakan. Kevin kini menjadi cintaku dalam kehidupan dan hatiku. Pernikahan memang tak selamanya utuh pastilah ada gonjang-ganjing yang mengganggunya. Dan soal pendapat Ibu dan Ayah? tlah ku tanam dalam pendirianku. Dan tak selamanya anak menjadi korban dua insan yang membangkitkan ego sebab itu jalan yang memang telah tertulis dalam suratan takdir tuhan, karena tadir semua yang tahu hanya Tuhan.
Aku bisa berpikir demikian rasanya karena kata-kata nenek tadi malam. Ah, semuanya harus aku terima. Toh sudah ada Kevin di sampingku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto