Jumat, 29 Januari 2016

Dinding Buta Membunuh Aroma



 Oleh: Ainun Ainiyah (IXD)
Percikan logat api naga berdecak pada setiap sudut angkasa. Kedua bola hitam putih itu menyorot tirai tirai cahaya emas. Sesaat cahaya itu tergelincir. Namun, cahayanya mengekal. Merangkak terbirit birit di bawah tanah ilalang. Burung pipit berterbangan, mengikat pusaran pusaran rumit tak karuan bak benang kusut. Baskara itu perlahan lahan cahayanya temaram ke paraduannya.  
Saat mentari tertidur tersedu, putri malam terbaring sendiri tersedu. Mencangar gerang merangkaki dinding buta. Merindukan pelangi sutra senja. Mengharapkan 1001 podium mimpi untuk Sang Ayah. Setiap aku melangkah selalu bergandeng dengan tangan mungilmu. Aku ingin berjalan seperti angin. Memberi semilir cinta untuk Ayah.
Malam yang penuh mimpi. Langkahku di setiap jalan terlucut debu. Ayah bersendu  sendiri jemu. Bersandar pada dinding anyaman bambu. Nampak rasa lelah para dirinya. Membanting tulang di setiap pagi hingga malam demi semangkuk nasi. Tubuhnya kurus, hanya berisi tulang dan berbalut kulit. Mimpinya, menjadikan bintang bintangnya berada dalam kebahagiaan. Aku meliriknya dari sudut mataku. Di balik daun pintu setengah terbuka, tubuhnya rengkik kelelahan. Sungguh, keteguhan cintanya sangat tulus. Tak dapat diukur oleh alat apapun.
***
Butiran embun embun itu menetes di rerumputan. Di atas batu rerumputan ini terdapat kelopak mawar tersellip embun. Perlahan lahan ufuk orange mulai Gemelitir angin berhembus dingin, menusuk pori pori kulit. Namun embun dingin itu tidak melebihi kakiku yang lumpuh.
‘Aku merangkaki dinding buta. Mencoba menemukan setitik cahaya. Selama darah ini mengalir, tetap ku coba untuk membongkar dinding itu. Menikmati kehangatan rawa di antariksa.’
Julihat sepang kupu-kupu berkejaran. Terbang menembus kabut. Ia bergerak sampai di ujung puncak. Menikmati nektar-nektar bunga. Aku mencoba untuk tersenyum manis. Berbuat lugas apa adanya.
Ayah membiarkanku berguling di atas rerumputan basan. Tubuhku baralas selembar tikar lais. Lama aku berfikir, apakah hidupku akan terus seperti ini?. Hanya bisa melamun dan bersikap posesif kepada Ayah?. Aku ingin membuka lembaran-lembaran baru, serta puing puing kebahagiaan. Membuka podium kesuksesan untuk Ayah.
Ayah mengajakku keliling desa. Menggendongku tanpa rasa letih. Tangannya menunjuk pada keindahan permadani alam. Tubuhku ia letakkan di atas tanah lapang. Merangkak terbirit-birit di bawah hamparan angkasa.
“Ayo melangkahlah Nak. Jemputlah angan dan impianmu. Lihatlah!, Lembah, gunung, sungai, mereka saling menjaga mimpi. Orang yang memiliki kekurangan bukan berarti segala kehidupannya kurang. Rencanakan impianmu sebaik mungkin, dan laksanakan sebaik mungkin. Impian tidak akn terwujud jika tidak kau laksanakan.” Wejangan yang diberikan Ayah.
Hatiku getir setelah mendengar wejangan Ayah. Menghanyutkan alur nafas setiap gumpalan darah. “Aku tidak sekolah, bagaimana aku bisa pandai?. Aku adalah orang yang tidak berpendidikan.” Ayah menyahutnya “Tidak. pendidikan tidak 100%  menjamin kesuksesan. Banyak orang di luar sana yang jenius. Berlagak sepandai-pandainya manusia. Menjadi orang berpendidikan. Tetapi, hidup mereka belum tentu akan sukses. Keyakinan dan kesungguhan adalah gerbang untuk menakapi gerbang kesuksesan.” Aku menjawab “Baik Ayah, aku tidak akan menyurutkan langkahku, demi meraih mimpiku”. Aku dan Ayah kembali pulang ke gubuk kami.
Senja itu jatuh pada ruang jingga. Sungguh begitu besarnya ciptaan Sang Mestro Agung. Aku berfikir waktu berputar begitu cepat. Berapa kebaikan serta keburukan yang aku jalani setiap hari? Menikmati kehangatan kasih sayang di dalam ruang jingga. Merindukan orang-orang tersayang yang pada akhirnya waktu akan memisahkan kita.
Sunyi. Imajinasiku mulai berkeliaran. Aku berdoa saat cahaya itu  padam “Semoga esok kian rahnat Tuhan memberkati hidupku. Memberikan secercah cahayanya untuk menjalani keterangan jalan hidup .” Menari bersama angin. Perahu-perahu puisi meriak di setiap fikiranku. Jemari-jemari lentik menulisnya dalam kertas-kertas rapuh. Berlayar dalam sahaja dengan ribuan asa. Semua ku untai dalam estitika kata, menebar cinta dalam kata-kata.
Matahari belum terbenam!. Tapi waktu akan terus berputar. Perjalanan demi perjalanan harus ku tempuh. Ayah adalah cahayaku. Tiada kata “Putus Asa” meraih “Cita-cita”.
Batu itu menjerit, tersandung langkah kakiku. Aku tak bisa berdiri. Aku menangis menyerah. Berputus asa mengapa aku menjadi orang cacat?. Sampai kapan aku merenggut kepedihan ini?. Aku rasa Tuhan tidak adil. Sampai aku menunggu pijar pijar itu jatuh di ruang jingga. Hatiku ternyak. Betapa baiknya Tuhan memberi matahari kepada kehidupan bumi. Tuhan Maha penyayang, dia masih memberikan kehidupan bagi InsanNya demi meraih mimpinya. Mataku telah tertutup oleh dinding-dinding buta.
Ayah keluar dari rumah,  mencariku di setiap sudut pantai. “Ayah... Ayah... Aku disini...” Tanganku melambai lambai sebagai isyarat. Ayah berlari kencang. Langkahnya semakin dekat. Dan semakin dekat.
“Apa kamu baik-baik saja Nak?”.
“Aku tidak apa-apa Ayah.”Jawbabku dengan tersenyum manis.
“Maafkan Ayah lupa untuk menjagamu. Membiarkanmu sendiri di depan pantai.” “Itu bukan salah Ayah. Itu pintaku Ayah. Biarkan aku menikmati keagungan Tuhan. Melihat hamparan angkasa bak permadani. Intan-intan permata menusuk tilgram senja. Berumpun di ruang jingga.”
Tangan besi Ayah itu menggendongku di sepanjang pesisir pantai. Getaran-getaran kelumpuhan ini membekukan kepedihan yang mendalam. Sudah 17 tahun aku hidup lumpuh. Tuhan belum memeberiku keajaibannya. Aku tak mau hidup lumpuh  hingga berumpun tua. Harapan dan doa yang aku kuatkan.
Deburan ombak purus saling berkejaran mencumbu pantai. Awan-awan itu berganti menjadi suasana gelap. Hanya ada satu rembulan bertabur gemerlap bintang. Lukisan yang samar di tengah bulan. Nampak sosok perempuan berjubah putih. Tersenyum manis untukku. Perempuan itu memang Ibuku. Seseorang yang mengorbankan jiwanya demi kelahiran anaknya. Menyeret sejarah di zamam dulu. Ku ingin merasakan kehangatan dekapanmu. Namun, aku hanya bisa melihatmu pada keindahan dewi malam.
***
Sang surya masih . Mataku menyorot setiap sudut dinding pantai. Jejeran pohon kelapa menjulang langit. Di ujung barat nampak bebatuan besar menjulang. Sedangkan di ujung utara nampak gunung-gunung berdiri kokoh.
Ayah sibuk menyiapkan kereta kuda kami untuk merantau ke desa sebrang. Mengunjungi makam Ibu yang sudah tua. Kami rindu padanya. “Nak, ayo berangkat.” Ajak Ayah. “Baik Ayah.”
Kami berjalan menyusuri pedesaan. Desa yang indah, rindang, dan sejuk. Para pekebun sibuku menjalankan rutinitas mereka sebagai pendarah dingin. Pundak mereka menggendong keranjang-keranjang besar. Tangan-tangan mungilnya memetik setiap ujung daun teh.
Aku melihat orang yang terjatuh di sampingku. Wanita tua. Kulitnya keriput. Matanya agak samar-samar. Aku meminta ayah berhenti untuk menololng wanita itu. “Nenek, mari saya bantu.” Tanganku mengulur, memberi bantuan agar nenek itu bangkit. “Siapa namamu cu?” tanya nenek itu. “Nama saya Ainun. Saya tinggal di desa sebrang situ Nek.” Kami bersalaman dan perkenalan. “Terima kasih Cu, kamu memiliki hati yang murni. Meski kamu cacat, kamu bisa menolong nenek. Tuhan akan memberikan keajaiban untukmu Cu.” Doa Sang Nenek. “Amin. Terima kasih Nek. Saya pamit dulu mau ke makam Ibu saya.” Pamitku. Nenek itu menghilang di belakangku setelah aku menunjuk makam Ibu ketika di tengah-tengah pembicaraan. Aku berdiri kebingungan. Biarlah, aku melanjutkan perjalananku.
Nampak batu nisan bertulis “Rukmini” dari kejauhan. Batu nisan diam, tergocap terbelah menjadi dua. Bunga-bunga di atas tanahnya nampak kering keemasan. Aku mnghampirinya dalam jangkauan pandanganku. Langkah kami semakin dekat. Menuju batu nisan itu. Kami duduk di atas tanah kering terbelah-belah. Lafadz doa kami lantunkan khusus untuknya. Rukmini. Malaikatku. Pelita kasih sepnjang hidupku. Airmata membanjiri wajah ku dan Ayah. Keikhlasan untuk kepergiannya. Doa kami akan menyinari tanahmu Ibu.
Senja malaikatku
Berpijak jajak seribu cita
Bermusam sendu-sendu cinta
Wajahnya menjelma pancaran cahaya
Tertidur pulas di dalam putri malam
Sutra putih itu,
menghangatkan kerindangan senja
Terbayang pada ruang jingga
 Untaian sajak rindu untuk Ibuku. Setiap waktu, alunan melodi kata-kata mulai terbentuk. Menjadi suatu syair. Mengekspresikan berbagai fenomena. “Nak, ayo pulang. Hari sudah sore.” Ayah menuntunku naik ke kereta kuda. Lirikanku tetap tertuju pada nisan Ibu. “Sudahlah Nak, ikhlaskan Ibu. Ibu tidak butuh kesedihan dan tangisan. Ibu butuh doa kita. Hapus airmatamu itu. Berjanjilah pada Ibu, besok kau akan menjadi anak sukses. Ibu sudah tersenyum tenang.” “Iya Ayah. Aku bisa. Dan aku pasti bisa.”Jawabku. Disitulah dalam hatiku tertegun, menciptakan ikhtiar menuju kesuksesan. Janji sejatiku, pasti akan terwud itu.
Di tengah perjalanan, bintik-bintik air hujan menetes kelopak mataku. Serbuk-serbuk itu makin lama makin deras membuat tubuh Aku dan Ayah basah kuyup. Kami bersinggah sejenak di pos rindang.
“Apa kamu kedinginan Nak?” Tanya Ayah.
“Tidak Ayah. Aku baik-baik saja.”
Serambi menunggu hujan reda, tanganku menulis bait-bait puisi. Panorama zamrud keindahan alam dari pos ini.
Di Bawah Tilgram Ruang Jingga
Dunia bermusam durja
Menghantui  gambaran sosok bayangnya
Membangunkan keteguhan citra
Harum seharum kenanga
Sporadis berubah menjadi awan hitam
Menutupi  Sang dewi malam
Tenggelam dalam keegoisang
Loyalitas memikat di setiap warna jejakku
Memberikan ta’rif kehidupan
Membuka jendela hati
Terbujur kaku dalam fatamorgana cinta
Tergulir semak belukar
Hanya airmata mengalir
bersama serpihan luka  menganga
Membuka lara ...
Meskipun waktu berlalu
Jauh di belakang waktu
Memendam seribu kata
Dalam rindu kelam
Tiba waktunya, hanyalah luka
Hanyalah goresan namamu termaktub
Dalam ulu sanubariku
Badai hujan telah reda. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Tangan Ayah menggendong tubuhku duduk di haluan depan.
“Apa yang Kamu tulis tadi?” tanya Ayah.
“Sebuah lantunan bait-bait puisi.” Jawabku.
“Ayah bangga dengan kamu. Pantang menyerah meraih mimpi. Tetap semangat!. Ayah selalu berdoa agar kamu tidak lumpuh. Tuhan pasti akan memberikan keajaibannya.”
“Aku akan meraih 1001 mimpiku untuk Ayah.”
Di tengah obrolan kami, nampak seorang pria melambaikan tangannya. Sepetinya dia adalah seorang pekebun.
“Ada apa Pak? Apa Anda butuh bantuan?” tanya Ayah pada seorang lelaki separuh baya
“Iya. Tolong antarkan Saya pulang. Rumah Saya tidak begitu jauh dari sini.”
“Baik. Dengan senang hati. Ayo naik Pak.”
Mata orang itu melirik Tubuhku. Diriku menjadi takut. Apa yang ada di pikirannya?
“Apa tidak di bawa ke dokter Pak?”
“Tidak. Saya tidak punya biaya. Memeroleh uang saja pas-pasan, hanya untuk membeli semangkuk nasi sehari. Saya bisa merawatnya setiap hari.”
“Kebetulan, Saya tukang pijat. Saya bisa mengobati anak Bapak tanpa biaya. Saya ikhlas menolong.”
“Alhamdulillah. Terima kasih Pak. Besok Saya ke rumah Bapak bisa?”
“Bisa. Berhenti Pak, itu rumah Saya, kelewatan. Terima kasih bantuannya Pak.”
“Iya, jangan sungkan. Rumah Saya di depan pantai itu. Mari Pak!” pamit Ayah
“Baik. Jika ada waktu saya bersilahturahmi ke rumah Bapak.”
“Dengan senang hati.”
***
Usai sembayang Subuh, Ayah membangukanku, menggendongku turun di halaman rumah. Meletakkan tubuhku di bawah pohon trembesi. Membiarkan tubuhku berguling-guling, menikmati sentuhan lembut rumput basah.
“Peganglah Pohon Trembesi itu  pelan-pelan Nak. Ambilah embun sejuk dari rerumputan dan sekakanlah ke kakimu. Jalanlah, sosonglah Ayah. Ayah yakin putra Ayah bisa berjalan.”
Berkali-kali usaha telah gagal. Aku sudah mencobanya, tapi tidak bisa. Kakiku begitu kaku dan tidak bisa di gerakkan.
Beliau sibuk merajang rumput-rumput itu di atas sebilah kemuadian memasukkannya ke dalam ember, memberi segelas air pada kuda itu. Kuda itu meringkik menyambut kedatangan tuannya. Kakinya menendang lantai waktu dia mengusir pikat tali di tubuhnya.
Setiap pagi rutinitasku bergulingan di atas rerumputan tebal. Mencoba melangkah demi langkan memegang pohon Trembesi. Namun kakiku tetap terbujur kaku dalam kelumpuhan.
Kami pergi ke rumah Bapak Shobirin. Tukang pijat yang akan mengobati kakiku. Menyusuri sepanjang jalan. Tebing-tebing munusuk cakrawala. Jalan dipenuhi berbatu-batu besar. Membuat jalan semakin terjal. Di kanan dan kiri adalah jurang menganga. Di bawah tebing curam di tengah jerat serasah, menatap jauh ke atas ke arah batang-batang pohon sambil mendengarkan suara desau angin yang menggelinjang menerpa ranting-ranting pepohonan.
Jalan yang terbentang berakhir. Sampai di latar rumah Pak Shobirin, kami di sambut dangan hangat. Tuan rumah menggendongku dan meletakkannya di kursi. Istri Pak Shobirin bergegas membuatkan   minuman untuk kami.
Tangan Pak Shobirin mulai memijat kakiku. Mulutnya berumik-umik membacakan mantra.
“Terasa sakit?”Pak Shobirin mengurut kakiku. Ia memnjatkan doa meminta mukjizat kesembuhan padaku yang lumpuh.
“Tidak Pak.” Tuturku.
Sungguh, ini kali pertamanya kakiku merasa lemas. Setelah di pijat, perlahan-lahan Pak Shobirin meyuruhku berjalan. Subhanallah. Tubuhnya bersujud  memanjatkan rasa syukur atas kejadian ini. Hatinya berbunga-bunga melihat anaknya bisa berjalan. Air matanya mengalir dari pelupuknya, bergembira melihat penantian 17 tahun akhirnya anaknya bisa berjalan.
Hari sudah sore, kami bergegas untuk pulang. Ayah melecut kuda begitu kencang. Ku pegang pundak Ayah erat-erat agar tidak jatuh. sebaris area lahan hutan yang letak geografisnya sedikit curam melingkari tepian pegunungan tidak dikenal sebagai hutan lebat. Entah saat itu kondisiku  tak sadar. Saat itulah kereta kuda terdampar dalam jurang.
Ketika aku sadar, aku telah berada di rumah nenek tua. Seorang wanita tua yang pernah aku tolong. Ku buka mataku yang sangat berat. Di sekeliling banyak warga menangis. Aku berjalan mencari Ayah. Di mana Ayah?.
Seseorang mengantarku pulang. Dia menawariku untuk bekerja di perusahaaannya. Setelah kejadian kecelakaanku itu, ia membaca buku harianku yang berisi sajak-sajak puisi. Menulis. Itu adalah hobiku. Saat lumpuh yang aku perjuangkan adalah menulis. “Penulis adalah mimpiku”. Meski lumpuh aku juga bisa menulis. Berbagi pelajaran hidup serta kerak kehidupan.
Aku dan lelaki itu membicarakan karya sastra. Berbagai penawaran ia tawarkan padaku. Jika aku menerimanya, aku bisa menjadi penulis. Jujur, dia tertarik membaca karya-karyaku.
Lama aku berfikir, aku meminta restu dulu dari Ayah. Hatiku risau tentang keadaan Ayah. Apa yang terjadi padanya?. Aku bergegas pulang membawa kereta kuda kami yang mumur. Para warga membantu membenahi kereta kuda, agar aku bisa pulang.
Langkan demi langkah menuju setiap sudut ruangan. Di daun pintu setengah terbuka, Ayah menyambut kepulanganku. Aku menemuinya. Diriku lemas, melihat kelumpuhan baru di keluarga kami. Kedua kaki Ayah telah tiada. Aku melihat ada dua kayu alat penyangga menjulur di kakinya. 
“Kemarilah Nak!. Sosonglah Ayah. Ayah senang kamu sekarang bisa berjalan. Kamu bukanlah anak yang lumpuh lagi. Hapuslah kata-kata itu dari benakmu. Putri Ayah sudah bisa berjalan di hamparan tanah. Kau berhasil!. Kaulah kedua kaki Ayah yang baru.”
Ayah masih berdiri di atas tanah kerontang yang diinjaknya. Petir dalam waktu sekelebat menyambar. Hujan terdengar deras menggucur di atas talang. Membasahi semua yang terbuka di bawah langit. Aku menangis berdiri dengan tangan terentang di depannya. Beliau berjuang keras mengangkat kakinya. Tubuhnya goyah di atas kakinya. Air matanya menetes bercampur dengan air hujan yang membasahi pipi Beliau. Beliau tampak ingin melangkah.
“Victoria! Ayo lakukan. Putri Ayah mempunyai kelebihan. Kau memiliki dua buah kaki yang sempurna!. Lihatlah Nak!. Meski Ayah tak mempunyai kaki Ayah tetap berdiri tegak.”
Aku berlari mendekapnya erat-erat. Kedua alat penyangga terlepas dari ketiak Ayah. Tubuhku menopangnya agar bisa berdiri. Tubuhnya semakin kurus. Kakinya sudah tak dapat merasakan tanah di bumi. Ayah dan aku menangis, entah karena kesembuhanku, atau kelumpuhan baru di keluarga kami.
“Ayah, bersediakah Ayah ikut denganku di Ibukota?. Melihat puncak perjuanganku selama ini?. Aku akan selalu merawatmu di sana. Inilah hasil dari perjuanganmu Ayah, membuahkan hasil yang manis. Karyaku menjadi sorotan publik. Kini, aku menjadi penulis Ayah!.”
“Ayah bangga padamu. Jika kau meminta Ayah ikut ke Ibukota Ayah mau. Engkau berhasil meraih mimpimu. Sukses tak datang dari apa yang diberikan orang lain padamu, tapi dari keyakinan dan kerja keras dirimu sendiri. Tiap orang pernah jatuh dan gagal, tapi kamu bisa memilih untuk bangkit lagi atau terus menangisi apa yg terjadi. Jangan menyalahkan orang lain atas kegagalanmu. Kegagalan hanya proses menuju keberhasilan, orang lain pasti ada andil dalamnya.” Cetus Ayah.
“Iya Ayah. Doamu mujarab. Tuhan telah mengabulkannya. Keteguhan cinta Ayah membangunkan mimpiku. Skenario hidup tidak dapat di tebak begitu saja sperti kata Ayah. Dulu, aku sering merutuki diri sendiri. Namun, dengan perjuangan Ayah, kini aku bisa membuka istana kesuksesan. Terima kasih Ayah.”
Tubuh Ayah ku gendong di atas kereta kuda. Ku beri bantal tipis agar tubuhnya tidak sakit. Serambi menunggu hujan reda, aku menyiapkan barang-barang untuk ku bawa ke kota.
Aku duduk di atas kereta kuda kami berdua bersama Ayah. Ku ambil cambuk dan memecut perut kuda. Mengitari gedung-gedung di Ibukota bersama Ayah. Aku mengajak Ayah di gedung pertemuan  konfensi pers. Dalam sekejap, banyak insan yang mengagumi karyaku.
Senyuman dalam diri Ayah menebar dalam titik perjuangannya. Terharu sekaligus bangga melihat kesuksesanku. Semilir cinta ku berikan padamu Ayah. Sekarang, waktunya aku membahagiakannya. Menjawab doa dan segenap harapan yang ia panjatkan. Keregguk kasih sayangmu Ayah.
‘‘Orang menjadi benar benar sangat luar biasa ketika mereka mulai berfikir bahwa mereka bisa melakukan sesuatu. Ketika mereka mempercayai diri sendiri, mereka mendapatkan rahasia sukses pertama.
Ingat ! Jika ingin hasil yang berbeda, lakukan sesuatu yang berbeda.Kini, aku dapat belajar arti kehidupan. Ayah adalah malaikat kiriman Tuhan untukku. Cahaya itu tetap bersinar dimatanya.’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto