Jumat, 29 Januari 2016

Menghujam Jantungku



Oleh: Desy Lusiana (XI IPA)

Aku ingin menceritakan sepenggal kisah tentang diriku, tentang aku yang hidup dengan jantung seorang pria. Jantung itu selalu berdegup ketika aku sedang sedih, ketika aku sedang sendiri. Namaku Olivia, dulu aku pengidap penyakit jantung, entah apa yang membuat jantungku tak bisa normal seperti orang-orang awam. Setiap hari aku hanya bisa terkulai lemas di atas ranjang sambil menunggu ada pendonor yang mau merelakan jantungnya untukku.
Tiada hari yang istimewa untukku. Semuanya membosankan, setiap hari aku hanya ditemani laptop, alat-alat tulis, gitar dan sebagainya. Hanya tulisan-tulisan dalam diariku, coretan-coretan kecil dimana-mana, lagu-lagu ciptaanku dan semua hasil karyaku tanpa bercurah. Aku memang bisa dibilang pandai dalam bidang tulis-menulis. Tapi aku tak pernah ingin menunjukkan hasil karyaku kepada orang lain. Akupun memiliki semua yang aku inginkan hanya satu yang aku tidak punya, yaitu kebahagiaan.
Suatu hari, aku nekat keluar rumah dengan keadaanku yang tidak stabil. Aku berjalan menyusuri jalanan mulus melewati komplek tempat aku tinggal. Belum jauh dari tempat tinggalku rasanya kaki ini sudah mulai tak kuat menompang berat tubuhku, nafasku mulai tak beraturan. Aku duduk di tepi jalan, sambil membiarkan kakiku berselonjor ditepi trotoar.
Tiba-tiba ada yang datang, dia memanggilku dari kejauhan “Oliv, Oliv!” serunya sambil berlari menghampiriku, aku yang sedang merehatkan tubuh hanya bisa menengok dan tak menghiraukannya.
Aku lihat dia tengah berlari ke arahku, “Hai kamu Oliv kan? Putrinya bapak Frans?” tanyanya ketika sudah dihadapanku, aku yang merasa tidak asing dengan wajahnya, namun aku lupa akan namanya segara menjawab, “Iya saya sendiri, maaf Anda siapa ya?” jawabku seraya mencoba berdiri, tapi mungkin karena tubuhku menolak hampir saja aku terjatuh untung saja dengan sigap dia memegang tanganku agar aku tidak jatuh.
“Aku Fariz, apa kamu sudah lupa? Aku teman kamu waktu di kampung dulu? Ingat?” jawabnya sambil menuntunku dan membawaku kembali kerumah.
“Oh putranya om Heru? Iya saya ingat, bagaimana kabarmu Riz? Dan kamu sekarang tinggal dimana?” tanyaku disela nafasku yang tersengal-sengal.
“Alhamdulillah, baik kok. Kebetulan aku baru pindah ke rumah yang berada di depan rumah kamu.”
“Eh iya kamu ngapain disini Oliv, kamu kan sedang sakit, sebaiknya kamu istirahat di rumah, nggak baik jalan-jalan gini, apa lagi kamu sendirian!” Sambungnya.
“Aku bosan di rumah Riz, ayah dan ibuku selalu melarangku main keluar rumah, yah akhirnya aku keluar tanpa sepengetahuan mereka, by the way, makasih ya sudang menolong aku.” Timpalku.
“Iya sama-sama Liv, sudah kewajiban aku buat menjaga kamu dari dulu, iya kan?” jawabnya sambil terus menopangku agar tidak jatuh dan mengantarkanku pulang.
Fariz adalah anak dari sahabat ayahku ketika dulu kami masih tinggal di desa. Dia juga yang selalu menjagaku setiap saat. Tujuh tahun yang lalu kami pindah ke kota karena kantor ayah memindahkan tempatnya bertugas. Jadi kami menetap di kota dan kini Fariz ikut ke kota karena dia kuliah dan kebetulan ayahnya sedang mengembangkan bisnis di sini. Jadi dia pindah bersama keluarganya ke kota dan kebetulan rumahnya di depan rumahku. Dia diberi amanat oleh ayahku yang kini sedang berada di luar kota untuk bekerja. Mungkin beliau khawatir pula dengan aku. Tapi tak apalah toh ini demi kebaikanku pula.
Sesampainya di rumah ternyata ibu menunggu di depan pintu dengan raut wajah yang sangat tegang, ketika melihatku di bopong oleh Fariz, ibu langsung menghampiriku dengan perasaan cemas. Fariz pun berpamitan karena harus membantu ayah dan ibunya membenahi barang-barang.
“Saya pamit bu, tadi kan baru datang, mau bantu papa sama mama dulu, besok saya ke sini lagi!” serunya.
“Iya Nak, terima kasih sudah mengantar Olivia pulang!” Jawab ibu yang dibarengi senyum manis.
“Sama-sama bu.” Dia melempar senyum dan berlalu.
Ibu yang sedari tadi khawatir langsung membawaku ke kamar.
“Kamu kemana saja Oliv, ibu khawatir sama kamu! Kalau kamu mau keluar bilang sama ibu, lagian kamu kan belum sehat betul sayang.” Tanyanya penuh kecemasan.
“Maafkan aku Ibu, aku kayak gini karena aku bosan di kamar terus, aku bosan jalani hidup seperti ini, harus selalu menunggu, menunggu dan menunggu. Oliv capek bu!” jawabku.
Ibu lalu memelukku. “Maafkan ibu nak, maafkan ibu yang tidak bisa memberimu kebahagiaan”. Kamipun larut dalam kesedihan.
Keesokan harinya aku di kagetkan dengan adanya boneka kucing Doraemon yang tiba-tiba ada di sampingku, aku lihat tidak ada nama pemberinya

Tok tok tok...
Terdengar suara ketukan pintu kamarku, aku pun bangun dan membukakan pintu itu.
“Pagi manis!” suara itu mengagetkanku, dan ternyata dia adalah Fariz.
“Haduh Fariz, kebiasaan deh. Ada apa?” tanyaku,
“Nih buat kamu, gimana bonekanya? Suka?” tanyanya kembali sambil memberiku sebuah bunga mawar cantik.
“Oh, jadi kamu yang ngasih aku boneka itu? Makasih ya Fariz aku suka banget, tahu aja kalau aku suka banget sama Doraemon.” Jawabku sembari memberi senyuman manis.
“Iya dong aku nggak akan lupa kesukaan sahabatku yang manis ini” jawabnya sambil membalas senyumku. Dia memandangiku lama dari biasanya, tatapan matanya berbeda dari tatapan mata biasa. Aku yang sadar akan tatapan mata itu segera mengajaknya masuk dalam kamar. Kami berbincang-bincang lama sekali sambil melepas rindu. Wajar saja setelah 7 tahun kami tidak bertemu, kami sangatlah rindu.
 “Itu gitar? Kamu bisa mainnya apa?” tanyanya sambil menunjuk gitarku yang tersandar di
sisi tempat tidurku yang lain.
“Bisa dong, kalau kamu?” jawabku sambil mengangkat gitar itu dan memberikannya pada Fariz ”pasti bisa dong! Kita nyanyi bareng yuk!” jawabnya. Kemudian dia mulai memetik satu persatu senar gitar itu dengan lembut.
“Segenap hatiku kepersembahkan untukmu
Seluruh jiwa ku persembahkan untukmu
Sepenuh cintaku merindukan dirimu
Seutuh gejolak membakar hatiku
Seperti cahaya hadirmu di duniaku
Seperti ribuan bintang yang menghujam jantungku.”

“Kau membuatku merasakan indahnya jatuh cinta
Indahnya dicintai
Saat kau jadi milikku
Kau takkan kulepaskan
Dirimu oh cintaku
Teruslah kau bersemi didalam lubuk hatiku.”
           
Kamipun terhening setelah menyanyikan lagu favorit.
“Ternyata lagu favorit kita sama Riz” ucapku sambil melempar senyum kepadanya dia hanya tersenyum dan melanjutkan memetik gitarku melantunkan lagu santai yang membuatku larut dalam iramanya.
Hari-hariku tak lagi sepi semenjak Fariz menemaniku. Dia selalu menghiburku, dia selalu memberiku kejutan-kejutan manis. Dia seperti malaikat yang diturunkan oleh Tuhan untuk bahagiakanku. Aku tak lagi merasa sakit sendiri, dia menjadi semangatku untuk melawan penyakit ini. Meskipun dokter belum menemukan pendonor. Dan hidupku juga divonis tak akan lama lagi. Namun aku tak takut di situ ada Fariz yang membuat hari-hariku penuh dengan kebahagiaan dan lebih bermakna.
Suatu ketika, Fariz diajak oleh papanya untuk ikut mengembangkan bisnis di luar negeri dan menetap disana, aku ingin sekali ikut, karena aku tidak ingin kehilangannya untuk kedua kali.
“Fariz aku ikut!” teriakku sehingga membuatnya menoleh dan menitikkan air mata.
“Tidak Oliv, kamu harus di sini, kamu harus menjalankan pengobatan di sini, aku mau kamu sembuh!” jawabnya. Kemudian aku menangis, dia pun menghampiriku yang terkulai lemas berpeluh-peluh.
Dan dia memelukku, “Aku mencintaimu Oliv, aku akan kembali untukmu!” ucapnya sambil memelukku erat-erat.
“Aku juga mencintaimu,” tiba-tiba, dadaku terasa sakit sekali rasanya aku tak bisa menahannya.
“Aaakkkhhh” teriaku sekenanya, entah apa yang terjadi sesaat kemudian aku tak sadarkan diri.
Beberapa hari kemudian aku siuman. Aku tak tahu di mana keberadaanku sekarang, orang yang pertama kali aku lihat di sampingku ialah ibu.
“Ibu aku di mana?” tanyaku dengan suara yang sangat berat, karena aku merasa lemas sekali.
“Kamu dirumah sakit sayang, kamu telah mendapat donor jantung, kamu akan sehat kembali sayang!” ibu melempar senyum disela tangis bahagianya. Aku hanya bisa membalas senyum itu. Lalu teringatku dengan Fariz.
Dimana dia? Kenapa dia tidak ada bersama keuargaku dan keluarganya yang sedang berada disini?
“Fariz dimana bu? Kok dia tidak ada di sini? Apa dia benar-benar keluar negeri meninggalkanku?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Dia sudah beristirahat dengan tenang Nak, dia yang mendonorkan jantung buat kamu!” jawabnya. Aku yang masih lemah hanya bisa menangis, aku mencoba berteriak namun aku tak sanggup. Aku hanya bisa menangis, aku mencoba mengikhlaskannya.
Ibu yang dari tadi melihatku termenung dan menangis, dia hanya bisa melihatku.
“Oh iya sayang, sebelum Fariz mendonorkan jantungnya untukmu, dia menitipkan ini pada ibu untuk kamu!” sambil memberikan sepucuk surat dari fariz untukku.
“Olivia, sekarang kamu pasti sudah sadar kan? Alhamdulilah, aku senang mengetahui ini. Meskipun aku tak lagi bisa berada disampingmu lagi, tapi percayalah Oliv, jantungku akan selalu menjagamu. Dia yang akan menggantikanku ketika kamu sendiri, ketika kamu sedang sedih. Dan ingatlah Oliv, ketika kamu mengingatku, jantung itu akan berdegup, ketika kamu merasa kesepian jantung itu akan berdegup, ketika kamu merasa sedih jantung itu akan berdegup. Maka kamu akan merasa kalau aku akan selalu ada disampingmu walau ragaku tak menemanimu. Dan bila kau merinduku, ambil gitarmu, lantunkan lagu menghujam jantungku. Maka kau akan merasakan kehadiranku di sampingmu. Karena hanya kamu yang mampu menghujam jantungku.
I Love you Olivia, I Love You.
Aku mencintaimu”
Salam kasih
Fariz

Itu pesan terakhir yang aku dapat dari Fariz. Dan aku akan berusaha untuk selalu menjaga jantung ini. Aku akan merawat jantung ini dengan baik.
Itu yang selalu membuatku semangat dan terus bersyukur dengan di berikannya kesempatanku untuk tetap menjalani hidup didunia ini.
Terima kasih Fariz, ragaku mungkin tak lagi ada jikalau jantungmu tidak ada diragaku. Kukan selalu menjaganya.


Komentar:
Ceritanya berkesan dengan adanya pengorbanan tokoh Fariz, dalam cerita ini dijelaskan pesan moral secara tersirat bahwa pengorbanan tidak selalu menyakitkan, akan tetapi dari pengorbanan mampu memunculkan kebanggaan, kebahagian, dan ketenangan. Hanya yang menjadi masalah kenapa tidak dijelaskan sebab Fariz mendonorkan jantungnya. Ditambah lagi Ide cerita yang berkesan ini tidak didukung dengan penggunaan gaya bahasa dan diksi variatif sehingga bahasa yang dipilih terlihat monoton. Terus berlatih dan gunakan kritikan sebagai motivasi untuk terus maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto