Jumat, 29 Januari 2016

Pegawai Negeri



Oleh: Abdul Haris

Menjadi pegawai negeri?Siapa pula yang tidak mendambakan, aku rasa hanya orang yang fikirannya kurang waras saja yang tidak mau. Atau bisa jadi orang tersebut memang wiraswasta murni atau mungkin juga kesempatan dia sudah tertutup karena berkali-kali ikut tes tidak lolos.
Aku rasa aku orang paling beruntung (ini untuk menyembunyikan kesombonganku bahwa aku ini orang pintar), sebab hanya satu kali ikut tes langsung dinyatakan lulus dan dalam waktu singkat KTPku berubah menjadi Pegawai Negeri Sipil pada kolom pekerjaannya.
Siapa pula yang tidak bangga, orangtuakupun bisa membusung dada karena salah satu anaknya bisa menjadi PNS tanpa pakai ini-itu. Aku rasa kau cukup mengerti dengan kalimat “ini-itu”. Yah, begitulah negeri kita Indonesia apalagi pada tahun 90-an, Indonesia adalah sarang penyamun berdasi yang tak pernah kehabisan akal untuk mengeruk keuntungan dari rakyatnya sendiri. Hei, kita hentikan saja pembicaraan ini, toh bagi kita tak pernah ada gunanya membincang hal demikian sebab kita tak pernah bercita-cita untuk berani mengubahnya. Bukan begitu?
Mulailah perjuanganku dari jalur mengajar diuji kikhlasannya. Menjalani profesi Oemar Bakri, ikhlas, adalah kata yang harus tersemat, ini jika sang Oemar Bakri adalah guru honorer atau swasta murni.
Akupun begitu, hampir sepuluh tahun berjuang jadi guru, berkutat dengan kekurangan adalah hal biasa yang tak boleh dikeluhkan. “Dron, Emak rasa kamu cari pekerjaan lain saja, ingat sebentar lagi kamu menikah, mau kamu kasih apa anak istrimu nanti, kalau gajimu tak menentu seperti sekarang,” ujar Ibu suatu ketika.
“Injih, Mak, Sodron akan berusaha, do’a restunya, ya?” jawabku tak membantah. Ibu hanya manggut-manggut. Ibu benar juga aku memang takut jika aku sudah beristri nanti apa dia rela aku ajak dalam kekurangan terus?
Entah memang usahaku yang keras atau berkat doa restu Ibu, nyatanya usahaku tidak sia-sia. Namaku muncul sebagai salah satu peserta tes PNS pada salah satu halam surat kabar yang aku beli pagi itu.
“Hem... bagus, Dron, dengan begini Ibu menjadi tenang. Istrimu kelak tidak akan menuntut karena kamu telah menafkahinya,” ujar Ibu setelah aku tunjukkan pengumuman itu.
***
Bukan keputusan sekejap, ketika aku memutuskan mengikuti tes PNS, bukan menolak atau aku tidak siap malu seandainya aku ikut tes kemudian tidak lolos. Urusan malu bagiku nomor kesekian toh selama ini aku menjadi guru dengan gaji yang jauh dari kata cukup sudah semestinya membuat aku malu, nyatanya aku tak pernah peduli dengan hal tersebut, sebab menjadi guru saja sudah merupakan kebahagiaan yang tak terkira bisa mengamalkan ilmu, bahkan tidak dibayarpun aku tetap akan menjadi guru dan inilah yang aku sebut ikhlas.
Karena ikhlas pula ketika kawanku mengajak ikut tes serta-merta penolakan yang dia dapat.
“Ayolah, Dron, siapa tahu dengan ikut tes nasib kita akan berubah, toh ikhlas masih bisa kamu sandang nanti!” bujuk temanku itu.
“Maaf, Jo, aku rasa keikhlasanku nanti jadi remang-remang, sebab bagaimanapun dengan menjadi PNS sedikit banyak aku akan mengharap imbalan yang dinamakan gaji,” aku tetap ngotot tidak mau.
“Okelah, kalau kamu tidak mau nggak pa-pa, tapi besok aku kamu antar ya daftar ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten?”
Mau nggak mau aku mengangguk juga, bukan kenapa-kenapa tapi Paijo ini adalah teman karibku.
Namun, sebagaimana yang kau dengar dan kau alami sendiri, manusia hanya sebatas punya rencana, tapi Allah SWT yang lebih berhak mengaturnya.
Di kantor dinas ketika melihat berjubelnya orang mendaftar tes, hatiku menjadi tertarik. Dalam fikiran aku ingin menguji diriku, apakah aku nggak bisa mengalahkan mereka untuk meraih tiket yang dinamakan CPNS.
“Jo, pendaftaran ini berakhir kapan?”
“Kenapa, kamu mau daftar juga?” aku hanya diam.
“Kalau iya, cepetan aja, mumpung masih pukul sepuluh, sebab hari ini terakhir, dan pukul empat belas nanti pendaftaran ditutup, nih catatan syarat-syaratnya,” aku meraih kertas di tangan Paijo, sejenak dahiku berkerut. Dasarnya aku suka tantangan, melihat daftar syarat tersebut kayaknya asyik juga kalau aku menyelesaikannya dalam satu hari, tiga jam malahan.
“Aku pinjam motormu, kamu di sini saja, aku mau mengambil persyaratannya,” bergegas aku ke parkiran. Secepat kilat aku pulang, entah syetan mana yang mengajakku, motor aku geber 90 km/jam satu hal yang tak pernah aku lakukan. Seperempat jam aku sampai di rumah, Ibuku yang melihat aku seperti kesyetanan heran juga.
“Dron, ada apa ini, Nak, koq sepertinya kamu sangat tergesa-gesa,” raut keheranan sangat terlihat di wajah ibu.
“Nggak ada apa-apa koq, Mak, minta doa restunya saja, nggeh?” jawabku sambil menyalami beliau dan langsung menggeber motor kembali. Tak aku pedulikan rasa penasaran ibu, sebab aku harus ke kantor desa minta beberapa berkas yang harus di tanda tangani Kepala Desa.
Untunglah, aku mujur, kantor desa yang biasanya sepi hari itu perangkat kumpul semua. Berkas surat aku dapatkan tanpa kendala berarti. Seketika aku kembali ke Kantor Dinas, Paijo masih setia menungguku.
“Hei, benar nih berkas-berkasmu sudah lengkap? Koq singkat banget kamu pulang.” Tampak sekali kalau Paijo keheranan, persis seperti ibuku tadi.
“Tenang saja, kita lihat di dalam, apa berkasku nanti kurang di hadapan petugas pendaftaran,” aku hanya tersenyum simpul sambil masuk ke dalam, jam masih menunjukkan pukul setengah dua belas. Hanya saja antrian begitu panjang, apa cukup waktuku untuk antri. Ah, aku serahkan saja semua pada Allah SWT.
***
Begitulah, episode demi episode aku lalui, dari mulai pendaftaran, tes hingga berdebar-debar menunggu pengumuman. Aktifitas mengajar aku jalani seperti biasa. Kepala sekolah tak pernah mengetahui aku ikut tes PNS, sengaja kurahasiakan sebab kepsekku ini tipe pemimpin yang tak pernah menyukai anak buahnya yang ingin menjadi PNS, baginya menjadi PNS adalah pekerjaan orang yang malas berpikir. Mungkin seringnya aku didoktrin beliau sehingga aku jadi ikut benci sama profesi PNS. Sekarang kau jadi tahu bukan, kenapa aku menolak ketika Paijo mengajak aku ikut tes?
Pengumuman itu membawa dua macam kekagetan. Kaget pertama adalah namaku tercantum di dalamnya. Satu hal di luar dugaan, sebab aku hanya berbekal pengetahuanku dari sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama)ku dulu dan sedikit dari pengetahuan semasa kuliah. Bukannya menyombongkan diri rasanya memang soal-soal tes kemarin banyak yang mudah tentu saja aku gampang menjawabnya.
Kaget yang kedua Paijo tidak termasuk nama yang ada dalam koran tersebut, berkali-kali aku cari namanya tapi memang dia bukan termasuk peserta tes yang lolos. Padahal persiapan dia menghadapi tes ini begitu intens, dia telah siap segala-galanya. Benar! Allah Maha Penentu segalanya.
Kini SK CPNS sudah di tangan, sayangnya aku ditugaskan di tempat terpencil, Lumajang, bukanlah tempat yang dekat dari daerah asalku, Mojokerto. Sebuah MTs Negeri yang jangan dibayangkan sebuah sekolah yang sempurna. Gedung yang hampir roboh, sarana-prasarana yang minim. Gurunya? Hem... sebagaimana yang sering kau dengar, datang sering terlambat, pulang lebih cepat bukanlah isapan jempol, mengajar ditinggal ke kantor, ini masih untung kadang malah ditinggal keluar untuk ngopi.Melihat hal demikian aku bertekad akan memberi contoh.
Sehari-dua hari, sebulan dua bulan aku masih konsisten. Berangkat paling awal pulang paling akhir. Heran, teman-teman guru tak ada yang terpengaruh, mereka masih berkutat pada kebiasaan lama. Hanya satu saja guru yang terpengaruh.
“Heran saya, sama guru-guru sini, hampir dua bulan saya berusaha memberi contoh, tapi nyatanya hanya Pak Paiman saja yang mau berubah,” ujarku pada temanku tersebut pada suatu pagi ketika guru belum ada yang datang.
“Ah, bukan terpengaruh Pak Sodron, hanya saja selama ini saya nggak punya teman untuk berbenah,” Jawab Pak Paiman. “Tapi saya khawatir, lama-lama Pak Sodron sendiri yang akan terpengaruh,” kata Pak Paiman melanjutkan.
“Insya Allah, saya akan tetap seperti ini,” jawabku sekaligus kutekadkan dalam hati.
Nyatanya tekad itu hanya mandek dalam hati, sebab tiga bulan kemudian aku mulai malas berangkat pagi-pagi, aku sering meninggalkan kelas untuk mengobrol dengan teman-teman guru di kantor, bahkan aku mulai berani keluar menuju warung di seberang jalan.
Lebih parah lagi, jadwalku yang semestinya 6 hari kerja, aku mampatkan menjadi tiga hari. Hal demikian, sebab sejak awal aku diplot menjadi Wakil Kepala bidang kurikulum. Sedangkan tiga hari aku gunakan pulang ke kampung halaman mengunjungi istriku yang sejak awal tidak mau mengikutiku di rumah dinas.
Tak ada yang protes, sebab guru-guru yang lain juga aku atur sedemikian rupa sehingga hari kerja mereka paling banyak empat hari. Tentu saja mereka gembira. Suatu siasat licik yang membahagiakan.
“Terima kasih Pak Sodron, berkat pengaturan jadwal Pak Sodron, saya jadi punya lebih banyak waktu untuk keluarga dan bekerja di sawah,” kata salah satu guru yang dulu paling aku benci karena etos kerjanya yang paling payah.
“Mas, setahuku kerjamu paling sedikit kan lima hari kerja, koq sekarang empat hari kamu bisa leha-leha pulang kampung?” istriku bertanya-tanya. Rupanya ia merasa nggak enak juga.
“Kenapa, kamu nggak suka ketemu aku lebih lama?” jawabku bersungut-sungut.
“Bukan begitu, rasanya nggak enak saja, pean ini khan dibayar pemerintah yang uangnya dari rakyat, masak tega sih mas, pean mengkhianati rakyat sendiri?” istriku tak kalah sengitnya.
“Halah, dik nggak usah ngomong terlalu tinggi lah, toh nyatanya kamu senang juga kan aku bisa pulang lebih lama?”
“Ya iya juga sih, tapi dipikir lagi lah, aku takut gaji yang kita makan nantinya malah nggak barokah.” Kata istriku sambil ngeloyor pergi. Hah, peduli amat, toh bukan aku sendiri yang berbuat demikian.
***
Hari-hari berjalan seperti biasanya, kerjaku masih tiga hari saja. Akhirnya setelah hampir setahun SK penetapan PNSku turun dan aku diharuskan mengambil ke Surabaya. Bersamaan dengan itu rupanya Pak Paiman SKnya juga baru turun. Akhirnya setelah rundingan, kami memutuskan untuk berangkat bersama.
Hari Senin kami berangkat setelah pamitan pada Kepala Sekolah. Mestinya hari itu aku dan Pak Paiman jamnya full. Tapi gampanglah, toh aku bisa menitipkan tugas pada kawan-kawan guru. Hal yang sudah biasa, mereka juga sering titip tugas padaku jika berhalangan masuk atau ada kepentingan lain.
Dengan semangat ’45 kami berangkat mengendarai motor bututku. Daerah pegunungan dengan jalan yang berkelok-kelok adalah hal biasa yang aku temui. Tapi entah mengapa baru beberapa kilo aku berangkat di sebuah tikungan, hampir saja aku tertabrak sebuah truk yang ugal-ugalan, seandainya aku tidak berhenti dan menepi mungkin sudah berkeping-keping tubuh kami tergencet truk itu.
“Aduh, hati-hati Pak Dron,” teriak Pak Paiman.
“Sudah, Pak, truk itu saja yang ngawur!” jawabku nggak terima.
“Gimana kalau saya saja yang menggantikan membonceng,” aku mengangguk tanpa banyak alasan.
Sekitar tiga kilo aman-aman saja aku duduk di belakang, namun tanpa diduga ada sebuah lubang lebar di depan, Pak Paiman hampir saja tak menguasai setir, untung saja dia segera membelokkan sepeda dan mengerem mendadak sebab kurang beberapa centi kami akan tercebur ke jurang.
“Waduh, Pak Paiman koq tambah parah, nih. Saya ganti aja, Pak!” Pak Paiman tak menjawab tapi dia langsung turun dan menyerahkan setir kepadaku, kelihatan sekali ia gemetaran.
“Mungkin tadi kita lupa berdoa, Pak. Ayo kita berdoa bersama-sama semoga perjalanan kita lancar sampai tujuan.” Usulku, Pak Paiman kemudian memimpin kami berdoa.
Syukurlah sejak kami berdoa sampai Surabaya tidak ada kejadian berarti, dan SK aku ambil dan aku terima dengan hati berbunga dan sulit untuk menggambarkan. Sebab sejak itu aku resmi menjadi PNS, suatu jabatan prestisius yang tidak semua orang bisa merasakan.
Aku tetap menyetir dan tak ku izinkan Pak Paiman untuk menggantikanku. Sayangnya kurang lebih 10 kilometer sampai rumah dinas hujan deras tiba-tiba mengguyur. Untungnya aku sudah mempersiapkan dua mantel hujan. Kami memakainya dan meneruskan perjalanan.
Jalanan menanjak, tanpa penerangan, hanya dari lampu motor, sesekali kilat menyambar, tak menyurutkan niat kami agar cepat sampai rumah. Tanpa aku duga di depan ada longsoran tanah yang membuat jalanan licin, setir tak bisa aku kuasai, motor oleng, dan tak bisa aku tahan jatuh berdebum ke tanah. Untung tidak sampai masuk jurang, mesin motor langsung mati, lebih beruntung lagi aku tetap berdiri tanpa lecet sedikitpun. Tapi, Pak Paiman mana.
“Pak, Pak Paiman, pean dimana?” aku teriak-teriak. Namun tak ada sahutan. Hatiku cemas, jangan-jangan Pak Paiman terlempar ke jurang.
“Pak Paiman...,” aku terus berteriak dan mencarinya di sekitar jatuhku tadi. Untunglah hujan mulai reda dan langit agak terang, waktu itulah aku menemukan mantel hujan yang membungkus rapat Pak Paiman, tak ada gerakan, jangan-jangan Pak Paiman pingsan, atau lebih parah lagi dia meninggal.
“Paaak... Pak Paimann...” Aku langsung bergegas lari menghampiri, ini menakutkan, aku tidak siap melihat teman akrab mati dihadapanku. Masih tak ada gerakan, namun aku reflek membuka mantel itu tak beraturan. Agak susah juga, mantel ini membelit tubuh Pak Paiman dan aku tak kuat mengangkat tubuh gemuk Pak Paiman.
Akhirnya setelah susah payah mantel itu terbuka juga, senyuman Pak Paiman langsung menghias bibirnya, aku jadi lega, rupanya Pak Paiman masih hidup, tidak ada gerakan tadi karena memang mantel membelit tubuhnya begitu rapat akibat jatuh terguling tadi.
***
Karena kejadian ini, kami berdua merenung. “Sepertinya kejadian demi kejadian hari ini adalah cara Allah mengingatkan kita, Pak?” kataku pada Pak Paiman setelah sampai rumah.
“Maksudnya,” Pak Paiman tak mengerti.
“Yah mungkin, ini akibat kinerja kita selama ini yang seenaknya, main atur jadwal padahal kita kan wajib masuk selama enam hari.”
“Ah, iya saya mengerti, benar juga kata Pak Sodron, beberapa bulan ini saya juga merasakan kegelisahan yang sama Pak, kita ini PNS tapi kok ya meneruskan tradisi jelek PNS-PNS lain selama ini.” Pak Paiman mulai faham.
“Begitulah, Pak, kita baru mendapat SK saja sudah seenaknya bekerja, apalagi nanti kalau sudah lama, apa nggak tambah runyam!”
Selanjutnya kami terus berdiskusi, dan menghasilkan keputusan, mempunyai SK PNS bukanlah pekerjaan yang bisa dipermainkan seenaknya. Ada amanah yang berat dan harus kami jalankan dengan sepenuh hati dan tentu saja ikhlas yang tidak dibuat-buat.
Sungguh pekerjaan yang tidak mudah, karena hanya kami berdua yang mempunyai komitmen tersebut diantara belasan guru yang ada di sekolah kami. Jadwal aku atur ulang dan aku masuk enam hari full.
Berbulan-bulan tetap tak ada perubahan yang berarti, gebrakan kami tetap dicibir, pindah tugas adalah solusi yang terbaik, syukurlah keinginan itu terkabulkan dua tahun kemudian.
Aku pindah sekolah dengan senyum optimis, begitupun Pak Paiman yang pindah tugas di lain tempat. Senyum kami mengembang, biarlah madrasah yang aku tempati pertama kali ini berubah seiring berjalannya waktu, dan aku yakin suatu saat itu akan terjadi.
Sedangkan tempatku yang baru, aku yakin ada tantangan yang menghadang, bisa jadi masalahnya sama, atau mungkin beda. Tapi bukankah hidup itu bisa berwarna jika kita menemui tantangan. Yang penting aku tetap amanah menjadi PNS tidak untuk semena-mena apalagi seenaknya. (bisa ditemui di www.catatansangguru.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang

Anda masuk ke dalam komunitas Majalah Kamus,majalah yang dikelola oleh Siswa-siswi MI. MTs.MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto