Jumat, 29 Januari 2016

Undangan yang Menyesakkan



“Assalamu’alaikum,” suara cempreng mengganggu keasyikanku membaca koran, pagi itu.
“Wa’alaikumsalam, ada apa, Mas?” tanyaku penasaran.
“Benar ini rumah Pak Sodron?”
“Benar, ada yang bisa saya bantu?”
“Tidak, Pak, hanya mau mengantarkan undangan dari Mas Akhya.” Dijulurkannya undangan yang dibawanya, aku terima dan langsung aku baca, siapa gerangan Akhya ini. Rasanya-rasanya aku pernah kenal.
“Terima ka...” hem, rupanya pemuda tadi telah meninggalkanku. Mugkin dia pamitan tapi aku tidak menghiraukannya.



Kembali aku menikmati koran halaman cerpen, kesukaanku. Undangan segera kulempar ke tempat biasanya. Biarlah dia bercengkrama dengan teman-temannya yang beberapa hari lalu telah kuterima. Sama! Dari para kurir undangan yang aku tahu mereka mengantarkan undangan itu tidak mungkin gratisan.
Zaman sekarang, mana ada orang mau dengan tulus ikhlas mengantarkan undangan hajatan dengan gratis. Rasa ikhlas memang sudah sulit ditemukan, segalanya dihitung dengan rupiah.
Apalagi hajatan yang diadakan. Sudah dianggap perdagangan dengan menghitung untung rugi. Hah, gara-gara undangan pagi itu, aku jadi tidak bisa konsentrasi membaca koran yang ada ditanganku. Aku lipat dengan kasar dan kubuang di kursi tempat dudukku.
“Ada apa, Mas. Kelihatannya koq kesal banget?” tanya istriku. Rupanya dia tidak sengaja menangkap kekesalanku di pagi yang semestinya kurasakan cerah, sebab hari ini adalah hari libur.
“Itu, tuh lihat di rak koran. Belum lagi sepuluh undangan yang aku terima kemarin dilaksanakan, eh sudah ada undangan lagi, seingatku itu muridku yang baru lulus empat tahun yang lalu.” Jawabku dengan kesal.
“Sama murid koq nggak hafal!” istriku menimpali.
“Kamu tahu sendiri, kan, aku ini tipe orang yang gampang lupa. Apalagi si Akhya ini dulu di sekolah biasa-biasa saja jadi susah sekali aku menghafalnya.”
“Gimana mau hafal, wong yang dihafal cuma aku ini, muridmu yang paling pintar dan paling cantik, he he he.”
“Wah, kalau itu, sih jangan dibahas, Dik. Memang kamu itu muridku dulu yang paling pintar, lincah, gesit, dan cantik lagi. Makanya jangan salahkan kalau aku memilih kamu.”
“Nah, itu sebabnya pean1) nggak bisa hafal murid-murid lain, wong di hatimu cuma ada aku, tho.” Kataku istriku genit sambil mengerlingkan matanya.
“Siapa bilang, sekarang ada 2 cewek lagi lho yang paling aku ingat selain kamu!” kataku menggoda istriku yang perayu ini.
“HAH, siapa dia!” istriku bersungut-sungut.
“Eits, lupa ya, kita kan udah punya 2 putri yang manis-manis dan lucu. Itu yang mengisi hatiku selain kamu!”
“O...h,” istriku melongo dengan huruf –O-nya. Kelihatan dia tersipu malu. Dan ngeloyor pergi.
“Hei...jangan pergi, pembicaraan kita mengenai undangan belum selesai!” teriakku pada istriku yang malu-malu karena kecemburuannya tadi.
“Males aku, mau nggak mau kita ya tetap harus bowoh tho?” teriak istriku yang sudah sampai dapur. Aku hanya bisa termangu sendirian.
***
“Ayo... Dik, sudah setengah jam masa’ nggak selesai juga. Pean mau aku karatan di teras?” teriakku pada istri yang berdandan mematut diri di depan kaca. Huh, kalau urusan dandan istriku paling jago lamanya. Padahal menurutku tanpa meriaspun dia sudah kelihatan cantik, menurutku, sih.
“Ayo bu...epetang, apek Ani unggu ibu gak lesai-lesai,” teriak putri kecilku dengan suara cadelnya. Maksudnya dia capek menunggu ibunya yang nggak selesai-selesai dandannya, ibunya disuruh cepetan.
“Tara... ibu sudah selesai. Ayo berangkat!” istriku muncul dengan dandannya yang pas. Hem, dalam hal ini aku akui istriku memang jago dalam merias wajahnya sendiri. Kecantikannya semakin kelihatan. Tapi jangan GR dulu, sebab aku ini termasuk pelit dalam memuji.
“Huh, wong ya tetap kelihatan begitu saja, selesainya lama banget!” kataku menggoda dia. Dapat diduga cemberut menghias wajahnya.
“Mas, selalu begitu, nggak ngurus, ayo kita berangkat.”
Jadilah malam itu aku ke kondangan Akhya. Di perjalanan tak henti-hetinya dua putri kecilku ngomong masalah bowoh. Mereka paling suka kalau diajak kondangan. Bahkan mereka sering menangis jika mendengar ada suara sound system dari jauh tapi mereka nggak kuajak bowoh2). Mereka tak tahu bahwa bowoh bukanlah kegiatan gratis. Aha...aku jadi ingat amplop tadi sudah aku bawa apa belum, ya?
“Dik, aku belum bawa amplop, pean sudah siapkan?” tanyaku setengah berteriak pada istriku yang di belakang.
“Beres, Mas. Sudah aku bawa dua amplop untuk pean dan untuk aku,” jawab istriku. Ah.. lega rasanya, sebab aku paling sebal kalau bepergian ada yang terlupa dan harus kembali pulang. Kegiatan seperti itu paling menjengkelkan.
Pean isi berapa?”
“Biasa Mas, pean tiga puluh, aku dua puluh.”
“Sip, memang harus dipaskan segitu.”



“Iya, Mas aku tahu, kita ini penghasilan masih kecil, kalau dibuat sombong-sombongan bisa bangkrut kita.”
“Koq, bangkrut, memangnya kita ini dagang?” kataku pura-pura nggak tahu.
“Halah, kayak nggak tahu saja. Bulan-bulan begini kan banyak undangan, lha kalau kita nggak mengontrol keuangan. Hutang bisa menumpuk lagi, Mas.”
“Bagus, istriku memang pintar. Ya sudah tak konsen setir sepeda.”
Hanya sekitar lima belas menit aku sampai di tempat acara. Sambutan tuan rumah tak seperti yang kubayangkan. Aku hanya disalami dan sama sekali tidak dipersilakan duduk. Benar Akhya ini memang muridku dulu. Tapi sepertinya dia tak begitu mengenalku. Aku jadi bertanya-tanya kenapa dia mengundangku?
Hampir sepuluh menit nasi tidak datang, dua putriku merengek minta pulang karena nggak makan-makan.
Yah, ayo ulang, eyung Ana yapar, koq nggak atang-atang ce asinya?” kali ini Ana yang lebih cerewet bertanya-tanya kenapa nasinya nggak datang-datang padahal perutnya sudah lapar.
“Sabar, ya sayank, itu ada Bapak yang ke sini membawa nasi,” memang benar nasi itu akhirnya datang. Anakku langsung melahap nasi itu sampai tandas, dalam hati senang juga melihat mereka suka makan. Sayangnya itu adalah jatahku dan istriku, anakku tidak ditawari sehingga aku cuma menerima dua piring. Mau minta empat piring, sungkan dikiranya kami ini keluarga krungsapan alias nggrangsang3).
Sambil menahan lapar, karena aku tadi di rumah memang sengaja tidak makan, kulihat dari jauh Akhya ngomong akrab dengan teman-temannya yang baru datang. Sedangkan aku sampai detik ini tidak juga diliriknya. Entah dianggap apa aku ini, sedangkan tamu undangan tidak banyak-banyak amat, sehingga mustahil jika dia tidak melihat tempat dudukku.
“Mas, sebetulnya yang nggak ingat itu pean apa si Akhya ini, koq dari tadi pean nggak dihiraukan?” tanya istriku, rupanya dia gelisahnya sama dengan aku.
“Nggak usah dibahas, Dik. Kita pulang saja, tuh, anak kita sudah selesai makan.”
Kami berempat bergegas pulang. Amplop kusiapkan untuk dimasukkan meja khusus. Akhya aku pamiti, dia menyalamiku sambil duduk dang langsung ngomong lagi dengan teman-temannya, tak ada ucapan terima kasih. Rupanya aku harus menahan kekesalanku lebih dalam ketika sampai di meja terima tamu, aku cuma dikasih 2 botol minuman karbonasi, tak ada yang lain, apa yang aku bawa ini sama persis dengan tamu undangan lainnya.
Hal inipun tak luput dari perhatian istriku.
“Mas, koq cuma dikasih begini ya, kemarin kita bowoh ke murid pean yang lain kita kan dapat bingkisan khusus, bahkan kita juga ditonjok4) dengan seember makanan dan kue-kue?”
Pean ini, Dik dari tadi koq cerewet ya, sudah, nggak usah dibahas ayo segera pulang.” Istriku langsung terdiam. Rupanya kekesalanku malam ini akhirnya tertumpah pada istriku, dia jadi sasarannya. Kasihan istriku, tak bersalah kenapa aku marahi.
***
Begitulah, undangan demi undangan dari berbagai kalangan silih berganti datang memenuhi rak koran di ruang tamuku. Mulai dari teman guru, teman sekolah atau kuliah, tetangga, dan tak lupa dari beberapa murid yang akrab ataupun yang tak begitu aku kenal.
Selain murid aku dengan antusias datang karena itu aku anggap sebagai ajang silaturrahim yang kebanyakan memang terputus karena memang aku tidak berhubungan dengan mereka.
Namun dari murid, entah mengapa sampai sekarang aku kurang bisa menerima. Sebetulnya aku tak boleh berperasaan begini, anggap saja itu sebagai bentuk sedekah. Namun tetap saja niat ikhlas seringkali terbentur dengan sambutan dari beberapa murid yang seakan-akan menganggap kedatanganku sebagai tamu biasa, alias tidak istimewa.
Salahku juga yang ingin diistimewakan. Tapi bagaimanapun aku ini manusia biasa yang tak bisa menahan perasaan ingin dihargai.
Apalagi kalau sudah bicara isi kantong, sampai bolong kantongku hanya untuk bowoh.
“Kita anggap saja, Mas, bowoh kita sebagai tabungan kita, toh suatu saat kita nanti punya hajatan juga, kan?” Kata istriku suatu ketika.
Langsung saja aku bersungut-sungut, “Maaf, Dik, jangan sekali-kali berperasaan demikian. Aku tak pernah mengharapkan balasan, pean tahu sendiri, kan. Aku paling nggak suka punya hajat, sebab aku nggak ingin acara kita malah menyusahkan orang lain.”
“Oh, ya, aku lupa, Mas. Pean punya pendirian begitu, makanya dulu undangan nikah kita cuma seratus, padahal teman pean kan bisa sampai ratusan waktu itu.”
“Itulah, dik, seratus itu saja dulu rasanya gimana... gitu. Seperti tukang tagih saja!”
Hari berjalan seperti biasa, undangan masih juga mengalir tanpa bisa dicegah. Memang sih, ada satu dua yang aku tidak datang selain kadang karena nggak punya uang ada yang tak sudi aku datang karena yang mengundang benar-benar aku tidak kenal.
Di sekolah, seringkali tonjokan datang dari wali murid yang punya hajat. Kalau yang begini wajib hukumnya guru datang ke rumahnya, sebab tonjokan dianggap sebagai undangan wajib, haram hukumnya kalau tak bowoh.
Jika demikian, seringkali aku hutang sama teman atau TU sebab kantong memang sudah benar-benar bolong. Bertahun-tahun berjalan demikian hingga ini sudah dianggap wajar atau lumrah.
Dan akhirnya kabar gembira itu datang dari kebijakan kepala sekolah salah satu tempatku mengajar. Dan itu disampaikan pada pertemuan seluruh wali murid saat penerimaan rapor.
“Ibu-Ibu dan Bapak-bapak yang saya hormati, ini yang terakhir kali saya sampaikan setelah saya uraian kebijakan sekolah tadi. Mulai saat ini setiap wali murid yang punya hajat dilarang memberi tonjokan ke sekolahan. Sebab saya tahu tujuan Bapak-Ibu mengirim itu selain sebagai syukuran, secara tidak langsung juga mengundang kami ini selaku guru putra-putri Bapak-Ibu untuk datang ke rumah jenengan. Datang ke rumah jenengan apalagi kalau tidak bowoh?” Waduh kasar juga kata-kata Kepala Sekolahku ini.
“Maaf, Pak!” salah satu wali murid mengacungkan jari.
“Ya, silakan,” Bapak Kepsek memberi waktu.
“Kami tak pernah berpikiran seperti itu, kami ikhlas mengirim tonjokan. Bapak-Ibu guru tidak datang ke rumah, kami tidak akan mempersoalkan.” Nah, kan, pasti ada yang protes demikian.
“Ya, itu mungkin sebagian perasaan Bapak-Ibu wali murid. Tapi Anda tahu, kan. Adat bowoh sudah mendarah daging. Kami tidak enak jika ada tonjokan tapi kami tidak bowoh. Kalau boleh jujur, honor kami sebagai guru jauh di bawah gaji karyawan pabrik. Makanya saya sangat keberatan jika guru-guru saya harus selalu bowoh jika ada tonjokan dari saudara-saudara.”
“Maka, mulai saat ini saya ambil kebijakan, siapapun wali murid yang punya hajat dilarang memberi kiriman jajan atau makanan ke sekolahan. Seandainya tetap saja ada yang mengirim kami ucapkan terima kasih. Dan yang pasti guru-guru tidak akan bowoh. Mohon maaf jika kebijakan ini menyinggung perasaan bapak-Ibu semua.” Bapak Kasek menyudahi pertemuan.
Memang sejak saat itu tonjokan banyak berkurang. Rupanya benar dugaan Bapak Kepala sekolah. Dan yang pasti meski dapat tonjokan kami para guru tak pernah bowoh kepada si pengirim. Bagaimana mau bowoh kami para guru memang nggak punya anggaran khusus untuk itu.
Setidaknya kebijakan Bapak Kepala Sekolah ini yang memang menyinggung perasaan banyak orang mengurangi pengeluaranku untuk menghadiri undangan. Dan aku perlu acungi jempol kepada beliau. Dan yang lebih penting lagi kebijakan tersebut mengurangi beban dosaku yang selalu ingin diistimewakan oleh murid yang mengundangku. Suatu perasaan yang sampai sekarang tak bisa aku tepis apalagi aku buang. (www.catatansangguru.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto