Jumat, 04 November 2016

Puasa

Oleh : Fara Diba XIPA

Allah mulai menyelimuti bumi dengan gelap namun tiada gulita sebab Dia pun telah menabur berjuta-juta bintang di angkasa raya sebagai pelita yang sungguh indah. Malam ini memang begitu indah sehingga mungkin tak akan terlupa bagiku yang tengah menikmati indahnya malam di penghujung jendela kacaku. Tetapi mungkin karena kantuk telah melanda aku membaringkan tubuhku ke kasur. Sebelum tidur aku masih memandangi gugusan bintang di langit sejenak terbesit apakah bintang-bintang itu menempel pada langit laksana cat air pada kanvas dan bagaimana bila bintang-bintang itu berjatuhan. Namun semua itu sirna, tiba-tiba pandanganku mengarah kepada sebuah benda di samping jendela, entah benda apa itu, yang jelas benda itu ditutupi debu tebal sangat tebal sehingga benda itu nampak abstark. Aku menghampiri benda tersebut dengan perlahan bak aktris sinema elektronik. Aku usap debu yang menyelimuti benda itu, oh ternyata benda itu ialah buku harianku, maklum  telah lama aku tak menyentuh buku tersebut oleh karena itu buku harianku pun tertutup debu tebal. Ku buka buku harian itu, seluruh isi buku tertulis rapi indah bertinta hitam tetapi ada pula yang merah, goresan tinta merah tersebut menggodaku untuk membacanya
*A*
Senin, 01 Juli 2013
Huft, Sanadi kamu tahu nggak hari ini tuh hari yang sungguh membuatku malu, apalagi pada ummi masa aku sudah tsanawiyah sudah baligh pula tetapi menjalani puasa sunnah aja belum bisa. Huh semoga hari ini tak terulang lagi deh. Aamiin
Usai membaca isi buku harian aku langsung tersenyum-senyum sendiri dan mengingat masa laluku ketika aku duduk di bangku kelas satu madrasah tsanawiyah terapalah-apalah lah kalau dibilang.
*A*
Pagi itu sungguh pagi yang begitu panas. Daripada aku lari-larian main yang nggak jelas mending aku nulis Al-Quran karya tanganku sendiri aja, tetapi salah seorang temanku mengajakku ke kantin, tanpa berpikir panjang ajakan itu pun ku terima dengan senang hati.
“Kamu mau beli apa Ra?” tanya temanku, Azza sembari melihat menu minuman
“Hmm, enggak ah”
“Lho, kenapa?”
“Gapapa”
“Kenapa sih? Kamu lagi nabung, aku traktir deh”
“Enggak deh Za, makaci”
“Kenapa, sih, Ra? Kamu puasa yah?”
“Hmm, yah begitu lah”
“Alah gapapa, toh nggak ada yang tahu. Orang tua kamu kan di rumah” bisiknya ke telingaku
“Ih enggak ah, takut dosa mah Zahranya atuh”
“Nggak papa Zahra, enak lho panas-panas gini beli es”
“Ayo Zahra, hmm enak... seger” sambungnya
Hmm, kesegaran minuman Zahra terasa melewati tenggorokanku, dinginnya, sejuknya, terasa menggoda. Terpaksa aku yang sedang tergoda pun mengiyakannya,  “hmm iyah deh. – Bi, Es cincaunya satu yah”
Sementara Azza tengah asyik meneguk es miliknya, bibi datang membawa segelas es cincau yang berwarna hitam kemerah-merha dengan dua buah bongkahan es krisal khasnya. Sanubariku berperang beda pendapat, apa yang harus aku lakukan, menghabiskan es yang nyata-nyata menggoda didepanku atau ... pikirku.
“Eh Zahra diminum dong” ajak Azza padaku
“Hmm, iyah” jawabku sambil menyeruput ragu es milikku
***
Aku duduk di sofa tamu rumahku sembari berbolak-balik menatap jam dinding dengan raut muka gelisah
“Duh... Ummi pulang dari mengisi pengajian pukul berapa yah? Aduh” keringat bercucuran dari pori-pori kulitku terutama keningku, bahkan perutku pun terasa mulas karena rasa bersalah yang menyerang seketika
Tak lama kemudian, Ummi tiba berjalan kaki “Assalammu’alaikum, Zahra sudah pulang nak?”
“Emm... Sudah Ummi tadi ada rapat dewan guru di madrasah mangkanya murid-murid pulang cepat”
“Oh gitu toh... Eh, bagaimana puasa sunnah Zahra? Masih lanjut kan?”
Nah, karena pertanyaan Ummi tersebut bibirku terkunci erat. Aku bingung mau jawab apa. Tadi sebelum Subuh aku memang sahur dan niat puasa sunnah Senin dan Kamis bahkan aku pun telah berdoa agar aku kuat menjalankan ibadah puasa ini. Tapi masalahnya aku tidak kuasa melihat temanku minum es. Air liurku menetes, oleh karena itu aku memutuskan untuk buka puasa sebelum waktunya
“Bilang nggak yah. Bilang... enggak... bilang... enggak, enaknya bilang apa enggak yah sama Ummi?”
“Zahra? Zahra masih kuat bukan?” Sambung Ummi padaku

“Emm... Iya Ummi, Zahra kuat”
Duh, jadi bohong deh. Aku bingung. Bila aku berkata jujur khawatir Ummi jadi nggak bangga lagi denganku, masa sudah kelas tujuh puasa sunnah nggak kuat
*IF*
Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Adzan magrib telah berkumandang, menyuarakan ajakan kepada penghuni semesta untuk segera menunaikan sholat.
“Alhamdulillah, puasa hari ini tuntas yah” Ummiku mengucap hamdalah seraya menyiapkan hidangan makanan buka puasa.
“Hmm iya Ummi. Ada rendang kesukaan Zahra dipadu kerupuk udang dan nasi hangat, mak nyuus deh, nyam nyam. Ummi memang koki yang luar bisa”
“Ah Zahra bisa aja ngerayu Ummi. Udah ah, mari kita baca doa buka puasa dan sebelum makan dulu”
“Andai Abi di rumah pasti bisa buka puasa bareng juga yah Ummi”
“Iyah, kasihan yah Abi ngisi pengajian di luar kota dari habis Dzuhur sampai sekarang belum pulang-pulang. Semoga Allah selalu memberi Abi kesehatan yah”
“Amin”
Usai menunaikan sholat Magrib aku dan Ummiku mengaji bersama. Rumahku memang selalu diisi dengan berbagai kegiatan ibadah, supaya hidup kian berkah kata ummi. Setelah mengaji Ummi mengobrol santai denganku
“Eh, Zahra tahu nggak kalau kecilnya Abi itu lucu deh. Masa pernah tuh, Abi lagi puasa Ramadhan, lalu waktu siang nggak kuat kan, Abi langsung lari ke sumur belakang rumah. Lalu minum air sumur itu deh. Glek... Glek... Glek, hehehe itu artinya Abi mokel kan. Waktu Eyang tanya sama Abi, Abi menjawab puasanya masih kuat. Tapi nggak lama kemudian, perut Abi mules dan bolak-balik ke belakang. Saat itulah Abi mengaku bila sebenarnya Abi sudah buka puasa duluan dengan air sumur makanya perut Abi mules”
Deg. Kenapa ummi berpikir begitu yah. Pikirku. Jangan-jangan
“Ummi... hmm... Zahra mau ngaku aja deh, sebenarnya... Puasa sunnah Zahra tadi nggak komplet. Zahra tadi beli es di madrasah”
Ummiku hanya tersenyum bijak “Kenapa? Zahra lapar?
“Enggak sih, Zahra cuma kepengen aja gara-gara lihat temen-temen jajan es, gitu aja sih. Hmm, maaf yah Ummi kalau Zahra sudah bohong”
Ummi mengambil mencubit pipiku dengan lembut. “Lain kalau jika waktu puasa sunnah, kalau lagi jam istirahat alangkah lebih baiknya Zahra tidak perlu ikut ke kantin. Zahra bisa pergi ke masjid atau perpustakaan bukan? Inysa Allah nggak bakalan ada godaan yang bikin Zahra mokel lagi. Satu lagi, Allah mengajarkan kita untuk selalu jujur. Jangan berbohong, apalagi untuk urusan seperti ini. jujur saja pada Ummi. Insya Allah kita sama-sama belajar untuk saling memperbaiki diri, oke?”
“Siap Ummi. Eh, sebenarnya Ummi udah tahu yah kalau Zahra mokel?”
“Udah dong. Soalnya tadi Ummi cek dompet Zahra, uang saku Zahra tinggal seribu padahal uang saku Zahra tiga ribu kan? Hmm, Ummi kok merasa Zahra jajan yah di madrasah”
“Wah, Ummi berbakat jadi detektif!”
Aku dan Ummiku tertawa serempak. Sungguh keluarga yang harmonis. Dengan kejujuran di dalamnya membuat hidup semakin berkah.
*IF*
Ha? Ya Allah ampunilah dosa hamba sebab dahulu hamba pernah mokel diwaktu kecil.
Aku langsung berlari mencari-cari Ummi. “Ummi, Zahra minta maaf sama Ummi” Aku memeluk Ummi yang tengah berbincag dengan Abi
“Zahra, Zahra kenapa nak?”
“Zahra” sambung Ummiku
“Kamu ini kenapa toh Ra?” tanya Abi
“Enggak kenapa-kenapa Bi, Zahra tadi nemuin buku harian Zahra, Zahra baca, ternyata dulu Zahra pernah mokel Bi” Jelasku pada Abi
Ummi tersenyum-senyum “Itu kan dulu Zahra, yang penting kan sekarang kamu tak pernah mokel lagi. Hmm, Abimu dulu juga pernah kok”
“Ih apaan sih Ummi” Abi menyenggol bahu Ummi
“Ih benarkan Bi. Hmm, jadi gini yah Zahra, Abi pula nih, jadi yang lalu biarlah berlalu, yang penting sekarang kita sama-sama belajar tak melakukan hal itu”
“Tapi Mi”
“Tapi?”
“Tapi...”
“Sudahlah Zahra, tiada apa. Kemarin adalah pembelajaran untuk kita semua”
Aku mencium tangan Ummi dan Abiku “Maafkan segala kesalahan Zahra yah Bi, Ummi”
“Iyah nak” jawab mereka bersamaan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto